Negeri di awan

Bagi yang pernah merasakan indahnya masa muda di era 1990-an, semuanya mungkin pernah mendengar sebuah lagu berjudul “Negeri di Awan” yang diciptakan dan dinyanyikan oleh Katon Bagaskara. Lazimnya negeri di awan hanya kita ketahui di dalam dongeng-dongeng tentang kerajaan dan para peri, akan tetapi disini aku ingin menuliskan cerita tentang pengalamanku mengunjungi sebuah negeri di awan yang ada di dunia nyata.Kalian tidak akan percaya dengan paragraf di atas sebelum kalian membantah atau menyimak cerita dibawah ini.

Shalat maghrib, makan malam, mempersiapkan barang-barang sudah selesai ku lakukan dan saat ini tinggal menunggu keberangkatan saja menuju ke Dieng, sebuah dataran tinggi yang terletak di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Dataran Tinggi Dieng terkenal akan pemandangan alam nan indahnya dan udaranya yang dingin. Malam itu, aku dan teman-temanku datang dan berkumpul di sekolah. Bukan untuk belajar, melainkan untuk melakukan persiapan dan pengkondisian sebelum berangkat ke Dieng.


“Sebelum kita berangkat, mari kita berdoa terlebih dahulu agar perjalanan kita diberi kelancaran dan kemudahan. Semoga kita bisa sampai ditujuan dalam keadaan selamat.” Kalau tidak salah, saat itu Bu Yeye yang merupakan walikelasku memimpin doa sebelum berangkat dan kemudian memberi instruksi bahwa anak laki-laki akan berada di mobil elf berwarna putih sedangkan anak perempuan akan berada di mobil elf berwarna abu-abu.Niat sebelumnya aku ingin duduk di barisan paling depan, akan tetapi pintunya terkunci sehingga aku duduk di belakang dan saat itu aku duduk bersama Ragil dan Ozman. Jujur saja, aku dan Ragil memang memiliki badan yang besar sehingga saat Ozman akan duduk ia merasa tidak nyaman. Dari belakang salah seorang temanku melontarkan celetukan, “Man, keluarga besar.” Aku sendiri tahu apa maksud dari kata “keluarga besar” tersebut, akan tetapi aku tidak merasa terganggu. 


Ketika hendak keluar dari sekolah, rupanya knalpot mobil elf sempat bergesek dengan jalan sehingga kami terpaksa turun. Kami langsung memulai perjalanan menuju ke Dieng.Baru berangkat, rupanya suasana mobil sudah heboh dengan obrolan siswa khususnya tentang “game” yang paling aku ingat. Saat itu aku melontarkan celetukan “Presiden main COC” yang kemudian dibalas Ozman “Siapa? Jokowi?” Aku hanya menjawab “Pernah lihat fotonya man.” Lalu dari belakang Miko juga ikut melontarkan celetukan “Di, Jokowi mobil dinasnya angkot ya?” Dulu aku acap kali marah saat diganggu oleh temanku. Namun sekarang aku hanya menjawab celetukan Miko sambil berkata “Sederhana-merakyat, co!”


Karena kemacetan lalu lintas di sepanjang Jalan A. H Nasution kami membutuhkan waktu lama untuk bisa keluar dari Kota Bandung. Lalu di depan sebuah restoran yang mungkin letaknya tidak begitu jauh dari Nagreg, mobil yang ditumpangi anak laki-laki sempat berhenti sejenak karena harus menunggu mobil elf yang ditumpangi anak perempuan yang sedang menambal ban.


Apa yang dikatakan ibu sebelum berangkat ternyata benar adanya. Ketika hari semakin malam dan kami sudah semakin jauh dari Bandung aku tidak dapat tidur dengan nyenyak seperti di rumah ketika yang lainnya sudah tidur. “Tidurkan saja, di.” Ujar Angga kepadaku. Namun aku hanya memberi jawaban “Saya suka susah tidur secara sengaja kalau di perjalanan kayak gini. Kalau tidur secara sengaja baru bisa.” Ketika itu Ariq yang bertanya.


Saat jarum jam menunjukkan pukul 12 malam, secara tiba-tiba telepon seluler milik Pak Randi, supir yang mengemudikan elf anak laki-laki berbunyi dan rupanya Pak Ibnu memberitahukan bahwa mobil elf yang dikemudikannya mengalami masalah. Sehingga kami yang kala itu sudah berada di depan langsung putar balik guna menemui Pak Ibnu. Ketika diperiksa oleh Pak Randi dan Pak Ibnu, ternyata bagian yang bermasalah adalah tali fanbel pada mesin.


Usai berhenti selama kurang lebih setengah jam, perjalanan kembali dilanjutkan hanya sampai Ciamis. “Mau silaturahmi ke sini.” Ujar Angga ketika melihat pagar rumah dibuka . Ada apa gerangan? Mengapa bisa demikian? Karena pintu rumah dikunci, maka kami menunggu di luar beberapa menit sebelum akhirnya bisa masuk.


“… Iya, ini setengahnya juga belum tapi Alhamdulillah masih di sini. Kalau diteruskan sampai terjadi apa-apa, nanti bingung.” Kira-kira begitulah ucapan Pak Randi dan Pak Ibnu ketika beberapa anak laki-laki bertanya, termasuk aku. “Masih berapa lama lagi perjalanan ke Dieng pak?” Ujarku di depan rumah dan kemudian dijawab oleh Pak Ibnu “Masih jauh, sekitar 14 jam perjalanan lagi” dan selanjutnya disambung Pak Randi, “Aldi, sok istirahat dulu ini sudah malam. Tuh gurunya lagi kasih penjelasan.” Aku datang terlambat ke ruang tamu yang menjadi “kamar” bagi anak-anak perempuan dan menemui Bu Yeye sedang melakukan briefing. “… Supaya tidak membahayakan nyawa supir dan juga kita semua, maka akhirnya diputuskan kita bermalam di sini terlebih dahulu karena mobil sedang bermasalah dan jalan yang kita lalui juga berada ditengah hutan. Ini memang diluar kehendak kita, manusia hanya bisa berencana sedangkan Allah yang menentukannya.” “… Jika orang tua kalian bertanya sudah sampai mana, bilang saja sedang ada kendala dan masih menunggu mobilnya sehat kembali.” Selanjutnya aku menuju kamar dan berbaring.            

“Pak, gimana nih pendapatnya soal presiden yang sekarang?” Tahu aku selalu mendukung Jokowi, Ariq mengajukan satu pertanyaan kepada Pak Iman dan kemudian dijawab “Nih, ada pakarnya.”            
“Dulu waktu jadi gubernur, aku suka Jokowi karena kerjanya bagus, ya merakyat-merakyat gitulah tapi setelah jadi presiden gerak-geriknya kayak aneh gitu pak.”            
Selanjutnya Ariq membelokkan pembicaraan kepada research project yang tengah dilakukan sebelum akhirnya aku bisa tidur pukul 03.00 WIB.

Hari beranjak pagi, aku mengirim kabar melalui telepon ke Bandung dan mengatakan apa yang terjadi semalam. Sambil menunggu mobil diperbaiki, aku dan teman-teman menyempatkan diri mencari makanan untuk sarapan di Alun-alun Kota Ciamis dan juga melaksanakan shalat dhuha. Pukul 09.45 WIB kami melanjutkan perjalanan kembali menuju ke Dieng. “Di balik kesulitan sesungguhnya ada kemudahan, dan dibalik musibah pasti ada hikmah.” Penggalan kalimat bijak tersebut yang sekiranya dapat mencerminkan perjalananku kali ini. Mobil bermasalah dan membuat jadwal kegiatan mengalami kemunduran, perut justru bisa menerima makanan enak dan dan mata mampu melihat pemandangan yang ada di sepanjang jalan.           

 Lewat dari pukul 12.00 WIB, kami berhenti di sebuah restoran sederhana guna mengisi perut dan disinilah kami kembali menghadapi sebuah kendala. Apa itu? Karena tanah bekas sawah yang labil, maka ketika dilintasi oleh dua mobil elf rodanya terjebak di lumpur sehingga membutuhkan banyak tenaga untuk bisa keluar. Apa boleh buat, anak laki-laki sekalipun tidak mampu mendorong mobil untuk bisa keluar. Sehingga, kami semua harus menunggu dalam waktu yang cukup lama sampai polisi selesai menangani masalah tersebut.            

Hari sudah beranjak petang ketika kami berhenti di Alun-alun Wonosobo guna menanti salah seorang teman yang datang menyusul dengan menggunakan kendaraan pribadi, tapi ternyata Akbar sudah duluan. Tidak berlama-lama di alun-alun, kami pun segera melanjutkan perjalanan untuk menyusul Akbar. Bagiku, perjalanan ke Dieng yang sudah menghabiskan waktu sehari semalam tetap terasa menyenangkan sebab saat waktu maghrib tiba suasana mobil diramaikan oleh berbagai macam lagu bertemakan cinta. Maklum, saat ini aku dan teman-teman sudah menjadi remaja yang identik dengan cinta dan lagu anak-anak yang biasa dinyanyikan saat TK dan kelas satu SD sudah ditinggalkan. Lagu tersebut yakni Kangen dari Dewa 19, Terpesona dari Glenn Fredly dan Audy, Everything has changed dari Taylor Swift dan Ed Sheeran, dan sebagainya.           

 “Akhirnya setelah menempuh perjalanan selama 25 jam, kita sampai juga di Dieng, Perjalanan kita kali ini banyak tantangan yang dihadapi. Sekarang kalian boleh ambil makan malam dan nanti akan dibagi kelompok untuk tidur.” Bu Yeye memberikan sebaris kata-kata saat kami sudah sampai di Penginapan Arjuna sekitar pukul 20.30 WIB. Meskipun mengalami masalah, aku tetap menikmati perjalanan dari Bandung ke Dieng. Kelompok tidur dan kelompok pengerjaan tugas yang diberikan ketika fieldtrip rupanya memiliki perbedaan. Untuk kelompok tidur, aku satu kelompok dengan Ariq, Kiki, Ragil, Akbar, Audia, Fariz, Rifki sedangkan untuk tugas aku satu kelompok dengan Sulthan, Rifka dan Zahra Dewi. 

Selesai makan malam, kami segera tidur. Selepas shalat Subuh, aku menyempatkan diri keluar kamar sambil membawa kamera untuk memotret langit pagi sebelum memulai kegiatan kunjungan di hari ini dan ketika selesai sarapan, aku dan teman-teman langsung menuju ke Telaga Warna sebagai tempat pertama yang dikunjungi. Bukan orang sekelas binaragawan seperti Ade Rai, bukan juga seorang petinju seperti Chris John akan tetapi kami disambut oleh seorang pria berbadan besar di Telaga Warna. Siapakah beliau? Beliau adalah Pak Sumar, orang yang akan bertugas sebagai pemandu bagi kami selama berada di Dieng. Tidak hanya danau yang luasnya mencapai sekitar 45 hektar, disini juga terdapat beberapa objek-objek lainnya. Mataku tertuju pada sebongkah batu berukuran besar yang menyerupai orang. Batu tersebut memiliki nama Batu Tulis yang dipercaya mampu member kemampuan membaca dan menulis bagi setiap orang yang dahinya diolesi dengan lumut putih. Selanjutnya usai mengunjungi salah satu objek yang tidak aku ingat namanya, kami mendatangi gua yang dipercaya menjadi tempat mandi.            

Salah satu gua yang memiliki cerita yang berbeda ialah Gua Semar. “… Dulu, Pak Soekarno dan Pak Soeharto pernah bermeditasi disini karena Gua Sumar dipercaya bisa mendatangkan kelancaran sebelum menjabat sebagai presiden…” Ucapan Pak Sumar ini membuat aku merasa senang sebab cita-citaku saat ini ialah sebagai seorang presiden dan yang bisa menjadi celetukan ialah kalimat berbunyi “Jokowi enggak meditasi disini?” Hahaha…           

Kaki belum meninggalkan jejak di pinggir Telaga Warna akan tetapi seorang pria berusia lanjut menjadi pusat perhatian kami selanjutnya. Beliau adalah Mbah Muh yang telah bekerja sejak tahun 1936 di Telaga Warna tanpa mengharapkan imbalan apa pun kecuali kawasan Telaga Warna yang bersih. Bukan film box office, bukan juga film lawas yang ditonton melainkan sebuah film tentang Dataran Tinggi Dieng di Teater yang merupakan tujuan kami selanjutnya. “… Akan tetapi sebuah tragedi terjadi di Tahun 1979. Di pagi buta saat warga masih terlelap, gempa mengguncang permukaan bumi sehingga Kawah Sinila meletus dan mengakibatkan retakan yang mengeluarkan gas beracun. Warga berlarian menyelamatkan diri, namun mereka tidak sadar bahwa mereka berlari ke arah barat sehingga menghirup gas beracun dan sebanyak 149 nyawa melayang dalam peristiwa ini…”            

Setelah menonton film, tujuan kami selanjutnya adalah Geo Dipa yang merupakan tempat pengolahan gas bumi dan disana kami mendapat sambutan beserta penjelasan dari Pak Hartono. Akan tetapi saat masuk perhatianku tertuju pada foto Presiden Jokowi dan aku memberi hormat pada foto tersebut seolah beliau yang menyambutku. Yang masih aku ingat dari penjelasan Pak Hartono, Geo Dipa merupakan perusahaan yang berdiri pada tahun 1997 dan merupakan hasil pengambilalihan dari Perusahaan Chevron.      

Tidak hanya di ruangan, kami juga ikut melihat pipa yang menjadi alat pengolahan gas bumi diluar dan kali ini Pak Hartono berbicara dengan intonasi tinggi, “… Saya bukannya galak, bukannya jahat juga tapi ini demi keselamatan kita semua! Gas enggak kelihatan, kalau terhirup bisa sakit!” Begitulah ucapan beliau dihadapan kami dan kemudian aku tahu bahwa ketika terjadi letusan gunung berapi, Geo Dipa yang luasnya diperkirakan mencapai ratusan hektar tetap bisa berada dalam keadaan aman tanpa gangguan sedikitpun. Siang menjelang sore, tempat yang dikunjungi adalah Museum Kaliasa. Di museum terdapat artefak-artefak candi dan berbagai macam benda yang menjadi ciri khas Dataran Dieng. “… Ke candinya mau sekarang apa besok saja?” Melihat cuaca yang mendung dan hujan maka membuat Pak Sumar harus mengeluarkan dua opsi lalu direspon dengan “besok saja.” Sebagai pengganti, maka di hari itu juga kami membeli oleh-oleh di sebuah toko. Aku tidak membeli banyak, hanya dua bungkus kopi Khas Dieng dan sebungkus keripik kentang. Hari berikutnya, kami sudah terjaga dari tidur untuk dapat melihat momen matahari terbit atau sunrise di Bukit Sikunir setelah mendengarkan cerita tentang anak gimbal semalam. 

Pukul 03. 30 WIB penginapan sudah kami tinggalkan dan langsung menuju ke sebuah Masjid di Desa Sembungan untuk shalat Subuh. Ketika sudah selesai menunaikan shalat dan berdoa, seorang pria yang sepertinya berbicara dalam Bahasa Jawa mengajakku berkomunikasi. Awalnya aku berbicara Bahasa Indonesia, pada akhirnya aku berbicara dalam Bahasa Jawa yang bunyinya kurang-lebih “…. Inggih pak, iki soko sekolah swasta nang Bandung lan saiki arep podo nyawang sunrise nang Sikunir. Aku arep budal dhisik, pak 1
            

Perjalanan mendaki Bukit Sikunir berlangsung selama 15-20 menit sebelum sampai di puncaknya dan ternyata cuaca pagi itu mendung dan berkabut sehingga potret dimana Matahari terbit gagal didapatkan. Ketika kembali ke penginapan cuaca sudah cerah dinaungi oleh sinar matahari lengkap dengan keindahan pemandangan alam yang menyegarkan mata.  Walaupun cuaca sudah kembali berkabut namun kami tetap pergi mengunjungi Kompleks candi. Bu Siti adalah salah satu pemandu lain selain Pak Sumar dan adiknya Pak Tekil[3], yang memberi penjelasan mengenai candi-candi yang ada di Dataran Tinggi Dieng. Setelah Bu Siti selesai menjelaskan, kami minta difoto bersama untuk kenang-kenangan. Hanya berbeda satu huruf namun memiliki makna yang sama, itulah cerminan yang tepat bagi Kawah Sikidang. Dalam Bahasa Jawa, “Kidang” berarti Kijang dan kawah ini diberi nama Sikidang karena semburannya bisa berpindah kemana saja layaknya seekor kijang yang melompat dengan bebas kesana dan kemari. Hal terpenting adalah keselamatan karena kawah mengeluarkan belerang. Maka dari itu ketika kami berada di Kawah Sikidang kami menggunakan masker.            

Tempat yang dituju selanjutnya adalah Telaga Menjer. Berbeda dengan Telaga Warna dan Telaga Pengilon yang gerbang masuknya berada persis dipinggir jalan, Telaga Menjer letaknya jauh dari jalan besar dan untuk mencapainya harus melewati jalan desa yang berbelok-belok. Menurut cerita dari Pak Sumar, rencananya Telaga Menjer akan dijadikan kolam renang terbesar dan akan dikembangkan juga termasuk sunrise spot yang konon lebih bagus dari Bukit Sikunir. “… Anak-anak, jadi keputusannya kita akan pulang besok karena kalau perjalanan siang akan lebih mudah menangani masalah bila terjadi. Untuk besok kalian bangun pukul 03.30 lalu kalian mandi dan bereskan barang-barang lalu dimasukkan ke mobil dan jangan lupa shalat subuh. Pukul 04.45 kita sudah langsung berangkat dan Insha Allah maghrib sudah sampai di sekolah.”            

Jujur saja, walau sebelumnya telah menyetel alarm untuk bangun pukul 03.30 namun rupanya aku bangun pukul 04. 30 disaat yang lain telah siap untuk berangkat. Maka aku menjadi kelabakan namun tetap membereskan semuanya agar bisa pulang setelah semua selesai. Aku langsung masuk mobil bersama teman-teman untuk melanjutkan perjalanan dan meninggalkan Dataran Tinggi Dieng,  yang memberikan kenangan indah bagi perjalanan masa remajaku untuk selanjutnya menuju ke Bandung, tempat tinggalku bersama keluarga tercinta. Terima kasih Dataran Tinggi Dieng, semoga di suatu saat nanti aku bisa mengunjungimu kembali.


Enam tahun delapan bulan kemudian.“Bahasa Jerman kan pelajaran SMA, tapi kenapa disini kok sudah ada?” “Enggak tahu nak, sejak bapak melamar kerja disini pelajaran Bahasa Jerman memang sudah ada.” Kalimat itu terlintas didalam benak seorang guru muda ketika dirinya sedang mengemudikan mobil dari Kawasan Wisata Baturaden, Purwokerto menuju ke Dataran Tinggi Dieng, Wonosobo hingga salah seorang muridnya bertanya sesuatu, “Herr2 kenapa melamun? Ada yang dipikirkan?” “Enggak kok, bapak cuma teringat sesuatu doang.” Ujar guru muda tersebut ketika mobil melewati jalan yang menanjak dan melewati sebuah gapura bertuliskan “Dieng Plateau Area.” Huffh… Akhirnya setelah menempuh perjalanan selama 25 jam dari Bandung aku dapat kembali menginjakkan kaki di Dataran Tinggi Dieng bersama beberapa guru lain yang sudah lama aku kenal dan murid-muridku yang saat ini tengah beranjak remaja.           

 Hah, aku? Ya, aku. Sepertinya kita harus melakukan kilas-balik kepada waktu disaat aku berkunjung ke Dataran Tinggi Dieng untuk yang pertama kalinya saat remaja dulu. Kala itu juga aku tengah mempelajari dan sudah dapat berbicara dalam Bahasa Jerman dengan baik meski terkadang masih terputus-putus.  Aku juga menanam cita-cita sebagai Presiden RI. Alhamdulillah, saat ini aku telah menjadi seorang guru Bahasa Jerman dan pada kesempatan ini aku gunakan untuk berbagi cerita tentang perjalanan masa remajaku dengan murid-murid. “Ehem… Jadi herr sudah pernah ke Dieng terus katanya mengecengi sesoerang ya???” Sontak aku merasa terkejut dengan pertanyaan muridku yang satu ini. Sejak berangkat dari Baturaden tadi, murid-muridku acap kali bertanya tentang jarak beserta waktu yang harus ditempuh untuk sampai di Dieng dan kali ini ia berusaha menggodaku! Lantas bagaimana aku menjawabnya?           

Guru musik yang merupakan temanku sejak SMA pun tidak ketinggalan ikut menggodaku sampai akhirnya aku memutuskan untuk angkat bicara “Dulu waktu SMA, bapak sudah pernah fieldtrip ke sini terus waktu di kamar tiba-tiba bapak diinterogasi soal siapa orang yang bapak suka. Awalnya bapak bilang enggak ada tapi Pak Ariq sama dua teman bapak yang lainnya terus memaksa sambil kasih pilihan beberapa nama… Akhirnya bapak menyebutkan nama si dia…”            

“Aaaaah, so sweet banget…” Salah satu muridku menceletuk dan membuat orang-orang di sekitarku ikut menggoda. Ah, malu rasanya bila aku mengumbar hal-hal yang memiliki kaitan dengan kata “cinta.” Murid yang aku maksud adalah Stevie. Dia merupakan satu-satunya murid yang mampu berbicara dalam Bahasa Jerman dengan lancar sepertiku sebab saat kecil dulu, dirinya pernah tinggal di Jerman guna mengikuti ibunya menempuh Studi S-3 bidang Arsitektur dan hingga kini kemampuannya masih bagus.            

Murid sudah mencoba mengusik kisah masa lalu diriku dan saat ini aku mencoba bertanya “Kalian sudah ada yang saling menyukai satu sama lain belum nih?” Pertanyaanku ini membuat mereka tersipu khususnya murid-murid perempuanku yang saat ini hanya bisa tertawa. Malam aku habiskan untuk bercengkrama dengan murid-murid dan bernostalgia tentang perjalanan Masa SMA bersama Pak Ari, Frau Dewi, dan beberapa guru lain yang sudah menjadi teman sejak remaja. 

Seperti apa kata pepatah, kata-kata adalah sebuah doa dan saat ini keinginanku untuk bisa kembali mengunjungi Tanah Dieng sudah tercapai sebab setelah pulang dari Dieng dulu aku kerap kali terkenang-kenang tentang perjalanan ini. Arti persahabatan, pertemanan, kebersamaan bahkan cinta aku dapatkan di tempat yang memiliki ketinggian mencapai 2.100 meter di atas permukaan laut ini. Pagi harinya ketika aku dan murid-murid beserta guru lain yang mendampinginya sedang asyik bercengkrama ria sambil menjelajah Kawasan Telaga Warna dan Pengilon, aku menyempatkan diri untuk duduk di sebuah batang pohon horizontal yang menjorok ke arah danau. Di sana mulailah aku menggoreskan pulpenku di atas selembar kertas dari buku agenda:
Kenangan dari negeri di awan

“… Hingga di suatu masa akan tiba saat dimana engkau merasa masa muda ialah masa terindah sepanjang hidup…”    
        
Penggalan kalimat diatas tersebut kini benar adanya dan aku rasakan itu. Masa muda terutama masa remaja adalah masa yang identik dengan persahabatan dan cinta namun rupanya masa remaja pula mengarahkan diriku pada sebuah kata-kata baru yang amatku kagumi dan aku dapat mengucapkannya dengan baik, Bahasa Negeri Panser alias Bahasa Jerman. Dataran Tinggi Dieng pula ikut menjadi saksi dari impianku itu, dan saat ini aku kembali mengunjungi Dieng setelah menjadi guru Bahasa Jerman.            

Dulu aku dibimbing, kini aku yang membimbing murid-muridku. Sesungguhnya mereka tidak hanya menjadi orang yang aku didik, melainkan mereka juga merupakan guru bagiku yang memberi banyak inspirasi dan makna dalam hidupku. Mungkin sedikit diantara mereka juga ada yang tengah merasakan cinta saat masa remaja berlangsung. Setelah menjalani profesiku sebagai guru selama setengah tahun, rupanya aku amat menyukai ini sebab aku merasa seperi kembali pada kisah-kasih dan masa-masa indah di sekolah . Tubuh pun sepertinya enggan merasa tua bila melihat murid-murid usia remaja setiap hari.
            

Tanpa ku sadari rupanya aku adalah salah satu guru yang disukai oleh murid-muridku di sekolah dan juga dirindukan layaknya aku merindukan Dataran Tinggi Dieng. Sesungguhnya aku tidak ingin menjadi seseorang yang merasa terpuruk akan beban berat, tetapi aku juga tidak ingin menjadi seseorang yang merasa mabuk akan kesenangan, kebebasan dan keringanan.
            

Murid-muridku telah tiba, dan inilah saat dimana aku merasakan kebersamaan dengan mereka saat diluar sekolah. Ketika aku mengajarkan cara menyuarakan kata-kata indah dalam Bahasa Jerman tetapi di atas Tanah Dieng ketinggian 2.100 Meter diatas permukaan laut.
            

Buku agenda bersampul hitam yang telah aku tempeli dengan stiker bertuliskan Lafadz Allah, Rasulullah, Bendera Indonesia dan Bendera Jerman aku tutup kembali dan pulpen aku sematkan disaku kemeja putihku yang berpadu dengan celana hitam untuk selanjutnya kembali menikmati keindahan Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah.            


1 Iya pak, ini dari sekolah swasta di Bandung dan sekarang mau melihat sunrise di Sikunir. Aku mau berangkat dulu, pak.
2 Herr= Tuan / bapak dalam Bahasa Jerman

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi