Hati kalian kok cantik banget sih... Ujar seorang kapten pilot.

                  
Entah apa yang menyebabkan aku menjadi seorang kapten pilot dalam sebuah penerbangan. Awalnya aku merasa bingung dengan semua ini, akan tetapi kemudian aku mengambil keputusan untuk menikmatinya saja. Barang kali ini dapat menjadi sebuah pengalaman yang tak terlupakan sepanjang hidup. 


Pagi hari itu usai briefing di bandara, aku melangkahkan kaki masuk ke sebuah pesawat Boeing 747-400 si raksasa langit, pesawat favoritku sejak dulu. Langit masih belum begitu terang saat itu, baru segaris cahaya matahari tampak di horizon timur seraya jemari tangan kiriku menarik koper berukuran sedang dan langsung mengangkatnya ke ruang kokpit di dek atas. "Pagi kapten..." Begitulah sapaan para awak pesawat ketika diriku melintasi kabin. "Yeah, morning..." Ujarku singkat. Tak lama berselang aku terduduk di dalam ruang kokpit. 

Sambil menanti Allen dan Maureen, dua orang yang merupakan sesama awak kokpit datang, aku membuka peta jalur penerbangan sambil mencoba menyalakan beberapa instrumen penerbangan. Melihat ini, aku merasa seperti terjun ke dunia sendiri sampai tak sadar Allen dan Maureen datang. "Cie udah siap-siap nih kapten..." Maureen menceletuk sambil menerbitkan senyum manis tepat di parasnya. Ini membuatku semakin bersemangat menerbangkan pesawat. Halah, gak usah baper lah kapten... *bahasa anak kekinian. 

"Gimana, semua udah dicek kapten?" Ujar Allen. "Perangkat auto-pilot, altimeter, perangkat alat komunikasi, bahan bakar + mesin udah saya cek. Alhamdulillah, semua oke." Allen mengangguk sebentar dan kembali bertanya "Cuaca gimana?" "Alhamdulillah cuaca di sepanjang jalur penerbangan dari Cengkareng ke Chek Lap Kok baik buat penerbangan hari ini." Singkat cerita, penerbangan ke Hong Kong kali ini terasa sangat spesial karena akan dipimpin oleh dua orang kapten pilot, yakni Aku dan Allen beserta satu orang ko-pilot yang tak lain dan tak bukan adalah Maureen. 

Sejatinya, aku adalah satu-satunya kapten pilot di dalam pesawat hari ini. Sedangkan Allen menjadi First Officer dan Maureen menjadi Second Officer. Kurang dari 30 menit duduk di kokpit, Kapten Allen keluar dari ruang kokpit dan ketika kembali, ia menyuruhku untuk menjumpai dua orang penumpang. Siapakah mereka? Kita lihat saja... "Kapten, enggak usah turun ke pintu bawah. Stay di sini aja, nanti langsung sambut Stevie sama Emily, dua penumpang unaccompined minor kita." 

Mendengar nama penumpang pertama, aku merasa seperti kenal dengannya dan terbukti tatkala ia datang tepat di hadapanku. Ialah Stevie, murid kesayanganku di sekolah. Dirinya terlihat sangat senang ketika mengenal wajah sang kapten pilot dan tepat di belakangnya, seorang gadis berambut pirang nan pendek berdiri. Ini Emily, gadis 12 tahun asal Belanda. Ia merupakan teman sebaya Stevie saat dulu sekolah di Jerman. Kini, mereka berangkat bersama-sama dalam satu penerbangan. 

Ketika semua telah siap, aku meminta izin kepada ATC untuk melakukan push-back untuk selanjutnya bergerak ke arah landasan pacu. Kapten Allen tampak serius membantuku menggerakkan pesawat ke landasan pacu, sedangkan Ko-pilot Maureen tampak serius mengawasi berjalannya seluruh sistem beserta komponen penerbangan. "V1..., Rotate...," Ujarku setelah petugas menara ATC mengizinkan pesawat lepas landas. Dengan tatapan tajam ke landasan, kedua tanganku kini menarik tuas kemudi pesawat dibantu dengan Kapten Allen dan... Pesawat berhasil lepas landas!!! 

Menjadi seorang kapten pilot di usia 20-an merupakan kebanggan tersendiri sebab pilot lain baru bisa menjadi kapten pada usia 30 tahun ke atas. Sekarang, aku sedang merasakan euforia karena berhasil melepaslandaskan pesawat berukuran besar. Begitu juga dengan Allen dan Maureen. Ketika menoleh ke belakang, aku melihat First Officer Maureen sedang tersenyum-senyum sendiri. "Maureen, kamu jangan senyum-senyum sendiri dong, ntar penumpang cowok jadi banyak yang naksir kamu lho..." Guyonanku ini disambut oleh gelak tawa Kapten Allen. Penerbangan dari Jakarta ke Hong Kong merupakan penerbangan dengan durasi relatif singkat, yakni enam jam. Bila pesawat mengangkasa jam enam pagi, maka roda pesawat akan menggilas Tanah Hong Kong puku l2 siang. 

Tiga jam penerbangan, aku menyempatkan diri keluar dari kokpit dan aku menjumpai Stevie sedang asyik bercanda dengan Emily. Keduanya memiliki paras cantik sehingga aku merasa terpesona olehnya. Stevie dan Emily pula memasang raut tersipu malu saat aku memuji kecantikan paras sekaligus hati mereka. Dalam hati aku bergumam, Stevie dan Emily seperti dua bidadari langit yang kini ikut dalam sebuah perjalanan bersama seorang kapten. 

Semula, cuaca terlihat amat sangat cerah alias bersahabat untuk penerbangan. Akan tetapi, kurang dari dua jam sebelum mendarat di Bandara Chek Lap Kok cuaca berubah drastis dari cerah menjadi hujan. Wiper di kaca kokpit melambai-lambai sangat kencang demi menyingkirkan tetesan air hujan. Di saat yang bersamaan, aku merasakan guncangan turbulensi di dalam pesawat yang membuat pintu kokpit terbuka. Sesekali aku melihat Stevie dan Emily saling memeluk seraya memasang raut tegang. Sedangkan aku, harus tetap mempertahankan posisi pesawat dari guncangan turbulensi bersama Kapten Allen dan First Officer Maureen. 

Perlahan-lahan, daratan Hong Kong terlihat oleh pandangan mata meskipun langit masih menangis tepat di atas seekor burung raksasa. "Oke, sekarang kita bakalan landing di tengah hujan. Tolong kasih tau penumpang sama awak buat duduk sekalian pake seat belt. Insha Allah semuanya aman." Ujarku singkat dilanjutkan oleh pengumuman dari Kapten Allen untuk para penumpang dan awak kabin. 

Kini, pesawat telah terbang semakin rendah dan semakin dekat dengan permukaan tanah. Ada ketegangan dalam hati, namun dengan ucapan "Bismillahirrahmanirrahim" seorang kapten pilot muda mendaratkan Pesawat Boeing 747-400 di landasan pacu milik Bandara Chek Lap Kok. Wuussssh... roda sayap pesawat menyapu air di permukaan landasan usai mencoba melihat di balik awan sekaligus di balik hujan. Usai mendarat, aku bercerita tentang Bandara Kai Tak pada First Officer Allen serta Second Officer Maureen. Dulu, Bandara Kai Tak berada di dekat gedung tinggi beserta bukit sehingga pesawat harus melakukan pendaratan berisiko. Tak lupa aku menambahkan nama seorang kapten pilot senior sebagai referensiku. Aku mendapatkan cerita tersebut ketika masih berpangkat first officer

Sebagai kenang-kenangan, Stevie dan Emily meminta foto bersamaku, Kapten Allen dan First Officer Maureen. Ah, hati kalian kok cantik banget sih... Aku bergumam sendiri dalam hati usai melihat Stevie pergi meninggalkan pesawat diikuti oleh Emily persis di belakangnya, 

Oh, rupanya cerita di atas hanyalah sebuah mimpi belaka. Aku terjaga dari lelapnya tidur dan langsung ingat akan kegiatan belajar-mengajar Bahasa Jerman sebagai seorang guru lengkap dengan murid-muridnya. Sabar ya Stevie cantik, pagi-pagi bapak juga udah ada di sekolah kok...

Tertulis, kata-kata indah seorang Guru Bahasa Jerman.

Kamis, 14 Januari 2016
Pukul 18.00 WIB. 

Sumber foto/gambar: commons.wikimedia.org www.flickriver.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi