Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi

Pernah mendengar lentera jiwa? Andai kalian sudah pernah mendengar dua kata yang terdiri dari 11 huruf tersebut, kalian dapat melihat cahayanya dalam pikiran dan batinku. Lentera itu bersinar sejak aku masih kecil hingga saat ini sebagai seorang remaja yang dapat merasakan keindahan masa hidupnya. Tetapi aku tak ingin bercerita tentang keindahan perjalanan masa remajaku. melainkan aku ingin bercerita tentang rasa galau dan risau yang membelengguku akhir-akhir ini. Aku merasa cahaya lentera jiwaku meredup atau lebih tepatnya bersinar secara tidak menentu karena sesuatu hal. 
Sumber gambar: www.esqlife.com.

Saat kecil dulu, langit Bumi tampak disinari oleh lentera jiwa demi membuka jalan daar bij die lucht (Nun jauh di udara, dalam Bahasa Belanda) untuk aku pergi menerbangkan pesawat sebagai seorang kapten pilot. Jujur saja, dari kecil aku memang sudah dibiasakan periksa gigi secara rutin ke dokter gigi tetapi diriku acap kali enggan tuk pergi kesana dan agar ada motivasi, aku pun diberi cahaya oleh lentera jiwa tuk menjadi seorang penerbang. Waktu terus berlalu tanpa terasa, mimpi menjadi seorang penerbang pun memudar dari ruang batinku dan digantikan oleh mimpi menjadi seorang diplomat saat akan beranjak remaja. 

Berkali-kali dengan penuh semangat aku memproklamasikan cita-cita berkelilng dunia saat sudah menjadi diplomat kepada orang-orang terdekatku. Agar bisa menjadi diplomat, aku diberi saran supaya berkuliah di jurusan ilmu Hubungan Internasional yang kemudian menjadi impianku sepanjang perjalanan masa remaja, tepatnya saat berada di jenjang SMP. 

Tetapi itu pula hanya berlangsung singkat sebab ketika mengawali jenjang SMA sebagai masa terindah sepanjang hidup, takdir menuntunku berkenalan dengan pelajaran Bahasa Jerman. Sejak awal, aku amat menyukai pelajaran Bahasa Jerman hingga diriku menanamkan keinginan mendalami bahasa Negeri Panser di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) demi menyematkan gelar "Guru Bahasa Jerman" pada diriku sendiri beberapa tahun mendatang. Ah, sungguh indah membayangkan semua itu sampai pada suatu hari jalan dibuka lebar dari Kota Kembang hingga Dataran Tinggi Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah kala aku masih merajut mimpi sebagai seorang guru Bahasa Jerman. Di tempat dewa-dewi bersemayam ini aku sanggup mendalami lebih jauh makna indah akan persahabatan, pertemanan kebersamaan hingga perasaan jatuh cinta dengan seorang gadis remaja yang sekaligus menjadi teman sekelasku.

Lebih dari setengah tahun berlalu, ibuku mengajakku berkunjung ke Kampus Unpad Bukit Dago guna mengambil berkas ujian mahasiswa yang belum sempat dikoreksi. Di akhir tahun 2015 ibuku memang diberi amanah sebagai dosen tamu bagi jenjang pasca sarjana di Kampus Unpad walau sejatinya beliau adalah Dosen Universitas Katolik Parahyangan (Unpar). Sampai sebelum libur natal dan tahun baru pun Unpad tak kunjung libur sampai aku bertanya tentang kapan libur. Ibu menjawab bahwa Unpad hanya libur saat tanggal merah karena ini adalah Indonesia. Beda dengan Eropa yang mengalami libur natal dan tahun baru dalam waktu lama.

Seketika, rasa percaya diriku masuk jurusan Bahasa Jerman UPI goyah karena memikirkan sistem belajar yang kemungkinan sama dengan Unpad. Tetapi, saat itu aku masih memiliki tekad yang kuat agar bisa mendalami ilmu Bahasa Jerman di sana hingga akhirnya hanya setengah tahun berselang, dengan iseng aku mencoba membuka kalender akademik UPI yang tertera di internet dan seluruh tekad kuatku runtuh dalam sekejap tatkala pandangan mataku menatap jadwal UAS milik UPI yang justru dilaksanakan dari akhir bulan Desember hingga awal Januari saat libur natal-tahun baru berlangsung.

Aku pun bimbang, haruskah aku meneruskan studi ilmu pendidikan Bahasa Jerman ke UPI dengan risiko bin konsekuensi hanya libur akhir tahun saat tanggal merah? Atau haruskah diriku kembali pada niat semula, belajar mendalami ilmu Hubungan Internasional di Unpar agar dapat menikmati libur natal dan tahun baru dalam jangka waktu lama? Aku masih merasa bimbang menghadapi sebuah dilema di injury time sebelum memulai masa kuliah satu tahun lagi.

Bila aku masuk UPI, peluang menjadi seorang guru akan terbuka sangat lebar dengan konsekuensi libur akhir tahun menjadi sangat singkat. Bila aku masuk Unpar, peluang menjadi seorang guru tidak akan selebar UPI dengan konsekuensi libur akhir tahun lebih panjang. Tetapi di luar itu, berbagai pertanyaan hinggap silih-berganti dalam benak pikiranku.

Rata-rata orang masuk kuliah itu karena minatnya, bukan karena sistem kebijakan kampusnya. Kamu kenapa cari jurusan yang universitasnya libur lama di akhir tahun?
Ah, terserah saya dong mau gimana. Kuliah sih emang penting, tapi libur juga sama-sama penting. Terus kamu kenapa milih Unpar?
Halah, enggak apa-apalah orang ibu aku aja udah puluhan tahun jadi dosen sana enggak apa-apa tuh. 
Eh, by the way jadi guru itu enggak harus selalu dari UPI juga kan? Dari universitas lain bisa kan? Iya sih, emang enggak semua guru dari UPI. Ibu aja alumni Fikom Unpad sekarang jadi Dosen Unpar. 
Sepanjang hidup enggak harus jadi guru kan?
Betul, saya juga punya rencana jadi penulis kalo misalnya enggak jadi guru. 

Kebimbangan itu masih senantiasa membelengguku hingga saat ini. Shalat Istikharah sudah kulakukan sebanyak dua rakaat, tetapi entah kenapa rasa bimbang tersebut masih belum mau hilang dari benak dan batinku. Inginku tanyakan pada serdadu-serdadu burung Manyar, ingin pula ku tuliskan lembaran-lembaran kisah indah bersama Stevie sang murid kesayanganku yang seperti seekor burung Manyar betina saat remaja. Tetapi, dilema masih mengepung diriku dan sulit rasanya berjumpa dengan sang Manyar...


Bandung, Jumat 10 Juni 2016
Pukul 10.13 WIB.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)