Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Fajar belum sampai tiga jam menyingsing di atas benak tatkala seorang guru muda terduduk di tengah hamparan rumput ilalang bersama seorang murid kesayangannya. Ia hanya seorang gadis 13 tahun dengan segenap rasa ingin tahunya dan demi mendapatkan jawaban akan rasa ingin tahunya tersebut, ia tak sungkan bertanya padaku. 

"Herr, barusan aku lihat ulat bulu di sekolah. Sebelumnya aku dikasih tahu sama Hanum ada ulat bulu di dekat sepatu, terus gara-gara kaget aku langsung kabur... Tapi kenapa ulat bulu itu selalu bikin gatel ya Herr Aldi?" Kala aku membaca raut wajah dan kata-kata dari suara indahnya, jelas ada rasa takut sekaligus trauma menyeruak kepada ruang batinku. Aku memang hanya seorang guru Bahasa Jerman akan tetapi aku harus menjawab pertanyaan Stevie murid kesayanganku bagaimanapun caranya. 

"Stevie cantik, maaf bapak enggak tahu kenapa ulat bulu bikin kita gatel kalo disentuh." Ujarku singkat sebelum meneruskan kata-kata. "Terus gimana herr?" Ia kembali bertanya seraya menunjukkan rasa traumanya. "Gini Stev, sekarang bapak bakal cerita tentang ulat sama kupu-kupu. Memang agak jijik kalo denger kata ulat, tapi cerita ini punya hikmahnya. Kamu dengerin ya." Kemudian aku menarik nafas sebelum bercerita. 

Ulat bulu, memang hanya sebuah binatang kecil yang acap kali dipandang orang sebagai binatang yang menjijikkan serta menggelikan karena bulu-bulu di tubuhnya. Jangankan melihat, mendengarnya saja sudah merasa jijik. Akan tetapi, coba lupakan itu semua. Kali ini aku akan bercerita tentang metamorfosis ulat bulu. 

Ketika masih menjadi ulat, ia akan selalu bepergian kemanapun ia suka baik itu dedaunan pohon atau rerumputan usai menetas dari telurnya. Ia akan memakan begitu banyak dedaunan atau rerumputan sampai ia kenyang. Lalu ia akan berdiam di ranting pepohonan untuk selanjutnya menjadi kepompong beberapa minggu atau mungkin beberapa bulan. Usai berdiam di dalam kepompong, ia akan menetas sebagai kupu-kupu indah dan terbang kemanapun ia mau. Beres bercerita tentang proses metamorfosis ulat bulu menjadi kupu-kupu, aku segera menarik hikmah dari cerita tersebut. Dengan kehadiran Stevie di sebelah kananku, aku merasa seperti bapak dan anak. Tanpa basa-basi, aku pun menceritakan hikmah yang dapat dipelajari dari ulat dan kupu-kupu. 

Pertama, guna mendapatkan sesuatu yang manis harus melalui sesuatu yang pahit nan menyakitkan baik itu pengorbanan, usaha, upaya, ikhtiar, serta kesukaran-tantangan-air mata. Ulat bulu membuat kita merasa jijik akan tetapi kita akan merasa terpana tatkala melihat dirinya sudah berubah menjadi kupu-kupu dengan kepakan sayap indahnya. Dari sebutir pil pahit, orang hebat akan lahir seraya ia menelan madu nan manis dan lebih manis dari madu lebah. 

Kedua, kita tak perlu meremehkan orang lain sebab orang yang kita remehkan bisa saja lebih baik dari diri kita. Contoh, dahulu Presiden Joko Widodo pernah diremehkan tidak sanggup berbicara bahasa Inggris oleh banyak orang saat ia masih berstatus sebagai calon kepala negara. Namun setelah terpilih dan menjabat sebagai kepala negara, ia membuktikannya dengan pidato berbahasa Inggris di KTT APEC Beijing, Tiongkok. 

"Gimana Stev, kamu ngerti enggak maksud bapak?" Aku bertanya hanya sesaat setelah selesai bercerita. "Hmmmm, ya herr sekarang akuu ngerti. Manis itu lahir dari pahit, terus orang hebat itu lahir dari kesukaran-tantangan-air mata kayak kupu-kupu yang asalnya ulat bulu." Aku dan dirinya tersenyum seraya makna-makna indah hinggap di dalam benakku dan ia seperti seekor kupu-kupu. Ini menjadi hal yang dapat dipelajari sebagai inspirasi renungan pagi. Meskipun aku adalah seorang guru dengan tugas memberi pelajaran pada murid-muridku, namun aku tetap harus mempelajari makna-makna indah pada kehidupan juga pada murid-muridku yang sejatinya merupakan guru akan makna indah kehidupan. 

Tertulis, catatan indah seorang guru Bahasa Jerman di bawah langit pagi. 

Bandung, 17 April 2016.
Pukul 08.02 WIB. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi