Penggalan kisah lama: Cerita kepada sahabat dari Tanah Kalimantan


Langit pagi tampak begitu cerah menaungi tanah Bumi dan seisinya tepat saat seorang guru muda tengah duduk menikmati suara alam. Senandung serdadu burung Manyar lengkap dengan kicauan nyaring tonggeret melengkapi hembusan angin yang membuat rerimbunan daun milik pepohonan ikut melambai padaku seorang diri. Aku pun menikmati semua itu hingga seorang gadis 13 tahun datang menghampiriku. Sungguh, ia sudah seperti seekor burung Manyar betina dengan kicauan emasnya. 

"Herr Aldi, kayaknya foto ini diambil waktu di luar negeri nih." Meskipun ia berkicau merdu, namun kata-katanya sungguh menghentak ruang batin. Tanpa pikir panjang, aku segera menceritakan bahwa foto tersebut tidak diambil di luar negeri melainkan di dekat ruang kedatangan Bandara Internasional Sultan Aji Mahmud Sulaiman alias Bandara Sepinggan di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur awal tahun 2016. "Ih, seriusan herr???" Kini suaranya melonjak naik tatkala aku mengatakan yang sebenarnya. Meski demikian, Stevie sang murid kesayanganku tetap meminta diriku untuk menceritakan perjalanan saat mengembara ke Kalimantan, tanah tempat seribu sungai membelah daratan. 

"Oke Stev." Ujarku di tengah hamparan rumput sambil mendengarkan suara tonggeret di pagi hari. 

Dini hari itu, Sabtu 13 Februari 2016 sekitar pukul 02.00 WIB. Matahari tengah mengurung dirinya seraya kumandang adzan Subuh masih bungkam dan kebanyakan manusia tengah menjalin cerita di alam mimpi. Akan tetapi, hal itu hanya berlaku sementara bagi diriku sebab saat itu aku telah terjaga dari tidur untuk selanjutnya bersiap-siap mengembara ke Tanah Kalimantan. Dengan mengenakan baju bebas, aku berkumpul di sekolah dengan teman-temanku guna melakukan briefing sebelum berangkat ke Bandara Soekarno-Hatta pukul 03.00 WIB. Jujur saja, aku lupa membawa pengisi baterai kamera sehingga saat sudah berangkat aku menyempatkan diri menghubungi ayahku. Beliau tak banyak berkata-kata untuk urusan ini dan hanya menyarankanku untuk mencoba meminjam pengisi baterai yang sama pada temanku. Kurang lebih setelah setengah perjalanan, kami berhenti di rest area guna melaksanakan shalat subuh di masjid dan pukul 05.00 WIB, perjalanan kembali dilanjutkan ke Bandara Soekarno-Hatta. 

Alhamdulillah, perjalanan di pagi hari itu sangat lancar sehingga kami dapat sampai di Terminal 1 Bandara Soekarno-Hatta pukul 06.30 WIB. Begitu turun dari bus, aku langsung melihat Ali alias Abah dan Adit NR yang sudah lebih dulu menanti di Bandara Soekarno-Hatta. Usai berkumpul di teras bandara, kami segera menuju ke counter check-in milik maskapai penerbangan Lion Air. Rencananya, kami akan berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta pukul 09.25 WIB dengan menggunakan pesawat Lion Air JT 758. Sebelum terbang, kami harus menunggu selama sekitar 1,5-2 jam di bandara sebelum akhirnya boarding sekitar pukul 09.00 WIB. Bila tidak salah, penerbangan Jakarta-Balikpapan hari itu dipimpin oleh Kapten Pilot Tedjo Edy Purwanto (mohon maaf, aku tidak begitu ingat siapa nama pilot pesawatnya karena suara di speaker tidak begitu jelas) berlangsung selama 1 jam 50 menit. Perbedaan waktu antara Jakarta dengan Balikpapan adalah satu jam. Usai terbang, kami mendarat di Bandara Internasional Sultan Aji Mahmud Sulaiman alias Bandara Sepinggan pukul 12.30 WITA dan selanjutnya perjalanan diteruskan ke STT Migas Balikpapan. Perjalanan dari Bandara Sepinggan ke STT Migas memakan waktu lama karena harus berputar-putar mencari lokasinya selama beberapa jam.

Usai mencari-cari, akhirnya lokasi ditemukan dan kami diberi penjelasan oleh mahasiswa dan dosen setempat selama sekitar dua jam serta tidak lupa kami melaksanakan shalat Dzuhur-Ashar dengan dijamak. Pukul 17.15 WITA kegiatan di STT Migas berakhir lalu perjalanan diteruskan selama tiga jam ke Islamic Center Samarinda. Karena perjalanan sangat jauh, maka pada akhirnya kami sampai pukul 20.00 WITA di Islamic Center Samarinda. Tidak langsung tidur, melainkan setiba di Islamic Center kami menyempatkan diri untuk mandi dan mencari makan malam tidak jauh dari penginapan. Usai makan malam, sontak anak laki-laki dihebohkan dengan kehilangan handphone milik Akbar yang diperkirakan terjadi saat kami tidak berada di penginapan. Menurut kesaksian Ali, saat dirinya hendak menelepon seseorang ia mengaku melihat seseorang berdiri di belakang penginapan dan selanjutnya pergi. Kemudian ketika kamar kosong, ia masuk dengan cara meloncat dari jendela lalu mengambil telepon seluler Akbar. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya perubahan posisi tas sejumlah anak.

Minggu, 14 Februari 2016

Paginya usai aku shalat Subuh di Masjid Islamic Center, kami segera berkemas-kemas karena di hari itu kami akan berpindah penginapan. Di hari kedua ini, tempat pertama yang dikunjungi adalah Museum Kayu Tenggarong. Untuk dapat sampai di Museum Kayu, bus kami melintasi Jembatan Kutai Kartanegara di atas sebuah sungai besar. Museum Kayu terletak agak terpencil dan kami kunjungi selama setengah jam. Selanjutnya, aku dan teman-temanku bermain ria di Taman Ladaya sampai siang hari. Sesuai jadwal, kami akan berkunjung ke Kampung Suku Dayak yang bernama Pampang. Semula, aku berpikir bahwa Pampang merupakan kampung perumahan suku Dayak seperti Kampung Naga di Tasikmalaya. Namun rupanya Pampang hanya sebuah bangunan gazebo besar sebagai tempat dimana tarian-tarian khas Suku Dayak yang dapat ditonton oleh banyak orang, termasuk aku dan teman-teman.

Ada sembilan tarian yang dipentaskan selama dua jam. Saat pentas tari masih berlangsung, aku sempat pergi ke kamar mandi serta sebanyak dua kali aku dimintai sesuatu oleh anak-anak perempuan suku dayak. Namun aku tidak mengerti apa maksud mereka sehingga aku tidak memenuhi permintaannya sampai perjalanan kembali diteruskan menuju Hotel Hayani Samarinda. Dalam perjalanan dari Pampang, dua orang berkepala pirang yang sepertinya sepasang kekasih/suami istri (bila tak salah mereka berasal dari Cekoslowakia) ikut serta dengan kami sampai di Samarinda. Akan tetapi aku tidak tahu kemana tujuan mereka.

Usai beristirahat selama beberapa jam di Hotel Hayani, kami segera mencari makan malam di pusat perbelanjaan Samarinda Plaza Center. Tujuan anak laki-laki dan perempuan memang berbeda. Seingatku, saat itu anak laki-laki makan malam di sebuah restoran yang menyajikan makanan tradisional. Tidak puas dengan itu, maka tujuan selanjutnya adalah Toko Buku Kharisma dan toko perhiasan. Di sinilah aku membeli seutas kalung berbentuk huruf "K" yang sudah lama menjadi incaran adik perempuanku bila berbelanja ke mall.

Malamnya, kami beristirahat di Hotel Hayani.

Senin-Selasa, 15-16 Februari 2016

Tempat tujuan selanjutnya tentu saja adalah Taman Wisata Bukit Bangkirai. Perjalanan berlangsung sekitar satu jam dari Hotel Hayani. Di Bukit Bangkirai, kebanyakan dari kami bermain jembatan gantung sebagai pengalaman yang unik. Namun, aku tidak menyeberang jembatan gantung karena merasa takut sehingga aku hanya menunggu di bawah. Puas bermain di Bukit Bangkirai, kami segera menuju area pertambangan milik PT. Singlurus Pratama dan sebelum berangkat, sebanyak tiga orang pegawai pertambangan yang tidak lain adalah Pak Kartono, Pak Stevy dan Pak Basri memberikan arahan terkait aktivitas di area pertambangan.

Panas, kering dan berdebu itulah gambaran yang tepat bagi area pertambangan. Meski demikian, aku tetap bertahan untuk mendengarkan informasi tentang area pertambangan sebelum akhirnya bergerak menuju Hotel Bintang di Balikpapan. Berbeda dengan kelompok tidur di Samarinda, saat di Balikpapan aku satu kamar dengan Miko dan Kiki. Menjelang maghrib, aku mengadakan evaluasi bersama teman-teman juga Pak Iman, Pak Rahmat, Bu Lala dan Bu Intan sebagai guru penamdping di salah satu kamar hotel. Selanjutnya, kami mencari makan malam di luar hotel. Bersama teman laki-laki, aku menyantap makan malam di sebuah restoran Padang tak jauh dari hotel.

Ketika yang lain sedang berada di pantai, aku memilih untuk shalat-mandi-istirhat seorang diri di kamar hotel.

Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, di hari terakhir ini kami diberi kebebasan guna mengunjungi tempat-tempat di Balikpapan. Seperti biasa bersama siswa laki-laki lainnya, dengan menggunakan angkot biru benomor 06 aku pergi menuju Pasar Inpres Kebun Sayur dan disana aku membeli sebuah kaos. Selesai berbelanja di Pasar Kebun Sayur, kami menuju ke Pantai Kemala di siang hari. Hanya memesan minum dan tidak berenang, aku mengisi kegiatan di Pantai Kemala dengan memotret pemandangan sekitar.

Menjelang waktu Ashar usai makan siang, kegiatan di Balikpapan diakhiri dengan perjalanan ke Bandara Sepinggan. Setiba di Bandara Sepinggan, menunggu counter check-in dibuka masih harus kami lakukan sebelum akhirnya proses check-in bisa dilakukan. Semula, pesawat Lion Air JT-757 akan berangkat dari Balikpapan pukul 19.10 WITA namun penerbangan ditunda sampai pukul 19.40 WITA. Karena pesawat delay, maka aku menyegerakan shalat Maghrib dijamak dengan Isya di Mushola Bandara Sepinggan dan baru pukul 19.40 WITA, pesawat berangkat dari Balikpapan.

Usai mendarat pukul 20.45 WIB di Bandara Soekarno-Hatta, bagasi tidak lupa diambil. Namun ketika aku sudah keluar dari pesawat, aku memutuskan menunggu teman-teman di garbarata. Ketika aku berdiri di pintu samping, aku ditanyai mau lewat atau tidak oleh seorang pilot senior yang berdiri dengan seorang pilot muda. "Oh enggak, ini mau nunggu temen dulu kapten." Ujarku kepada dua pilot pesawat tersebut. Selanjutnya kami segera mengambil bagasi dan kembali pulang ke Bandung. Kami tiba di Bandung sekitar pukul 02.40 WIB setelah hari berganti.

Setelah aku selesai bercerita, aku terdiam untuk sejenak demi membiarkan alam bersuara. Angin pagi masih kencang berhembus seiring dengan kicauan serdadu burung-burung Manyar. Sadar aku melamun, Stevie berusaha membuyarkan kesunyian. Dari celetukannya aku sadar suaraku tampak menurun tatkala bercerita tentang perjalanan ke Kalimantan.

"Hmmm, jadi gitu perjalanan Herr Aldi ke Kalimantan. Eh, by the way ada kisah cinta lagi enggak di Kalimantan?" Pertanyaan Stevie kali ini membuatku tersadar kembali. Aku pun mengatakan bahwa di Kalimantan aku tidak sempat menorehkan kisah cinta seperti saat berada di Dataran Tinggi Dieng serta hal itu yang membuat perjalanan ke Tanah Kalimantan sang Negeri Seribu Sungai tak seindah perjalanan ke Tanah Dieng tempat dewa-dewi bersemayam pada negeri di awan. Usai Stevie mengangguk-angguk, aku iseng bertanya pada dirinya terkait dengan siapa ia merasa jatuh cinta. Dengan malu-malu, ia menjawab bahwa ia belum merasa jatuh cinta.

Ahh, sungguh menjadi cerita yang sangat indah...

Tertulis, kisah indah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan.

Kamis, 31 Maret 2016
Pukul 08.18 WIB. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi