Sudahkah kita lebih baik dari beliau?

    
Sumber: http://www.wowkeren.com/berita/tampil/00092514.html

Di bawah naungan senja kelabu lengkap dengan guyuran hujan deras, seorang guru muda seperti biasanya menuliskan apa yang telah dirinya lakukan sepanjang hari termasuk mendalami makna indah dari Bahasa Negeri Panser alias Jerman. Baginya, hari ini berjalan biasa-biasa saja tanpa ada halangan. Stevie sang murid kesayangannya pun merasakan hal serupa. Namun, secara tiba-tiba ia meluapkan emosinya karena tokoh idolanya dihujat habis-habisan. Aku pun harus membantu dirinya untuk dapat menyelesaikan masalah. 

Membaca judul tulisan di atas, kita akan langusng teringat pada sosok Presiden Joko Widodo alias Jokowi. Sudah beberapa tahun lamanya beliau mengemban amanah dari rakyat untuk menciptakan serangkaian perubahan besar di Tanah Air, sesuai dengan rencana besar beliau. Tak sampai di situ, Presiden Jokowi pula menjadi idola bagi banyak orang karena keunikan gaya kepemimpinannya. Aku termasuk salah satu pengagum beliau, dan Stevie pun ikut mengagumi Presiden Jokowi. Konon, ia mengagumi sosok mantan Walikota Solo ini sejak usia lima tahun. 

Kurang dari setengah jam sebelum bel pulang sekolah berdering, Stevie secara tak sengaja membicarakan kebaikan-kebaikan Presiden Jokowi lengkap dengan semua proyek-proyek besarnya yang sudah terealisasikan. Aku merasa sangat senang bisa berdiskusi tentang berbagai macam kelebihan Presiden Jokowi selama masa kepemimpinannya. "Duh, aku seneng banget Herr, sekarang Bandung kemacetannya udah berkurang sejak ada Kereta LRT ditambah sama kereta cepat. Itu semua, pencetusnya Presiden Jokowi." Aku melihat senyum terbit di wajahnya. "Sama Stev, bapak juga seneng banget infrastruktur bisa digenjot terus sama Presiden Jokowi. Enggak cuma itu, Presiden Jokowi juga merakyat banget alias mau membaur sama rakyat." 


Aku pun larut dalam pembicaraan bersama Stevie. Namun, tiba-tiba seorang teman Stevie berusaha mematahkan isi pikiranku dengan dirinya. Aku tak ingin menyebutkan siapa namanya. Namun saat aku belum selesai berdiskusi dengan Stevie, ia langsung menghujat Presiden Jokowi secara terang-terangan. Sontak, aku merasa terkejut dengan hal itu dan Stevie pun meluapkan amarahnya pertanda tidak terima dengan hujatan kepada Presiden Jokowi. Bila dihitung, perdebatan panas antara Stevie dan teman pembenci presiden-nya tersebut terjadi dalam jangka waktu lima menit. 


Stevie sudah merasa sangat emosi, langsung melangkahkan kakinya keluar kelas sambil membanting pintu kelas. Terus terang saja, hal ini membuat orang seisi kelas merasa sangat terkejut dan sebagian kecil yang berada di luar kelas. Temannya yang tadi menghujat Presiden Jokowi hanya bisa bingung. Lalu, aku keluar dari kelas untuk mencari Stevie. 


Kurang dari lima menit, aku berhasil menemukan Stevie dan langsung mengajaknya bicara. "... Namanya demokrasi, ya pasti kayak gitu Stev. Ada pro ada juga kontra..." Ujarku singkat pada gadis 12 tahun ini. Tanpa pikir panjang, aku menceritakan sepenggal perjalanan sejarah bangsa Indonesia dari era Orde Baru ke era Reformasi. 


Lebih dari 40 tahun lalu, Ibu Negara Indonesia Hj. Siti Hartinah Soeharto atau yang lebih akrab disapa Ibu Tien Soeharto, mencetuskan proyek Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Waktu proyek ini baru dicetuskan, pro-kontra bermunculan dan banyak orang yang menentangnya. Namun, setelah puluhan tahun berdiri, banyak manfaat dari TMII yang dirasakan. Hal ini mengingatkan Stevie pada proyek kereta cepat jalur Jakarta-Bandung dan ia bertanya, "Ground breaking-nya tahun berapa herr?" "Itu awal tahun 2016, waktu bapak kelas 11 SMA. Terus kamu kelas berapa Stev?" "Aku masih kelas satu SD herr..." Senyum tipis terbit di paras cantiknya. Kemudian aku melanjutkan cerita tentang proyek kereta cepat tersebut. Ketika baru dibangun, proyek tersebut menuai pro-kontra dan contohnya adalah karena masalah izin sekaligus dampak lingkungan. Sejatinya, sebagai pendukung setia Presiden Jokowi aku merasa tidak senang dengan hal-hal bernuansa seperti itu. 


Tetapi di sisi lain, Kepala Bappenas Sofyan Djalil bercerita bahwa kita harus belajar dari perjalanan sejarah Indonesia seperti yang telah diceritakan di atas. Kini, tiga tahun setelah kereta tersebut dioperasikan, manfaatnya mulai terasa sedikit demi sedikit. Kelak puluhan tahun kemudian, manfaat dari kereta cepat Bandung-Jakarta akan lebih banyak yang terasa. 


"Stev, jadi gimana nih ending dari obrolan kita sekarang?" Ujarku seraya membuyarkan lamuman sang gadis. "Hmmm, jadi pro-kontra itu bakalan tetap ada sampe kapanpun juga. Itu kaitannya sama perbedaan opini, jadi kita hargain aja herr." Aku pun merasa setuju dengan ucapan Stevie kali ini. Namun, yang terpenting adalah sebuah pertanyaan "Masih suka menghujat presiden? Sudahkah kita lebih baik dari beliau?" Hal itu patut kita pertanyakan pada diri sendiri.


Usai mengobrol dengan Stevie, aku dapat melihat dirinya kembali merasa ceria seraya berdamai dengan temannya tadi. Ah, Stevie... Semoga Presiden Jokowi, bapak sama kamu bisa bikin perubahan besar buat Indonesia... 


"Jangan hanya duduk menikmati perjalanan sejarah, tapi coba torehkanlah sejarah baru sepanjang hidupmu dan jangan bertanya apa yang sudah negara berikan padamu, tapi tanyakan apa yang sudah kamu kasih untuk negara." 




Tertulis, kata-kata indah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan.

Sabtu, 6 Februari 2016.

Pukul 19.20 WIB. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi