Bunga merapuh

 

Larik tirai hujan ini seakan tak pernah sudi menemukan akhir tepat ketika seorang guru muda merasakan betapa rapuhnya sekuntum bunga pada relung hatinya. Kuakui, hari-hari perkenalan dengan Bulan November seperti yang sudah pernah aku tuliskan pada cerita terdahulu merupakan kisah termanis yang pernah kujumpa. Namun kulihat hari-hari selepas hujan tak sampai di Persimpangan Benteng Vredeburg tampak takkan begitu indah di hati. Hujan pun masih sudi bertamu sesuai titah tudung langit ini, namun hujan itu justru tak hadir di saat yang tepat. Persimpangan Benteng Vredeburg aku tinggalkan lepas hujan menyapa. 

Lukisan paras akan empat gadis cantik pengisi hati ini tetap tergurat jelas pada palung pikiran sepanjang ku menyetir mobil pada terbentangnya jalan dari Kota Toulouse, Perancis hingga Amsterdam. Telah sampai yang kesekian kalinya aku menulis cerita tentang pengembaraan di Belanda kendati aku tetap selalu mematut status "Guru Bahasa Jerman." Telah lama jua ku tak menulis tentang catatan waktu bersama Stevie sebab engkau tahu duhai sahabat-sahabat, cerita dalam lembaran ini akan selalu berkisah tentang guratan peristiwa di tengah kisah masa remajaku ini. Tentang cinta, persahabatan, pertemanan dan kebersamaan bagai inti utama kisah tertampak hujan tak sampai di Persimpangan Benteng Vredeburg. Herr Aldi, sudah berapa kali dirimu menggores nama Persimpangan Benteng Vredeburg pada kisahmu? Tak jemukah engkau menunaikan itu?

Tiada kuketahui sebab pasti. Yang jelas hanya kucinta Simpang Vredeburg. Seperti uring-uringan.

Enggan kubertanya sebab tentang mengapa aku suka dengan Persimpangan Benteng Vredeburg, mobil ini aku pacu sedikit lebih cepat menembus fajar nan sunyi ini. Aku mengemudikan mobil cukup seorang diri, tiada kawan pemecah sunyi di belakang pula tiga dara cantik terdekatku. Sunyi ini hanya dipecah oleh riak air yang menari dengan ligat di suatu sungai kecil atau barangkali telaga tiada jauh dari peternakan, tempat para makhluk beragam bentuk-lekuk tubuh bertitah. Di tengah sunyi bersama tarian riak air inilah, aku sadar bilamana tiga dara cantik itu telah berhasil mengubah jalan ceritaku. Stevie kini jarang kutampakkan sebagai murid kesayanganku. Maafkan aku karena aku telah terbuai pada kecantikan tiga dara itu, Stevie. Semoga di lain cerita kudapat menampakkan lagi lukisan garis wajah indahmu.

Bertangkai-tangkai bunga melambai manis pada pelupuk mataku. Angin fajar justru semakin membuat suasana menjadi lebih sunyi terlebih lagi ketika Burung-burung Kutilang dan Gelatik pagi mendiamkan kicauannya. Menarinya riak air pun turut mempersunyi fajar karena aku teringat akan Si gadis bunga, Gloria dan Maureen. Berita terakhir dari kawan, kudengar mereka telah meniti jalan pada kisah tentang lambaian kincir angin. Tatkala aku tanya bersama siapa mereka 'kan mencecah anak tangga kincir angin, mereka hanya ingin mencecahnya bertiga tiada dikawani oleh para makhluk-makhluk bujang seperti diriku. Ingin kukembali bertanya, namun palung hati ini rupanya tak sudi bicara. Alhasil, dalam sekejap aku melepas mereka pergi dan aku mengucap bilamana melepas tiga dara itu beranjak, aku terdengar bagai telah melepas Burung Kutilang dan Gelatik beranjak dari pelukan sarang kepada tersingkapnya tudung langit.

Lepas aku memutar ingatan saat tiga dara tadi beranjak di tengah kesunyian fajar, bathin halus nan tenangku masih belum dapat beralih persis bagai tulisan sang pujangga nada, Katon Bagaskara pada lagu "Tak ingin kuberalih.". Aku telah lupa kapan terakhir kalinya aku menjumpai larik tirai hujan membahasi fajar ditemani dingin ketikaku masih bertahan dalam penantian semenjak mereka pergi sambil menyisakan duka di separuh ruang hati. Hampa tiada makna sebab hanya mereka yang mampu mengisi saat aku mendambakan cinta kasih mereka di belakang rindu tentang hadir mereka selepas pedih dibasuh. Akankah mereka terganti bila kembali? Jawabnya, cukup bathin yang masih enggan beralih.

Andai kuboleh menambahkan kata, di samping mereka masih sangat banyak bunga lain yang ingin menenteramkan hati. Tetapi kenangan akan tiga dara cantik, dalam panggilan untuk hati tiada pernah memudar laksana ditelan lambaian bunga yang akan selalu merapuh.

Bunga merapuh? Daun telingaku tercekat menjamah dua kata terakhir pada elegi di atas. Entah apa sebabnya aku selalu gemar mengulangi tulisan tentang bunga merapuh. Rindu pada si gadis bungakah? Barangkali aku masih belum bisa menghapus ruang rindu di lubuk hati tempat seluruh harapan bermula. Tetapi bagaimanapun jua, lubuk hati ini tetap menaruh rindu pada Gloria dan Maureen selain si gadis bunga. Kurindu akan lukisan senyum manis di bawah mata indah mereka, kurindu alunan suara mereka di samping raga. Bila mereka hadir di sebelahku hari ini, pastilah lubuk hatiku akan luruh segera oleh pesona paras mereka. Ah... Bisa saja engkau menyanjung dirimu sendiri pula kecantikan para gadis, Herr Aldi.

Lantas lepas aku menyanjung bayangan akan pesona tiga gadis cantik tersebut, kesunyian pula terlihat mulai memudar sedikit demi sedikit. Angin yang semula memudar kini kembali bertiup-tiup menandakan aku rindu pada lelambaian rambut panjang Maureen tatkala itik-itik bebeh meniti langkahnya di atas rumput. Pertanda aku merindukan derap lincah telapak kakinya. Tiada peduli tentang apa sebab aku gemar merangkai cerita tentang kehadiran para gadis di tengah hidupku, perjalanan ini aku teruskan sambil membayangkan gadis-gadis ayu tersebut. Kusimpulkan bulat-bulat itulah obat sendu terampuh ketika kuberjalan seorang diri. Mudah-mudahan kisah lain dapat aku cerabut dengan mereka nanti.

Dan di mana perjalananku hendak menemukan muaranya? Kubertanya sekali lagi walau sudah tahu jawabnya. Mobil VW si kawan bisu pastilah akan bermuara di Amsterdam sementara relung hatiku akan bermuara di lubuk hati seorang gadis. Tetapi kukatakan, aku masih sukar memilih salah satu dari tiga gadis itu. Lalu, pada siapa aku akan menambatkan hati? Entah, aku pula turut tak mengetahuinya secara pasti.

Demikian kisahku tentang bunga merapuh, sahabat-sahabat...

Tertulis, kisah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan.

Bandung, 13 November 2016
Pukul 04.59 WIB
- Herr Aldi Van Yogya - 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi