Ruang lokomotif

 
Sumber gambar: www.zenmeme.com

Stasiun Tugu, Yogyakarta, di balik selarik tirai hujan. 

Klakson lokomotif di paling depan gerbong sana sontak menggetarkan jiwa guru muda dalam diriku begitu kelopak mata ini mencerabut nama "Yogyakarta" pada sebidang papan di pinggir rel kereta api. Bersama penumpang lainnya aku terjaga dari tidur siang di sepanjang sisa perjalanan Bandung-Yogyakarta bersama Kereta Api Argo Wilis dan koper aku turunkan secara perlahan dari atas kursi. Kulihat, sekali lagi ke relung jendela gerbong: hujan tak menambat epilog tentang cinta, persahabatan, pertemanan dan kebersamaan persis inti utama bilamana ku menuliskan berlarik-larik cerita di balik tirai kisah. 

Kereta Argo Wilis benar-benar berhenti dengan sempurna sebelum aku turun. Begitu melangkahi pintu gerbong, dengan sorot kelopak mata sendiri kudapati banyak manusia berduyun-duyun menyesaki pelataran Stasiun Tugu. Entah mau kemana mereka berkelana, pula apa tujuannya. Tetapi yang jelas, lubuk hatiku langsung sibuk mencari-cari raut wajah seorang gadis yang konon akan hadir menjemputku hari ini. Belum mendapati garis wajahnya, kucoba tuk menyambangi ruang lokomotif di paling depan saat tirai hujan masih belum sudi dibuka bait pelangi. "Ada apa, mas?" Sergah seorang lelaki paruh usia tak jauh dari pintu lokomotif. "Enggak apa-apa pak. Saya cuma ingin mampir sebentar. Boleh masuk ruang lokomotif?" Tanyaku sejurus kemudian. "Oh boleh mas, silahkan duduk sebentar sambil menunggu hujan reda." 

Bagai diberi sinyal hijau oleh kepala stasiun, ruang lokomotif CC 206 hasil rakitan tangan makhluk Kaukasoid asli Amerika ini aku masuki. Kecil memang. Hanya muat untuk dua orang pengendali lokomotif. Namun ruang lokomotif ini sekilas dapat menahan gempuran hujan bagi diriku sebelum sang gadis datang menjemput dan sang masinis kembali bertanya, "Menunggu dijemput siapa mas?" "Ehm. Nanti ada teman yang datang menjemput. Barusan dia baru kirim Whatsapp lagi, dia terjebak hujan di daerah Condongcatur, masih jauh. Ya sudah, saya tunggu sini dulu." Jawabku sekena ruang hati menerawang. Di depan sana, segaris rel membentang di bawah tangis hujan sementara di samping kanan, banyak orang telah bergerak menyeret tas koper milik masing-masing. 

Gadis itu aku cari dan aku cari lagi, tiada seguratpun garis wajahnya hadir di Stasiun Tugu. Hujan justru semakin menderu ditambah cepatnya lelambaian angin pula udara panas bagai telah lenyap disapu mereka. Ingin rasanya kutinggalkan ruang lokomotif sebab aku merasa tak enak berlama-lama mendiaminya walau sesaat. Namun sang masinis menyeru pada telingaku, "Sudah, silahkan engkau menanti di sini, duhai anak muda. Aku pun masih belum akan beranjak dari Stasiun Tugu lantaran tuan kepala stasiun mentasbihkan hari ini sebagai hari berwajah langit bukan sahabat. Banyak kereta api yang tak bisa beranjak saat ini lantaran tirai hujan telah menutup celah pelarian." Kini ia tampak bagai seorang pujangga penunggang ular besi. "Hahaha, seperti pesawat saja pelarian mesti ditunda." Gumamku seorang diri pada lubuk hati. Alhasil kubiarkan hujan menari ligat demi memancarkan riak air nan lincah di muka bebatuan rel kereta dan aspal jalanan Yogya, tak sudi tertinggal tanah berselimut rumput hijau di tempat Sultan Hamengkubuwono X bertakhta ini. 

                                                                         ****

"Ehm. Sudah menepikan diri pada Kota Yogya, Herr Aldi?" Sekonyong-konyong suara halus nan lembut dari bibir seorang gadis mencomot umpan dalam jiwaku. Kutolehkan batang leher ke segala arah, tiada wajah si pemilik suara. "Herr Aldi..." Tahu-tahu gadis pemilik suara telah metatut diri di belakang tulang punggung. Aku menoleh ke belakang walau tak bisa melihat tulang punggung sendiri. Gloria ternyata. Ujungnya ia datang pula. Lantas aku menyambangi sosok gadis berambut pendek sebatang leher yang tengah menggigil kedinginan tersebut. Padahal, sejatinya Yogya tak pernah jemu dibekap udara panas. Cukuplah aku menertawakan heran bagi diri sendiri menampak seorang gadis dipeluk dingin saat panas mengepung. Sudahlah, lupakan saja argumen hati tersebut. 

Aku menyeka sebagian permukaan rambutnya di bawah naungan akan selingkar kupluk abu-abu muda di atas benak. Telah basah disapa rintik hujan menjelang sore di keramaian Yogya. Gloria tak bereaksi banyak selain menghaturkan "terima kasih" untukku yang membuat raga mengembang karena buncah tiada tentu arah. Lepas aku merasa bahagia, tentunya. "Herr Aldi, seperti apa perjalananmu dari Bandung ke Yogya tadi?" Ia tak sungkan menanyaiku. "Lancar Glor. Tadi aku sempat terlelap di gerbong." Hampir aku lupa mengambil bahasa-bahasa puitis untuk ceritaku. Kemudian ia bertanya lagi terkait sejak berhenti di kota mana aku tertidur. Aku menuturkan, diriku terlelap saat kereta telah melewati daerah Kabupaten Purworejo. Cukup sesaat sampai aku terjaga di Stasiun Tugu. 

Bolehlah aku mendesah kala Stasiun Tugu belum berpisah dengan hujan. Sejatinya aku ingin meniti langkah menembus tirai hujan bersama Gloria, namun derasnya rintik membuatku mesti mengurungkan niat. Maka oleh karenanya, Gloria mengajakku mendatangi sebidang kios pedagang asli stasiun. Belum ingin menelan banyak makanan, titahku pada Gloria yang segera memesan dua gelas teh manis nan hangat. Sungguh merupakan minuman peleleh hati macam kecantikan Gloria yang telah berhasil melelehkan hatiku macam Si gadis bunga. Dan begitu teh manis mendarat di meja, langsung aku seruput sedikit demi sedikit ketika aku dapat mentasbihkan panas yang telah lenyap di Yogya. Macam ucapanku di atas tadi. 

Tak sungkan, Gloria mengungkit lagi cerita tentang keluh-kesah bersalut getirku dahulu. Lalu, aku segera menepikan padanya tentang getir selepas mengembara ke Yogyakarta bersama teman-teman dulu di bulan November. Nun di hari Senin pagi itu, aku telah kepalang mengambil kesimpulan bilamana pertengahan bulan takkan seindah prolog karena menurut hasil penafsiran batinku, seluruh kegiatan akan kembali berlangsung normal tiada kembali ke rumah di awal waktu untuk mengawali kisah di Persimpangan Vredeburg. Tetapi jiwa ini melonjak-lonjak tinggi kala kuketahui andai Hari Rabu aku akan beranjak ke Sabuga demi menunaikan titah olahraga bersama kawan-kawan sebelum libur dua hari selepasnya lantaran sekolah akan libur ketika para guru telah sepakat untuk menunaikan musyawarah dalam suatu kebersamaan. 

Dan jiwa ini mesti goyah lagi, perlu kukatakan saat daun telingaku menyerap telegram tak tampak yang mewartakan akan hadirnya formatif bin ulangan harian sosiologi di satu minggu berselang. Pastilah aku merasa sangat kecewa lantaran waktu libur selama empat hari nanti akan habis dipakai tuk mendalami materi secara lebih dalam. Namun perlu ditambahkan, formatif itu tak membahas teori melainkan lebih cenderung pada penafsiran tentang cerita-cerita yang tergoreskan di muka bumi ini. Bolehlah aku berbahagia.  Akhir kata, aku membiarkan pikiranku mengambang tanpa kejelasan arah navigasi usai menerima cerita tentang pengunduran jadwal kunjungan ke Sabuga pada satu pekan berselang. Hidupku hari ini bagai arah perjalanan kereta roller coaster yang selalu melewati jalur menanjak dan menurun. Akan selalu ada waktunya saat aku berdiam diri di atas sebelum aku mencecah jalan di bawah saat kereta melaju perlahan. 

Kemudian, bagaimana dengan elegi seputar ruang lokomotif tadi? Adakah makna tersirat di dalamnya dengan indah? Atau cukup hadir sebagai tempat aku menanti kehadiran Gloria di Stasiun Tugu Yogyakarta? Tiada pernah aku mengetahui apa jawaban terbaiknya. Cukup aku ditemani larik tirai hujan di Stasiun Tugu Yogyakarta. 

Tertulis, kisah indah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan. 

Bandung, 13 November 2016
Pukul 11.05 WIB
-Herr Aldi Van Yogya-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi