Hujan tak sampai di persimpangan Benteng Vredeburg (Agar selalu ingin kembali)

 

Kuala Lumpur, Malaysia, di suatu sore.

            Palung jiwaku harus luruh oleh rintik hujan yang begitu deras di sore hari ini jua. Kulihat dari relung kaca jendela apartemen tinggi ini, awan kelabu menggantung begitu pekat di tudung langit ibukota Negeri Jiran ini semenjak adzan Ashar lantang mengumandangkan suaranya lebih dari dua jam lalu. Aneh, meskipun kurang dari setengah hari ini kota Kuala Lumpur diguyur hujan deras, tetapi dari balik kaca jendela apartemen aku menampak dengan sorot kelopak mata sendiri sejumlah anak-anak Melayu kecil begitu antusias menyambut datangnya musim hujan dan itu mengingatkanku pada serial kartun si kembar Upin-Ipin yang berasal dari Malaysia juga.

            Kendati hari ini telah habis disapu oleh gemericik air hujan, sejak tadi pagi aku selalu merasa bersemangat lantaran esok pagi diriku akan pergi melenggang seorang diri menuju London, Inggris dengan menunggangi pesawat Airbus A380 milik Malaysia Airlines. Maka oleh karenanya, satu lembar tiket pesawat aku benamkan pada tas ransel hitam legam yang sedang menganga lebar bagai hendak menelan mangsanya bulat-bulat. Setumpuk berkas bersama komputer laptop turut aku benamkan pada palung tubuh ransel ini agar selanjutnya aku bisa mandi. Alhamdulillah, semuanya telah beres dan kini saatnya untuk membanjur diri memakai air.

            Namun belum jauh aku berjalan menuju kamar mandi, secara tiba-tiba telepon selulerku berdengung sangat nyaring menghentikan langkahku. Alhasil aku harus memutar badan 180 derajat demi menangkap isi pesan yang bertengger santai di layar telepon selulerku. Usai jemari kananku menyentuh layar telepon seluler, aku langsung mengetahui bahwa pengirim pesan singkat tersebut adalah seorang gadis berambut sebatang leher.

            “Assalamu’allaikum. Besok jadi berangkat ke London, Herr Aldi?”  Ujar dirinya.

“Wa’allaikumsalam. Iya Gloria, besok aku berangkat ke London naik Pesawat Malaysia       Airlines MH 004, berangkat dari Kuala Lumpur jam 09.50. Ada apa Glor?”

Sejurus kemudian ia menjawab pertanyaanku. Jarinya pasti sedang menari ligat di sana.

“Enggak apa-apa kok herr. Tadi Maureen sama Si gadis bunga tanya kapan Herr Aldi berangkat ke London. Terus aku langsung kasih tahu mereka.”

            Ucapan Gloria pada kalimat terakhir merangsang ingatanku akan elegi tentang Si gadis bunga. Seperti apa yang pernah aku tepikan di cerita terdahulu, diriku sangat mencintai si gadis bunga sejak aku ditakdirkan untuk mengukir cerita seputar pengembaraan jauh ke Dataran Tinggi Dieng lantaran dipaksa oleh tiga orang kawanku. Awalnya aku sempat menolak untuk menepikan pengakuan terkait pada gadis mana relung hatiku merasa jatuh cinta. Tetapi karena mereka terus mengharapkan jawaban dariku, maka pada ujungnya aku mesti menyebutkan nama si gadis bunga.

            Lain halnya dengan kisah cerita saat aku pergi mengembara ke Tanah Kalimantan tempat seribu anak sungai membelah daratan. Semula, aku telah menjunjung harapan agar si gadis bunga dapat ikut serta menemani ragaku pergi ke Kalimantan. Tetapi harus kuakui, harapan itu memudar dengan pasti karena kedua orang tua si gadis bunga tak sudi melepas putrinya merantau jauh selama empat hari penuh tanpa aku ketahui apa alasan spesifiknya. Dan benar saja, tiada kisah indah yang aku ukir di hamparan rimba Kalimantan.

            Ingatanku kembali melayang pada ujung Bulan Oktober 2016 dimana si gadis bunga mesti terpuruk dalam setangkup derita sampai ia mesti berdiam pada pembaringan beberapa hari. Dengan niat baik, kawan-kawanku menghunus keinginan untuk menjenguk si gadis bunga di rumahnya sedang aku mesti terombang-ambing pada dilema yang akhirnya aku harus memutuskan tak ikut menjenguk lantaran harus memeriksa kesehatan gigi secara rutin pada seorang dokter gigi. Tetapi di tengah dilema mengenai bunga kasih tak sampai ini, secarik berita gembira datang menyambangi diriku melalui sepucuk surat dengan bunyi: Kegiatan Unprep1 ke Kota Purwokerto dan Yogyakarta awal November 2016.

            Tentulah aku merasa bahagia dengan hadirnya berita gembira tersebut. Bahkan aku sampai berteriak, “Budal nang Yogya, iso Boso Jowo!!2Alhasil oleh karenanya, pada hari terakhir aku berjumpa dengan Kuala Lumpur inilah bayang-bayang anganku melayang jauh pada perjalanan ke Kota Keripik Tempe dan Kota Gudeg tersebut saat Kelas 12 dulu.

*****
Selasa, 1 November 2016

            Hari pertama di bulan kesebelas itu akhirnya datang juga sebagaimana isi penantian panjangku selama hampir dua pekan belakangan ini. Bilamana biasanya Hari Selasa selalu dijuluki sebagai hari paling membosankan oleh teman-teman, tetapi hari Selasa ini aku merasa adalah satu hari terbaik sebab seluruh siswa-siswi Kelas 12 hanya akan masuk sekolah selama setengah hari sebelum berangkat ke Purwokerto malam harinya. Aku masih ingat, semestinya di hari Selasa pagi itu aku mendalami pelajaran Bahasa Inggris di kelas dengan Mrs. Tetty, guru Bahasa Inggris Kelas 12 yang baru pengganti Mrs. Nur pasca resign dua bulan silam. Tetapi karena guru perempuan berkacamata ini berhalangan hadir, maka oleh karenanya aku hanya diberi titah berupa pengerjaan tugas dengan memotret situasi sekolah untuk disampaikan kepada beliau melalui surel3 setelah selesai.

            Alhamdulillah, tugas dapat aku tunaikan dalam perasaan bahagia karena guru yang hadir di hari pertama November ini hanya Pak Solihin, guru pelajaran Agama dan siang harinya, aku menyegerakan diri pulang ke rumah lebih awal demi mengepak perlengkapanku selama empat hari pergi berkelana terhitung mulai malam hari ini.

            Selasa malam dengan diantar ayah dan adik perempuanku ke sekolah, aku menjumpai beberapa orang kawanku telah hadir terlebih dahulu sambil diantar orang tuanya masing-masing. Sebagian dari orang tua mereka menanti di sekolah sampai tiba jam keberangkatan, sementara ayahku hanya mengantar sampai gerbang sekolah lalu kembali ke rumah. Dari sanalah aku membaurkan diri dengan kawan-kawanku di sekolah menjelang sosialisasi terakhir sebelum keberangkatan bersama Pak Solihin, Pak Nandang, Bu Yanti dan Bu Yeni sebagai guru pembimbing kegiatan unprep. Kulihat para bujang dan gadis sudah lengkap kecuali si gadis bunga yang menurut pengakuan Ali belum datang karena masih terjebak macet di tengah perjalanan ke sekolah.[1]

            Berdasarkan tulisan di jadwal, seharusnya kami sudah mengucap selamat tinggal pada sekolah pukul 20.00 WIB untuk menempuh perjalanan ke Purwokerto selama sembilan jam. Akan tetapi, salah seorang temanku dari Kelas 12 IPA yang bernama Agam justru belum datang sehingga kami harus sudi memberi toleransi berupa tenggang waktu bagi bujang berkulit putih dengan kacamata ini. Akhirnya Agam datang sebagai siswa paling terakhir dan usai menanti kehadirannya, kami berangkat dari sekolah pukul 20.30 WIB. Fase awal perjalanan ditempuh dengan lancarnya situasi lalu lintas sepanjang Jalan AH. Nasution. Tetapi lain ceritanya dengan situasi lalu lintas di Jalan Raya Cileunyi-Rancaekek.

            Ketika bus baru memasuki kurang dari setengah jalan raya, secara tiba-tiba arus lalu lintas tersendat karena banjir menghadang di depan Pabrik PT. Kahatex selepas diguyur hujan sebelumnya. Pergerakan bus hanya dapat berlangsung sejauh satu-dua meter atau hanya satu-dua cm. Sekilas kemacetan di Jalan Raya Rancaekek ini membuatku gelisah akan jadwal kedatangan di Purwokerto keesokan harinya ditambah dengan Aa alias Audia dan Akbar yang turun di tengah kemacetan demi mencari kamar mandi. Hal serupa turut ditunaikan oleh Abang dan Fariz yang lantas memberitahu kondisi lalu lintas kepada orang satu bus. “Jalan di depan macet soalnya banjir. Kendaraan pada maju gara-gara banyak yang berputar balik.” Ujar Fariz menepikan kesaksian jujurnya.

            Lambat laun keinginan untuk pergi ke kamar mandi turut muncul pada diriku. Aku lantas bangkit dari duduk agar bisa meminta izin pada Pak Nandang yang duduk di depan. Guru Matematika berperawakan sedang ini mengizinkanku pergi asal ditemani kawan-kawanku dan jadilah aku turun dari bus bersama Adit NR, Akbar, Agam serta Audia. Kemudian aku terus berjalan jauh menuju sebuah restoran masakan Padang bersama Adit NR ketika Akbar-Agam-Audia sibuk memesan nasi goreng pada sebuah lapak pedagang kaki lima di pinggir jalan. Di Restoran Padang itu, terdapat seorang bapak-bapak yang mengobrol tentang situasi lalu lintas bersama salah seorang pegawai restoran. Seraya menanti Adit di kamar mandi, aku turut meladeni ucapan sang pegawai restoran.

            “Dari mana?” Ujar si pegawai membuka percakapan.

“Saya rombongan SMA swasta di Bandung mas, ini mau ada kunjungan ke Jawa Tengah sama ke Yogya. Tadi berangkat dari sekolah jam setengah sembilan terus rencananya sampai di Purwokerto subuh. Tapi kalau macet gini, enggak tahu juga mas.” Jawabku santai.

“Wah iya, tadi malah sempat macet dari jam delapan malam sampai jam dua siang.” Tutupnya sebelum aku berlalu bersama Adit.

            Beres menuntaskan buang hajat serta menjemput Akbar-Agam-Audia di tukang nasi goreng, mataku segera mencari-cari bus yang pastinya sudah bergerak mengikuti arus kendaraan. Sayang aku tak menemukannya karena banyak bus yang mematut ciri-ciri hampir sama dengan bus tumpanganku. “Posisi bus dimana?” Tanyaku di grup angkatan. Tiada jawaban, aku berjalan menyusuri trotoar sambil mencari bus dan saat Audia telah berjalan lebih dulu dibuntuti Akbar dan Agam, aku mendapati Ragil melambaikan tangan dari balik kaca jendela bus. Lantas aku memanggil tiga bujang di depanku untuk segera masuk ke bus. Pergerakan lambat masih berlangsung sebelum sang pengemudi bus menunaikan ucapannya, “Atoslah, ieu muter waé ka Majalaya jeung Cicaléngka.4Di sebuah bundaran jalan, bus memutar balik melewati jalan ke arah Gerbang Tol Cileunyi. Di tengah-tengah jalan saat bertemu dengan pertigaan Dangdeur, bus berbelok menuju segaris jalan kampung yang sangat gelap tetapi ramai oleh hilir-mudik kendaraan baik itu angkutan kota alias angkot, bus pendek atau panjang sampai truk besar pengangkut barang. Kulihat ke luar jendela, aku hanya menjumpai pemandangan berupa hamparan sawah nan gelap ditemani kerlap-kerlip cahaya lampu rumah penduduk dan sesekali aku melihat pabrik di luar jendela. Seolah belum kenal dengan pekatnya tengah malam, sejumlah bujang dan gadis masih berguyon ria saat jarum jam menunjukkan pukul 23.45 WIB.

            Usai melintasi segaris jalan kampung, tepat pukul 00.00 WIB bus kami dapat mengucap selamat tinggal dengan Bandung. Sontak, keramaian malam bermetamorfosis menjadi kesunyian malam di atas aspal. [2]

*****
Rabu, 2 November 2016.

            Hanya dalam jangka waktu kurang dari lima jam hari telah berganti pula dengan nama-nama kota yang akan selalu silih berganti sepanjang perjalanan. Walau sudah saatnya tidur, tetapi aku merasa kelopak mataku sukar dipejamkan sehingga aku harus merelakan mataku terbuka dan terkatup setiap sebentar. Terkadang harus terlelap tidur, namun terkadang harus menyalang terjaga pula dan di tengah dinginnya hembusan pendingin ruangan bus, aku bisa melihat sedikit sudut Ciamis, sebuah kota kecil yang dahulu pernah aku singgahi dalam perjalanan menuju Dieng karena adanya prahara pada mesin mobil di kelas 10. Entah pukul berapa tepatnya, namun yang jelas sudah melewati pukul 00.00 WIB. Mungkin sekitar pukul 01.00-02.00 WIB karena pukul 02.25 WIB, aku menampak bus telah memasuki Kota Banjar.

Sambil melihat dengan samar-samar dari balik jendela, sang supir yang hingga saat ini tidak pernah aku ketahui namanya tetap mengambil jalan lurus kendati telah ada papan peringatan bilamana arus ke Jawa Tengah dan sebaliknya dialihkan ke tengah Kota Banjar karena jembatan penghubung utama jalan raya sedang diperbaiki selepas diterjang banjir beberapa minggu silam. Dan Pak supir pun menghentikan laju bus tepat di depan area proyek perbaikan untuk selanjutnya kembali ke Kota Banjar membuntuti sebuah truk pengangkut barang. Alhasil perjalanan menjadi sedikit melenceng sebelum menembus gelapnya jalan raya pembelah hutan belantara di garis perbatasan dua provinsi. Menampak kegelapan rimba hutan, aku teringat ucapan Pak Randi dan Pak Ibnu, supir kendaraan sekolah yang dahulu mengantarku pergi ke Dieng dengan teman-teman. Andai saja mesin mobil mengalami prahara di tengah hutan tengah malam, kita pasti akan bingung mau melakukan apa. Bus pun terus melaju saat pelupuk mataku harus kembang-kempis menahan kantuk di bawah tiupan AC bus yang sangat dingin sampai menciptakan embun di jendela.

Kurang lebih setengah jam berselang, Pak supir membelokkan bus pada sebidang area peristirahatan di daerah Majenang. Di sini para bujang dan gadis terjaga dari tidurnya untuk sesaat agar bisa memenuhi keinginannya pergi ke kamar mandi. Aku pergi ke kamar mandi dan membayar sebanyak Rp. 2.000,00 untuk sekali penggunaan saat Bapak Kondektur bus membersihkan embun yang melekat di kaca depan.
Lepas beristirahat di Majenang, kami melanjutkan sisa perjalanan menuju Kota Purwokerto sebagai tujuan pertama kami walau masih terbelenggu kantuk tak beraturan sampai sepanjang perjalanan. Pagi harinya di waktu subuh, kami menepikan diri pada sebuah masjid besar di daerah Jatilawang demi menunaikan ibadah shalat Subuh berjamaah. Masjid tersebut bernama “Babul Qudus” dan begitu mencecah lantai halaman masjid, aku segera mengambil air wudhu di samping masjid. Beres membasuh raga dengan air wudhu, aku menyeret telapak kakiku masuk tempat shalat di dalam masjid. Di sana, kami diberi titah oleh Pak Solihin untuk segera menunaikan shalat Sunnah Qabla5 Subuh sambil menanti shalat fardhu. “Masih sempat gitu pak?” Ujar salah seorang kawan laki-laki. “Masih.” Tutur Pak Solihin singkat. Alhasil sebagian di antara kami menunaikan shalat Sunnah terlebih dahulu.

Shalat Subuh telah selesai ditunaikan palung jiwa-raga kami, dan sekarang tiba saatnya untuk meneruskan perjalanan menuju Kampus Universitas Jenderal Soedirman alias Unsoed di tengah Kota Purwokerto. Sepanjang perjalanan selepas shalat Subuh berjamaah, tatapan pelupuk mataku menangkap perubahan warna tudung langit yang melukiskan beragam bentuk pemandangan alam seperti terhamparnya berkotak-kotak sawah, gunung-gunung menjulang hingga Kali Serayu yang membentang amat sangat panjang. Tak ketinggalan jembatan dan rel kereta api turut nampak dalam lukisan fajar milik awal bulan November ini. Aku hanya bisa menikmati semua pemandangan sambil duduk di kursi bus.

Lambat laun aku mulai menjamah suasana sebuah kota kecil bernama Purwokerto. Bila dilihat, tipe kotanya terlihat mirip dengan Garut atau Cilegon nun jauh di dekat tepi garis Selat Sunda sana. Lebih dari dua papan plang lalu lintas aku lihat, nama Kampus Unsoed sebagaimana panggilan akrab Universitas Jenderal Soedirman selalu dipasangkan dengan nama kawasan objek wisata Baturaden. Aku sendiri pernah mendengar nama Baturaden dari cerita-cerita yang ditepikan oleh ibu dan nenekku. Tetapi memang jelas Kampus Unsoed terletak pada arah yang sama dengan Baturaden.

Pukul 06.00 WIB, Alhamdulillah usai menempuh perjalanan satu malam penuh kami sampai di lapangan parkir Unsoed dengan lancar bin selamat. Bus kami sempat parkir di halaman gerbang sebelum berpindah ke depan sebuah masjid bertingkat dua. “Oke, sekarang di samping kita ada masjid, kalian boleh langsung ganti baju lalu mencari sarapan. Setelah itu kembali lagi di sini pukul 07.30 WIB dan kegiatan akan dimulai pukul 08.00 WIB.” Demikian bunyi instruksi pertama di Purwokerto dari Pak Solihin. Sambil menggendong tas ransel di punggung, aku melangkah santai sekaligus melintasi ruang-ruang kelas perkuliahan para mahasiswa Unsoed yang masih sepi. Udara pagi di kota ini memang panas, namun semangat kami menjamah area kampus takkan memudar sebelum memulai hari.

Kemudian selepas mengganti pakaian dengan baju seragam kotak-kotak, bersama para bujang dua kelas aku pergi meninggalkan Unsoed sejenak demi mencari bahan santap pagi. Keramaian jalan turut mengiringi langkah kami menuju salah satu lapak pedagang kaki lima di samping Unsoed. Di sana, seorang wanita paruh baya menyambut kami sambil menjajakan Nasi Uduk bersama lauk-pauk lainnya sebagai barang dagangan. Juga Nasi Kuning tak sungkan beliau tawarkan pada kami. Aku sendiri memilih menu Nasi Uduk untuk disantap. Aduhai, sungguh nikmat rasa Nasi uduk ini kendati harus ikhlas udara panas merangsang butiran keringat pada benak. [3]

Kembali ke Kampus Unsoed, kini anak jurusan IPS mesti berpisah dengan anak jurusan IPA disebabkan perbedaan fakultas tujuan. Anak  IPS akan menjamah area Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) sementara anak IPA akan menjamah area Fakultas Kedokteran. Sebelum berangkat ke FEB, aku menunggu teman-teman gadis kelas yang belum selesai sarapan bersama Akbar, Sulthan, Adhit, Ali alias Abah, Rani dan tentu saja si gadis bunga. Di pelataran masjid ini kami menghabiskan waktu dengan ber-selfie ria menggunakan kamera telepon seluler Akbar sampai para gadis kelas hadir. Merasa kami sudah lengkap, maka langkah menuju FEB segera dirintis sambil didampingi oleh Pak Nandang dan Bu Yanti, guru Matematika dan Sejarah IPS-Indonesia.

Sesi foto bersama kami tunaikan tepat di pintu masuk FEB. Lalu, kami segera menelusuri gedung fakultas agar bisa sampai ke sebuah ruangan ber-AC yang dimana sejumlah dosen serta staf fakultas telah menanti. Ruangan ini ukurannya tidak terlalu besar namun tidak juga terlalu kecil tetapi diisi oleh puluhan kursi yang mengelilingi sebidang meja besar. Teman-temanku memilih duduk mengelilingi meja besar walau ada yang memutuskan duduk di belakang tanpa bisa menjamah meja. Lalu kegiatan pengenalan tentang profil FEB pula Kampus Unsoed secara keseluruhan diawali. Dari informasi yang aku dapatkan dalam pemaparan kali ini, rupanya FEB & Kampus Unsoed berdiri tahun 1963 serta jurusan di FEB seperti Ekonomi Pembangunan, Manajemen, Akuntansi, dan lain sebagainya sudah mengantongi Akreditasi A pula B. Mengingat Kampus Unsoed berdiri tahun 1963, aku menarik kesimpulan jika kampus ini ada sepanjang hidup ayahku.

Tak hanya sebatas menyimak pemaparan, aku pula diajak mengelilingi gedung FEB. Salah satu bagian yang paling aku ingat sampai hari ini adalah perbedaan tata cara pelunasan biaya SPP antara dunia perguruan tinggi dengan SMA. Di SMA, biaya SPP masih dilunasi oleh orang tua sedang di perguruan tinggi harus dilunasi mahasiswa sendiri. Tujuan selanjutnya adalah bagian pengurusan administrasi program internasional Unsoed dengan dibimbing oleh Ibu Ririn sang kepala program. Wanita berambut panjang dengan kulit putih ini memperlihatkan ruang adminstrasi program internasional kepada kami dan di meja pendaftaran, terpampang sekitar 10 bendera negara lain sebagai arti sudah ada atau banyak mahasiswa asing yang menimba ilmu di Unsoed. Andai jumlah bendera bertambah semakin banyak, itu artinya mahasiswa asing penimba ilmu di Unsoed telah bertambah.

Tak lupa Bu Ririn menunjukkan ruang sidang skripsi bagi para mahasiswa. Ukuran ruangan ini relatif kecil, muat untuk satu orang mahasiswa pelaksana sidang, tiga atau empat orang dosen penguji serta mahasiswa lain yang menonton proses sidang. Di sini, Bu Ririn mengaku dirinya alumni Unsoed yang langsung menjamah ilmu di jenjang S2-S3 selepas lulus S1 dengan konsekuensi tidak langsung merasakan dunia kerja. “Terus kalau mahasiswa itu jam kuliahnya lebih fleksibel, teratur misalnya dari jam delapan sampai jam empat atau seperti apa?” Aku bertanya tentang alur waktu bagi para mahasiswa. “Kalau mahasiswa itu enggak setiap hari datang ke kampus, tergantung jadwal kuliah.” Seingatku demikian bunyi jawaban Bu Ririn. Menurutku, hal di atas adalah indikator jika masa kuliah akan tampak bahagia bin indah, malah bisa saja lebih bahagia nan indah dari masa SMA.

Menjelang siang, kegiatan eksplorasi bersalut observasi di FEB bertemu dengan ujungnya. Fakultas Hukum adalah tujuan anak IPS berikutnya. Cukup dengan berjalan kaki dari FEB, pelupuk mataku sudah bisa menangkap gedung Fakultas Hukum dengan tulisan “Justisia” di tembok bagian atas lengkap bersama spanduk ucapan selamat datang kepada kami. Di dalamnya aku menjumpai banyak mahasiswa berlalu lalang sambil meniti langkah menuju Conference Room. Ruangan ini terbilang panjang lantaran diiisi oleh sebidang meja besar yang lebih panjang dari meja FEB serta panel khusus di sisi depan serta samping kanan-kiri. Sayang, hari ini dekan Fakultas Hukum tidak bisa hadir menyapa kami karena harus memenuhi agenda lain sehingga tugas membimbing kami mengenali seluk-beluk Fakultas Hukum harus diwakilkan kepada Bapak Wakil Dekan. Jujur, aku lupa nama-nama dosen yang fakultasnya dikunjungi selama Unprep. Tetapi yang jelas Bapak Wakil Dekan tersebut adalah seorang pria berkacamata di bawah rambut kelimis.

Dari tutur katanya, aku mengetahui jika Fakultas dan Jurusan Hukum adalah tempat program studi dengan jumlah calon mahasiswa peminat pada urutan kedua setelah Fakultas-Jurusan Kedokteran di Unsoed. Jurusan Hukum yang diajarkan dan dipelajari juga terbagi lagi menjadi beberapa, di antaranya adalah Hukum Pidana, Internasional, Perdagangan, Perdata, Pernikahan-perceraian, dan lain sebagainya. Berdasarkan tulisan jadwal, sedianya pemaparan mengenai profil Fakultas Hukum juga akan dihadiri oleh anak jurusan IPA. Tetapi, rupanya mereka belum selesai melakukan observasi di Fakultas Kedokteran. Alhasil mereka baru bisa menyambangi gedung Fakultas Hukum menjelang akhir pertemuan dengan agenda sesi tanya jawab dan sesaat sebelum pergi meninggalkan Fakultas Hukum, perwakilan anak bujang dan gadis dari dua kelas menyerahkan cinderamata pada Pak Wakil Dekan.

Sepiring nasi rames dengan ayam goreng dan sayur sop sebagai teman aku santap di Kantin Unsoed bersama kawan-kawanku walau tetap dikepung udara panas. Tak lupa aku memesan segelas es teh manis. Saat akan mencuci tangan, salah satu pelayan kantin bertanya terkait dari mana aku dan teman-teman berasal. “Iki soko SMA swasta nang Bandung bu, saiki ono kegiatan observasi nang kampus-kampus Jawa Tengah karo Yogya 5.” Lalu ia membalas ucapanku, “Lha iso coro Jowo ugo.6” “Inggih bu, ibuku wong Jowo ugo.7Beres menyantap siang, aku menyeret telapak kaki ke arah bangunan masjid tak jauh dari kantin demi menunaikan ibadah shalat Dzuhur dijama’ Ashar masing-masing dua rakaat.

Titik terahir yang akan disambangi bujang dan gadis IPS serta IPA ialah Fakultas Ilmu Sosial-Politk alias Fisip bagi anak IPS serta Fakultas Sainstek bagi anak IPA. Berbeda dengan FEB dan Fakultas Hukum, Fisip Unsoed terletak di area terpisah tepatnya di seberang segaris jalan pemisah. Entah apa nama jalannya, aku sudah lupa. Lalu, di area Fisip aku masuk ke sebuah aula kecil untuk diberi penjelasan. Tetapi hanya sekitar sepuluh menit duduk di aula kecil, kami langsung diajak berkeliling area Fisip terutama ruang perpustakaan dengan didampingi oleh Pak Gito, salah seorang Dosen Fisip berperawakan kurus bersalut kulit putih. Dalam perjalanan menuju perpustakaan, Pak Gito bercerita jika anaknya berkuliah di Bandung, tepatnya ITB.

Usai menampak jejeran buku di perpustakaan, kami kembali ke aula dan mendapat pemaparan tentang Fisip secara lebih lengkap. Melalui ucapan para dosen yang hadir hari Rabu itu, otakku merekam kisah tentang jurusan Sosiologi yang telah mengantongi akreditasi A. Jurusan Administrasi Publik dan Negara merupakan jurusan tertua. Lalu Komunikasi adalah jurusan dengan jumlah calon mahasiswa peminat terbanyak sedangkan Hubungan Internasional adalah jurusan termuda yang usianya masih enam tahun pula mematut akreditasi B. Bila aku tak salah, jurusan HI sedang diupayakan untuk mengantongi akreditasi A.
Jurusan Hubungan Internasional sendiri memiliki 12 orang dosen tetap, fasilitas penunjang proses perkuliahan berupa laboratorium, Pusat penelitian & budaya Korea. Mahasiswa harus menjalani 144 SKS dengan mengutamakan kejujuran. Rencananya, HI akan membangun kelas internasional, academic exposure serta joint & double degree. Sementara jurusan politik lebih cenderung mempelajari tentang desa/kearifan lokal dengan 68 mata kuliah. Observasi di Fisip Unsoed menemukan ujungnya jua pukul 16.00 WIB. Di titik ini, aku mulai terserang bersin-bersin dan kondisiku ini dikhawatirkan oleh Ali. Ia menyarankanku untuk meneguk obat vitamin Imboost. Ah, seperti dokter saja kau, Ali.

Lepas kami menunggu kedatangan bus yang ternyata tidak bisa masuk ke halaman Fisip, perjalanan menuju Kota Yogyakarta sebagai tujuan kedua dimulai pukul 17.00 WIB. Menembus rintik hujan sore, bus berlari terbirit-birit menuju Kota Gudeg seraya embun terlukis jelas di kaca. Dinginnya AC sepanjang perjalanan membuat aku terserang flu sampai bersin berkali-kali ditambah dengan kekhawatiran akan low batt-nya telepon selulerku. Sudah berapa anak aku tanyai apakah mereka mengantongi power bank dengan daya isi maksimal atau tidak. Jawabannya, kebanyakan dari mereka tidak mengantongi benda pengisi daya tersebut tepat saat aku melintas di jalan yang pernah aku curigai sebagai bagian dari rute pengembaraan ke Dieng dulu. Mulanya aku tidak yakin, tetapi setelah mencapai persimpangan aku malah merasa yakin betul.

Dua jam perjalanan ditempuh, kami menepi untuk sejenak di sebuah restoran besar bernama “Candisari” agar dapat menunaikan ibadah Shalat Maghrib-Isya dijama’ lengkap dengan makan malam. Malam itu, aku ikut shalat berjamaah dengan tiga orang bapak-bapak pula Audia dan Alfath sebelum aku memesan seporsi Sop Daging serta segelas Jus Alpukat untuk disantap malam. Aku menelannya bersama para bujang dalam satu meja dan pukul 08.15 WIB, sisa perjalanan dilanjutkan menuju Yogya. Aku sendiri justru tak menikmati perjalanan Karanganyar-Yogyakarta karena tertidur di kursi bus dan baru terbangun saat sudah sampai di halaman Hotel Satya Graha pada Jalan Veteran, terletak persis di depan Rumah Sakit Islam Hidayatullah. “Aldi di kamar 224 ya.” Ujar Bu Yanti di pelataran teras hotel. “Ya.” Balasku singkat sambil mencari-cari teman satu kamar.

Semula, aku sempat tersasar saat berupaya mencari kamar bersama Ali dan dua orang teman lain. Tetapi akhirnya aku dapat menemukan kamar tidurku jua.

Kamar tidurku berada di bagian belakang hotel, sejajar dengan kamar anak-anak lain. Satu kamar diisi oleh lima sampai enam orang serta di kamar 224, aku beristirahat dengan Agam, Ariq, Adit NR, Abang dan Ali sambil memakai empat buah kasur. Begitu mendapat kamar, aku bersegera membersihkan diri lalu tidur tepat pukul 23.55 WIB.

*****
Kamis, 3 November 2016

            Jarum arloji bertali hitam legam telah menunjukkan waktu pukul 04.00 WIB saat aku bangun tidur. Bolak-balik aku memasang telinga sambil berjalan keluar-masuk kamar supaya bisa mendengar suara adzan Subuh berkumandang. Lama tidak mendengar, tahu-tahu sudah langsung iqamah. Artinya adzan Subuh waktu Yogyakarta sudah berkumandang kurang dari pukul 04.00 WIB. Lantas aku mengambil air wudhu dan shalat Subuh dua rakaat secara munfarid8. [5]
Lepas shalat subuh, aku membuka pintu kamar agar bisa mondar-mandir di selasar teras kamar demi membangunkan anak-anak di kamar lain untuk melaksanakan shalat Subuh karena aku diamanahi tugas berupa penanggungjawab kegiatan shalat subuh di Yogya oleh Pak Solihin sesaat sebelum berangkat. “Bangun! Bangun! Assholatu khairum minan naum9.” Kurang lebih demikianlah bunyi ucapanku di sepanjang selasar kamar sampai Bu Yanti menelurkan satu titah padaku, “Di, jangan keras-keras. Ada tamu lain juga.” Alhasil setelah memperkecil intonasi suara, aku mengetuk pintu dua kamar anak laki-laki demi menyuruh mereka shalat.

Perlahan namun pasti matahari mulai menampakkan sinarnya dari ufuk timur dengan malu-malu. Para bujang dan gadis pun mulai beranjak dari tidur lelapnya dan segera bersiap-siap untuk mengukur jalanan Yogya selama satu hari penuh. Ketika sudah merasa siap, aku menyegerakan diri menghampiri restoran hotel untuk sarapan pagi dengan[6] para bujang. Di restoran hotel, aku dan teman-teman disuguhi sajian berupa makanan prasmanan yang terdiri dari nasi putih, ayam goreng, sop dan kerupuk udang. Walau sajian hotel terbilang sederhana, tetapi rasanya cukup lezat di permukaan lidah. Bagiku, tentu saja hal ini senada dengan seperti ciri sederhana khas Presiden Joko Widodo.

Sambil menanti keberangkatan pukul 08.00 WIB, aku tiba-tiba teringat keinginan tuk membeli buku notes karena sejak berangkat dari Bandung hari Selasa malam, terus terang aku sama sekali tak membawa buku sebundelpun. “Eh, kira-kira di sekitar sini ada Indomaret atau Alfamart enggak?” Tanyaku pada teman-teman sekamar. “Ada di depan, agak ke sana sedikit.” Jawab mereka. Karena mau pergi dari hotel seorang diri, maka taka da salahnya aku meminta izin pada Pak Nandang. “Oke hati-hati ya di. Jangan lupa bawa hp.” Perintah Pak Nandang masih di depan teras kamar. Maka di bawah panasnya udara pagi itu, aku menyeberangi Jalan Veteran menuju sebuah minimarket.

Di minimarket itu, aku harus berputar-putar mengelilingi ruangnya demi mencari buku catatan. Sekali-dua kali berputar, belum ketemu sampai akhirnya aku menemukan buku catatan tersusun rapi di rak. Ada beragam jenis buku, namun tidak semuanya mengundang rasa ketertarikanku. Dan aku langsung sibuk membanding-bandingkan tiga buah buku bermerek “Fuxing” dalam warna cokelat, hijau dan kalau tak salah biru. Setelah membandingkan, pada ujungnya aku segera mencomot buku berwarna cokelat agar dapat dibayarkan di meja kasir. Lalu aku kembali ke hotel sambil menenteng buku cokelat baru.

Lalu inilah pengalaman pertamaku mengukur jalanan Kota Yogya bersama kawan satu angkatan lepas aku mematut dasi seragam kotak-kotak dengan alasan agar terlihat sama seperti si gadis bunga. Tujuan pertama kami adalah Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta atau UNY. Kunjungan ke Fakultas Teknik UNY berbeda dari kunjungan ke Fakultas Teknik Unsoed sebab pagi sampai siang ini anak-anak jurusan IPS dan IPA akan menghadapi observasi kampus bersama-sama. Di Fakultas Teknik, kami dikumpulkan dalam sebuah ruang aula besar bersama panggung lebar di depannya. Salah seorang dosen muda memulai acara yang diselingi sambutan dari Bapak Wakil Dekan. Dari pria berjas-dasi itulah aku mendengar bila UNY memiliki sejumlah fakultas selain teknik yakni Bahasa dan Seni, Ilmu Pendidikan, Olah raga dan Ilmu Sosial-politik.



Sementara Fakultas Teknik sendiri menyediakan jurusan kuliah seperti Teknik Elektro, Mekatronika, Mesin, Otomotif, Pendidikan teknik boga-busana dan tata kecantikan yang kursinya bisa didapatkan melalui jalur seleksi mandiri, SNMPTN dan SBMPTN. Pula mahasiswa tak perlu khawatir tak bisa kuliah lantaran peluangnya besar di balik banyaknya beasiswa seperti Bidik misi & Supersemar untuk dipertimbangan minat-bakat-nilai masing-masing calon mahasiswa serta sebagai referensi, UNY pula menawarkan jurusan Bahasa, Ekonomi dan Akuntansi. Kini saatnya untuk mendalami seluk-beluk Fakultas Teknik lebih jauh. Fakultas ini lebih banyak menerapkan sistem belajar praktik di lapangan ketimbang belajar teori di kelas. Jurusan Elektronika akan fokus mempelajari perangkat keras (Hardware) sedang Jurusan Informatika akan fokus mempelajari perangkat lunak.

Perlu aku ketahui, mayoritas jurusan teknik diprioritaskan untuk mahasiswa asal jurusan IPA di SMA sedang mahasiswa asal jurusan IPS dapat menimba ilmu di jurusan Teknik Boga dan Busana setelah dahulu siswa jurusan IPS dapat menimba ilmu di jurusan teknik, tetapi kebanyakan dari mereka malah gugur atau tidak lulus tes seleksi ilmu pengetahuan alam sebab ilmu teknik sendiri membutuhkan kekuatan logika matematika. Kampus juga ikut mendanai program proposal kewirausahaan dan jurusan Teknik Elektro tidak memperbolehkan mahasiswanya mengalami buta warna karena akan banyak menyambung kabel beragam warna.

Lalu apa syarat mengantongi beasiswa? Salah satunya, tentu saja nilai akademik harus bagus namun program beasiswa sendiri diutamakan bagi mahasiswa dengan kondisi ekonomi yang kurang mampu/mendukung untuk membayar biaya kuliah secara tunai.

Pelupuk mataku mencomot kata “PT” dan “T” di depan nama masing-masing jurusan yang tertera di permukaan layar proyektor. Itu membuatku penasaran dan segera bertanya saat sesi tanya-jawab tiba. “PT itu artinya adalah pendidikan teknik terus yang T, itu ilmu teknik murni.” Ujar sang dosen narasumber. Oooo, sekarang aku mengerti apa perbedaan “PT” dan “T.” Imbasnya, mahasiswa jurusan pendidikan teknik akan mencantumkan gelajar Sarjana Pendidikan di belakang namanya saat mahasiswa jurusan teknik murni mencantumkan gelar Sarjana Teknik.

Informasi tambahan, mahasiswa penyandang cacat fisik tidak dapat diterima karena akan lebih banyak praktik (70%) sedang teori hanya 30%. Acara ditutup dengan penyerahan cinderamata oleh perwakilan siswa kepada pihak fakultas dan foto bersama.

Waktu siang ini akan dihabiskan di Gedung Fakultas Bahasa dan Seni. Di sepetak aula milik FBS, kami disambut oleh Bu Nunik sebagai perwakilan pihak FBS bersama dua orang kolega wanitanya. “Fakultas Bahasa dan Seni memiliki tujuh jurusan. Dimulai dari jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia, Jerman, Inggris, Perancis, Jawa serta Pendidikan Bahasa Thailand dan Mandarin. Bahsa Thailand-Mandarin itu jurusan pilihan. Lalu ada jurusan seni yang dibagi lagi menjadi lima program studi dimulai dari Seni rupa, tari, kriya, music dan kerajinan.” Terang Bu Nunik di awal pembuka. “UNY ada kerja sama dengan UPI, transfer kredit atau pertukaran mahasiswa Bandung dan Yogya biar bisa merasakan seperti apa dan bagaimana kuliah di Bandung dan Yogya. Setiap tahun ada lima orang mahasiswa yang dikirim.” Lanjut dosen berkerudung tersebut.

Berdasarkan hasil pemaparannya, FBS UNY unggul dalam bidang bahasa dan seni tahun 2014. Jurusan-jurusan di fakultas ini diajarkan oleh 14 orang dosen berstatus guru besar, 51 orang dosen berstatus dokter serta bila tidak salah ada sekitar 100 orang dosen bergelar master. FBS UNY juga menjalin hubungan kerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi di negara lain seperti Jerman, Belanda, Perancis, Australia, Malaysia dan Singapura. Kemudian apa saja fasilitas yang disediakan untuk Mahasiswa FBS UNY? Berikut ini jawabannya:

1.     Laboratorium microteaching/praktik mengajar,
2.     Laboratorium komputer,
3.     Laboratorium bahasa,
4.     Studio fotografi,
5.     Studio gambar,
6.     Studio batik,
7.     Studio kriya, dan
8.     Studio patung.

Lalu pengenalan seputar profil FBS UNY dilanjutkan dengan membahas topik mengenai 144 SKS bagi para mahasiswa selama delapan semester mengikuti proses perkuliahan dengan menerapkan “KKNI” sebagai kurikulum perkuliahan sejak tahun 2014 dan meskipun hanya berstatus sebagai bahasa lokal di tiga daerah, ternyata Pendidikan Bahasa Jawa merupakan salah satu jurusan favorit di FBS karena banyak peluang bekerja sebagai Guru Bahasa Jawa dan Bahasa Jawa sendiri ialah muatan lokal wajib di tiga provinsi, DIY-Jawa Tengah-Jawa Timur. Presensi kehadiran mahasiswa adalah 75% serta setiap mahasiswa mesti mendalami kuliah kriya agar mendapat ilmu teori umum serta peminatan baru akan ditempuh setelah semester atas. [7]

Tiba saatnya untuk menjalani sesi tanya jawab, kulihat si gadis bunga bertanya paling pertama mendahului yang lain. “Buat jurusan DKV10 apa saja yang akan dipelajari? Lalu keterampilan apa yang dibutuhkan?” Kemudian dijawab dengan kata, “DKV mempelajari keterampilan khusus design seni pengolah komputer dan termasuk ke dalam program studi pendidikan seni rupa. Beres si gadis bunga bertanya, kini giliranku untuk bertanya.

“Assalamu’allaikum. Nama saya Aldi dari Kelas 12 IPS. Terus terang saya memiliki minat untuk belajar di Jurusan Pendidikan Bahasa Jerman dan saya ingin bertanya, kenapa jurusan Bahasa Jerman & Perancis tidak ada di semua universitas? Itu saja, terima kasih.” Suaraku dilantangkan oleh mikrofon pengeras suara. “Itu tergantung setiap kampus, apakah ada dosen atau pengajar kompeten di kampus tersebut atau tidak serta untuk membuka jurusan baru harus didaftarkan ke dikti11.” Alhamdulillah, jawaban ini memuaskan rasa penasaranku akan sebab tidak adanya jurusan Bahasa Jerman di setiap kampus.

Saat isi kurikulum jurusan pendidikan disingkap, aku lantas mencatat setiap butir isinya dengan bunyi:

1.     Saat lulus mahasiswa sudah siap jadi guru,
2.     Ada mata kuliah psikologi, cara menghadapi siswa, menilai hasil belajar, cara menyusun silabus dan membuat media pembelajaran.
3.     Tugas akhir bisa diberikan dalam bentuk penelitian tindakan kelas/pengembangan dan dua bulan praktik mengajar. 
Acara bersua dengan ujungnya pada siang hari. Lepas menyerahkan cinderamata sekaligus berfoto bersama, kami bersegera menuju Masjid UNY untuk menunaikan ibadah Shalat jama’ Dzuhur-Ashar serta tak lupa makan siang di kantin kampus tak jauh dari para mahasiswa. Beres makan, barulah kami melanjutkan perjalanan menuju Kampus Universitas Pembangunan Nasional Veteran serta di kampus inilah anak IPS harus kembali berpisah dengan anak IPA karena tujuan kami berbeda. Anak IPS akan menjalani observasi di Fisip sedang anak IPA akan menjalani observasi di Fakultas Teknik Industri saat hujan telah menyergap Kota Yogya.

Di laboratorium Hubungan Internasional Fisip, kami disambut oleh Pak Asep Saefudin sebagai salah satu wakil dekan dan Pak Harjono, Ketua jurusan Hubungan Internasional. Tak berbeda jauh dengan Fisip Unsoed dan Unpar tempat ibuku mengajar sebagai dosen, Fisip UPN menyediakan jurusan HI seperti yang telah ditepikan, disusul Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi. Menurut cerita Pak Asep, Fisip UPN sendiri merupakan fakultas termuda bersama dua jurusan yang sudah terakreditasi A serta HI masih diupayakan berakreditasi A. Jua Fisip adalah satu-satunya fakultas yang mengantongi tiga jurusan.

Dahulu UPN mematut status sebagai perguruan tinggi swasta namun sekarang sudah berubah jadi negeri terbukti dari batu prasasti peresmian akan perubahan status kampus yang ditandatangani oleh Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono tanggal 6 Oktober 2014, terhitung dua pekan sebelum beliau meletakkan jabatan karena akan digantikan oleh Presiden Joko Widodo saat itu. Berubahnya status perguruan tinggi menyebabkan bertambahnya wakil dekan menjadi tiga orang yang bertugas dalam bidang kemahasiswaan. Aku boleh berbangga diri karena HI yang kini aku incar selain jurusan Pendidikan Bahasa Jerman berdiri pertama kali tahun 1993 disusul Administrasi Bisnis (1994) serta Ilmu Komunikasi (1995).

Fasilitas yang dikantongi oleh fakultas pula tak ketinggalan disampaikan. Di antaranya:

1.     Ruang kelas multimedia,
2.     Sistem akademik CBIS,
3.     Perpustakaan,
4.     Ruang seminar,
5.     Ruang publik + fasilitas internet hot spot,
6.     Masjid,
7.     Poliklinik,
8.     Sarana olah raga.

Salah satu hal yang paling kuat mendorong semangatku belajar sebagai Mahasiswa HI peluang kerja di NGO International. Seleksi masuk dan porsi penerimaan tak jauh berbeda dari perguruan tinggi negeri lainnya. Kadar pelajaran teori di HI banyak namun Komunikasi setengah-setengah.

Alhamdulillah, kegiatan observasi di Kampus UPN telah berakhir untuk selanjutnya tangan kami menjamah isi toko bakpia bersama-sama. Toko Bakpia “Djava” terletak tidak jauh dari Kampus UPN, tepatnya di Jalan Raya Adisucipto (entah kilometer berapa) tetapi yang jelas toko itu pula mendekati Bandara Internasional Adisucipto. Sungguh ruang hati ini tak dapat menghalangi rasa sabar menanti keramaian Jalan Maliobor tercerabut kedua bola mata. “Buat sekarang kita akan beli oleh-oleh langsung di pusatnya. Setelah itu, kita langsung ke Malioboro dan akan parkir di Taman Pintar. Kegiatan mulai dari Maghrib sampai jam setengah terus usahakan kalian selalu pergi bersama. Tolong lapor ke guru siapa saja ketua kelompok acaranya.” Untuk yang kesekian kalinya Pak Nandang menyampaikan instruksi terkait kegiatan kami selama berada di Yogya.

Begitu roda bus menggilas pelataran halaman toko agar dapat parkir di halaman belakang, mataku langsung sibuk memelototi beraneka ragam jenis makanan yang dipajang tepat pada etalase toko. Kujumpai berpuluh-puluh dus bakpia dalam aneka rasa, Wingko Babat, Brem dan macam-macam keripik. Mellihat ada ketertarikan terpatri kuat pada diriku, lantas aku cerabut sebagian kecil di antara mereka sambil aku berkeliling toko. Jumlah barang dirasa sudah cukup, maka tiada lupa kubayar semuanya agar bisa dilindungi oleh satu dus oleh-oleh. Aku kemudian kembali lagi ke kabin bus walau harus sabar menanti teman-teman yang belum selesai berbelanja.

Pada ujungnya bus tumpangan kami menepi jua di sebidang area parkir di depan gerbang masuk Taman Pintar. Di titik inilah para bujang dan gadis harus berpisah sesuai tradisi khas angkatan kami. Tetapi perlu diungkit, walau berpencar tak semua bujang dan gadis menavigasikan diri pada titik tujuan yang sama. Manusia-manusia bujang saja tak seluruhnya meniti langkah ke arah Jalan Malioboro melalui Persimpangan Benteng Vredeburg, tempat incaran utamaku untuk larik hujan yang tak sampai di sana. “Aldi, mau ikut siapa?” Tanya Angga ketika baru turun dari bus. “Bebas, ikut saja.”  Hari Kamis malam itu, aku meniti langkah menuju Persimpangan Vredeburg bersama Akbar, Sulthan, Adhit Perdana, Ozman, Angga, Fariz, Rifqi (Bowo), Kiki, Adit NR, Audia, Ragil dan Miko. Sedang Alfath dan Audi datangmenyusul kala Agam, Ariq dan Abang entah melangkah kemana. Kisah serupa turut digores Ali pada secarik cerita di kota pelajar.

Kala kami masih menyapa keramaian Persimpangan Benteng Vredeburg, aku berupaya mengorek sedikit celah untuk memotret suasana malam di sana tentang hilir-mudik mobil-motor-becak-delman pula senda gurau para insan beragam usia di sana. Alhamdulillah, upayaku mengabadikan keramaian malam Persimpangan Benteng Vredeburg berhasil ditunaikan. Lepas menyapa keramaian Persimpangan Vredeburg, telapak kaki kami seret semakin dalam pada suasana Jalan Malioboro dan Istana Kepresidenan Gedung Agung turut aku abadikan dalam kedipan lensa kamera. “Ini rumah masa depan saya.” Tuturku bergurau pada para bujang. “Amin.” Balas mereka singkat.

Cukup satu hari pertama di Yogya, kurasa celah impian di atas lentera jiwaku mulai terkembang. Pertama aku berhasil mencomot informasi mengenai peluangku bekerja sebagai Guru Bahasa Jerman pula aku menampak Istana Gedung Agung tempatku memimpin Tanah Air Indonesia nanti.

Perjalanan menyusuri sepanjang sisi Malioboro aku teruskan sambil menembus padatnya lapak pedagang kaki lima. Tujuan utama kami menyapa Malioboro tentu adalah menyantap makan malam. Namun apa daya, kami mesti tenggelam pada kebingungan dalam memilih tempat makan yang cocok. Bolak-balik kami menyusuri sisi Jalan Malioboro hingga Akbar kulihat tengah sibuk menyimak suara seseorang dari balik telepon genggam. Kami lakukan itu sampai seorang pemuda 18 tahun ikut bergabung bersama kami. Dika namanya. Bujang ini mematut perawakan tinggi di bawah rambut agak tebal hampir sebelas-dua belas dengan rupa Ariq. “Dika,” Tuturnya singkat memperkenalkan diri. “Aldi.” Aku turut membalasnya singkat.

Dan bagai orang sudah lama kenal, aku langsung larut pada obrolan bersama Dika sang Mahasiswa UGM, kalau tak salah dia menyelami lautan ilmu Teknologi Pangan atau barangkali pertanian. Kuceritakan padanya tentang rangkaian perjalanan kami dari Bandung ke Yogya melalui Purwokerto kemarin agar selanjutnya pembicaraan kami beralih pada dunia perkuliahan. Mahasiswa jelas diperbolehkan untuk berambut gondrong saat berkuliah. Serta tak ketinggalan aku menambahkan, saat sudah berkuliah kita jelas dapat membawa kendaraan bermotor pula hanya cukup mematut nuansa pakaian bebas. Di Purwokerto dan Yogyakarta, aku menemukan indikasi bilamana masa kuliah takkan kalah bahagia bin indah dengan masa SMA atau justru akan melebihi masa putih abu-abu.

Lalu Audi dan Alfath menampakkan batang hidungnya hanya beberapa meter dari gerbang masuk Kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, tempat Yang Mulia Sri Sultan Hamengkubuwono X mengontrol roda pemerintahan selain Keraton. Hampir setengah garis Jalan Malioboro kami susuri dan pada ujungnya, kami memutuskan singgah di atas sebidang lapak penjual Nasi Gudeg. Saking banyaknya anak-anak bujang, sebagian dari kami terpaksa mengambil satu meja lain di belakang. Pada lapak inilah aku memesan seporsi Nasi Gudeg Telur ditemani segelas Es Teh manis.

Untuk pertama kalinya, aku menyantap Gudeg tepat di daerah asalnya.

“Mas, di sini ada musholla enggak?” Tanyaku pada salah seorang petugas restoran pemilik lapak lehesan di dekat dapur.“Enggak ada, paling ke kantor gubernur terus belok lagi ke kiri.” Mengingat aku tidak hafal seluk beluk area kantor gubernur, maka niat menunaikan ibadah Shalat Maghrib dijama’ Isya aku urungkan sesuai titah Sulthan, salah seorang kawan bujangku tadi. Lalu aku kembali ke kerumunan anak-anak bujang tempatku menelan gudeg sambil diiringi nyanyian seorang pengamen separuh baya.

Telapak kaki ini masih belum sudi beranjak dari suasana Jalan Malioboro kala sekelompok musisi jalanan melancarkan aksinya di trotoar menarik perhatian banyak manusia. Bukan musisi jalanan seperti grup musik yang aku maksud di sini, melainkan adalah seorang penari jalanan yang meliuk-liukkan tubuh ligatnya sambil diiringi tabuhan alat musik tradisional. Terus terang bila ditampak, gaya tubuh si penari memang agak mirip seperti seorang waria merangkap gaya bicaranya jua, barangkali. Seorang gadis sempat mengguratkan malu-malu kala diajak menari bersama si pria. Sulthan pun ikut menari dengan gengsi di pinggir Jalan Malioboro.

Tujuan terakhir kami adalah Toko souvenir Hamzah masih di tepi Jalan Malioboro. Lantai bawah toko ini memuat bersetel-setel baju batik bagi pria maupun wanita sementara lantai dua memuat banyak benda pajangan rumah laksana lukisan, mobil mainan, kereta api mainan dan pesawat tempur mainan yang terbuat dari kayu. Perhiasan palung raga pun turut dipajang di tempat ini mulai dari gelang dan kalung beraneka warna. Ketika membaur dalam keramaian toko ini, aku sempat bingung mau membeli oleh-oleh apa lagi. Tetapi di antara meja kasir dan tangga penghubung lantai dua, aku melihat ada banyak kartu pos dipampang. Gambarnya sendiri bervariasi, mulai dari aktivitas membatik kain oleh para kaum perempuan Jawa, potret panorama Persimpangan Benteng Vredeburg tahun 1960 sampai Persimpangan Tugu Putih yang entah merupakan potret di tahun berapa.

Inilah kali terakhirnya aku menjumpai halaman Istana Gedung Agung yang masih sempat aku abadikan dalam lensa kamera. Persimpangan Benteng Vredeburg pun turut demikian sebelum aku memimpin langkah para bujang kembali ke bus untuk selanjutnya pulang ke Hotel Satya Graha yang ternyata terletak tak jauh dari Jalan Malioboro.
Lalu, sesampainya di kamar 224, aku menyegerakan diri mengambil air wudhu agar bisa menunaikan ibadah shalat sendiri pula mandi. Lepas ku berganti baju, aku menarik waktu sesaat menjelang tengah malam sambil mengisi buku catatan baruku tadi dengan tulisan entah sajak, puisi atau cerpen. Namun yang jelas aku menulis tentang hujan tak sampai di Persimpangan Benteng Vredeburg seperti apa bunyi perintah naluriku semenjak masih berada di Bandung dan baru setengah berjalan, Ali duduk di sebelahku untuk menelurkan sebuah usulan. “Di, ane12 usul ente13 bikin cerita yang ada pakai tokoh ane. Bikin cerita soal kopi, nanti sampulnya bolehlah kita bayar ke si gadis bunga.” Aku hanya menjawab “Iya,” Lalu dia melanjutkan perkataannya lagi, “Tulisan ente sudah ada berapa?”
Oh, rupanaya kini ia menanyakan jumlah cerita dalam akun blog-ku. “Ada 95 tulisan, bah.” “Nah, ane usul coba ente kumpulkan semua tulisan di blog jadi buku, terus ane yakin ente bisa jadi penulis muda sukses.” Wow, ternyata ide Ali ini sungguh sangat cemerlang. “Oke, terima kasih bah.” Tutur aku. “Sama-sama di.”

            Masih setengah berjalan dalam menulis cerita, aku malah terserang flu disebabkan oleh dinginnya tiupan AC kamar. Melihatku terus-terusan bersin, Ali berbaik hati menawarkan minuman “Tolak angin” yang aku terima tanpa berpikir lebih jauh lagi. Setelahnya, aku tertidur pulas tepat di malam terakhirku berkunjung ke Kota Yogya.

[8]*****
Jumat, 4 November 2016.

            Lepas menunaikan dua rakaat Shalat Subuh, halaman buku catatan aku kembangkan karena ingin melanjutkan tulisanku yang semalam sempat tertunda. Pulpen aku comot dari permukaan meja, dan mulailah aku melanjutkan tulisanku ini:

Hujan tak sampai di Persimpangan Benteng Vredeburg

Tentang cinta, pertemanan, persahabatan dan kebersamaan.

            Jelas sudah, relung hatiku berharap rintik air hujan luruh di persimpangan Benteng Vredeburg, Yogyakarta tepat saat aku menyelami makna perjumaan secara lebih jauh dengannya. Aku ingin menampak luruhnya hujan bersama hadirnya seorang gadis berparas cantik yang selalu mendorong semangat untuk satu-satunya palung jiwaku ini. Ingin kusebut namanya, namun aku malu ‘tuk menyebutnya meski kutahu siapa dia lebih dari dua belan belakangan ini.

            Tiada Stevie, sosok gadis remaja pula anak didik kesayanganku dalam bunga mimpi, jua tiada sosok gadis pengagum kupluk bau-abu pda cerita. Lalu, siapa sosok dara cantik yang hadir tak jauh dariku? Jawbnya, cukuplah Si gadis bunga. Kala ini dia dapat turut mengembara ke Yogyakarta bersamaku dalam suatu kisah indah.

            Alkisah, ini hanya Sembilan bulan terpaut jarak, memang. Awal tahun 2016 aku lewati untuk menunaikan perjalanan tentang rangkaian cerita nun jauh di Kalimantan sana, tanah tempat seribu sungai membentang sangat panjang. Di tempat itu, pastlah diriku harus rela merangkul sunyi lantaran tak semua bujang & gadis bisa menikmati elegi perjalanan jauh tersebut mencakup si gadis bunga. Jujur kutepikan, aku baru tahu alasan mengapa ia tak ikut ke Kalimantan belum lama ini. Sang ibunda rupaya khawatir akan infrastruktur di sana. Dan itulah cerita tentang perjalanan tersendu bersalut sunyi sepanjang masa remajaku.
Hari ini, seperti apa yang sudah kutepikan, Si gadis bunga kembali hadir menemani palung jiwaku menyusuri setiap sudut Kota Yogyakarta. Tentulah ini sebuah kisah indah. Cinta itu akan selalu hadir dalam bentuk rupa yang beragam.

*****
           
Sebelas-dua belas dengan kasha di atas, pertemanan-persahabatan juga aku rasakan dalam sebuah perjalanan. Dataran Tinggi Dieng, kisah tentang pengembaraan termanis ini aku tampak sepenuh hati dalam perjalanan menuju Gunung Padang dua tahun silam. Itulah secarik masa di mana aku mengenali kawan0kawanku lebih dalam bersama Si gadis bunga. Lantas apa yang menyebabkan aku menyukainya? Tentu saja rentang waktu yang berkisar hanya dua hari selepas pelantikan Presiden Joko Widodo.

*****

Coba kembali lagi pada bait-bait pujangga cinta. Oh Tuhan, mengapa engkau sudi menjerembapkan diriku pada lukisan-lukisan cinta-Mu? Lalu, mengapa aku sudi menulis berbait-bait kata cinta? Pertanyaan itu terngiang-ngiang di benakku menjelang waktu fajar ini beranjak. Aku mencoba menjumpai jawaban terbaik. Tiada cerita terindah yang aku temui.

Tetapi pada ujungnya, aku selalu ingin kembali pada elegi “hujan tak sampai di persimpangan Benteng Vredeburg.” Bayang-bayang angan ini jelas menyulut harapan tentang perjumpaan dengan Si gadis cantik bersama kehadiran akan mimpi-mimpi. Tetapi, hingga detik ini aku tak kunjung menampak guratan garis wajahnya di persimpangan Benteng Vredeburg. Hujan pun telah luruh sebelumnya, hanya di persimpangan Benteng Vredeburg aku sudah tak menjumpainya. Cukup persahabatan, pertemanan dan kebersamaan yang nampak demi mengiri langkahku menyusuri sepanjang sisi Jalan Malioboro dengan bermula dari Persimpangan Vredeburg untuk bermuara di erlung pintu Stasiun Tugu dalan hujan yang tak sampai di Persimpangan Benteng Vredeburg…

Yogyakarta, 4 November 2016
Pukul 04.55 WIB.
-Herr Aldi Van Yogya-

*****
           
Pulpenku telah berhenti menulis tatkala bait-bait guratan pena sang pujangga telah menemukan ujungnya. Dengan malu-malu, dari relung kaca jendela kamar aku menangkap bayangan sinar Matahari sedang berusaha menampakkan semburat cahayanya dengan malu-malu meski waktu saat ini belum juga mencapai Pukul 05.00 WIB. Seperti biasanya aku sudah membersihkan diri paling awal lebih dari kawan-kawan lain dan oleh karenanya, aku pergi beranjak meninggalkan kamar agar dapat menikmati sarapan santap pagi di restoran hotel. Amboi, sarapan ini masih nikmat untuk disantap di tengah alunan nafas pagi Yogya, sahabat.

Dan tibalah saat terakhir kami mengakrabkan diri dengan hotel: Check out. Ya, check out lantaran hari ini tak lain tak bukan merupakan hari terakhir kami menikmati suasana Yogya seperti hasil penggambaran kota ini dalam lagu milik band “KLa Project” berjudul “Yogyakarta” tahun 1990. Lepas menikmati santap pagi, koper biru donker pemberian tempat ibuku bekerja di Fisip Unpar aku seret melibas permukaan keramik hotel agar dapat ditelan perut bus. Di tengah udara panas yang setia membekap aku pula kawan-kawan, beragam bentuk pemandangan aku tampak dari balik kaca jendela bus besar ini. Inilah hari terakhirku menjumpai Kota Yogya walau masih harus menyambangi Kampus UGM sebelum kembali ke Bandung.

Boleh kukatakan, suasana entah di sepanjang perjalanan menuju Kampus UGM sangat sunyi sebab para gadis jua para bujang justru kembali terlelap setelah matahari terbit. Sedangkan aku sendiri lebih memilih untuk tidak terlelap demi menikmati perjalanan ke Kampus UGM. Cukup setengah jam berjibaku mengukur jalanan, aku sudah bisa mencecah area halaman UGM tepatnya di depan Grha Saba Pramana, sebuah gedung balai pertemuan besar tak jauh dari gerbang masuk sekaligus tempat puluhan anak-anak muda dari sekolah lain telah menanti.

Harus kututurkan, rangkaian acara unprep di UGM ini mengalami perbedaan dengan unprep di tiga perguruan tinggi sebelumnya. Kali ini kami tak mengisi kegiatan melalui cara bersua pada gedung-gedung fakultas tertentu, melainkan kami mengikuti acara pemaparan profil UGM bersama seluruh siswa-siswi dari Sekolah Indonesia Kuala Lumpur dan MAN 1 Sukabumi. Sambutan dari perwakilan sekolah pun mengawali acara ini selama dua jam ke depan.

Berdasarkan ucapan bapak wakil rektor, tahun ini UGM menelurkan sebutir kebijakan baru berupa pelarangan mahasiswa menuntun kendaraan bermotor ke area kampus demi mewujudkan kampus hijau, segar, asri bin bebas polusi. UGM sendiri mengantongi 50 unit kegiatan mahasiswa di dalam lahan seluas 200 hektar yang terbagi dua. Kampus barat sebagai sarang tempat mahasiswa-mahasiswi jurusan IPA menimba ilmu tatkala kampus timur memasang status sebagai tempat mahasiswa-mahasiswi jurusan IPS menimba ilmu pula. Ruas jemari tanganku masih sempat mencatata jurusan Geografi yang giat mendalami tentang makna geografi pula ilmu lingkungan, kartografi-penginderaan jauh dan terakhir pembangunan wilayah. Kurang lebih sebelas-dua belas dengan materi yang diajarkan Pak Iskandar, guru Georgafiku di kelas.

Mahasiswa wajib menjalani diskusi sebagai model pembelajaran. Lantas bagaimana dengan seleksi jalur masuk? Sama dengan perguruan tinggi lain. Program jenjang dibagi menjadi tiga, mulai dari diploma, kedua sarjana dan ketiga pasca sarjana. Khusus bagi sarjana sendiri, ada 40% untuk jalur SNMPTN, 30% SBMPTN serta 30% jalur mandiri.

Satu lagi hasil pemaparan yang dapatku bagikan pada kalian, menurut filosofi perjalanan sejarahnya Universitas Gajah Mada merupakan kampus perjuangan yang dirintis tahun 1946 sebagai wujud realisasi para tokoh muda ketika Yogya dan seluruh tanah air masih dikepung situasi kemerdekaan. Bahkan UGM sendiri pernah tutup di tengah masa pertempuran sebab para dosen dan mahasiswanya turut mengambil bagian dalam peperangan melawan penjajah.

Acara di Grha Saba Pramana bertemu epilognya, kini keberadaan kami bergeser menuju gedung Fakultas Ilmu Sosial Politik alias Fisipol UGM di bawah bimbingan Kak Karin, salah seorang kakak kelas kami yang sudah dua tahun menjamah lautan ilmu di perguruan tinggi pentolan utama Yogya ini. Di Fisipol kami tak datang menyimak pemaparan seperti di Unsoed-UNY-UPN, melainkan kami justru menghadiri pameran tentang jurusan-jurusan yang ditawarkan Fisipol pada calon mahasiswa dan di sinilah kami justru diberi kesempatan bermain game oleh kakak mahasiswa panitia pameran.
Lalu, aku diberi selembar kartu biru bertuliskan tabel yang harus disesaki oleh stiker dari masing-masing stand jurusan lepas menjawab pertanyaan untuk ditukarkan dengan hadiah pemberian panitia walau tak harus penuh jua. Mulanya, aku ingin mencoba memeragakan gaya palung tubuh menurut judul film sebagai senjata utama tebakan bagi seseorang. Tetapi, sayang seribu sayang kesempatan itu telah kepalang lenyap disambar Dinda dan Kiki. Maka oleh karenanyalah aku justru harus mencari stand lain. Dan dapatlah aku stand GEO, lembaga internasional Fisipol UGM di bawah penjagaan seorang wanita berkerudung. Ia memberiku pertanyaan terkait di mana letak Sungai Yangtze. Kujawab Tiongkok adalah pemilik lekukan Sungai Yangtze. Jawabanku benar, maka aku mendapatkan satu buku direktori beasiswa sarjana & pertukaran mahasiswa.

Pada stand kedua di bawah penjagaan para mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan aku tak seorang diri melainkan aku mencoba memecah tantangan bersama sebagian kawan-kawan kelas IPS mulai dari Si gadis bunga, Akbar, Ali, Adhit, Saras dan Rani. Tantangannya, aku harus bisa menebak siapa nama tokoh ternama tanah air jua dunia berdasarkan deskripsinya. Beberapa sudah diendus kawan-kawanku, dan aku berhasil menebak nama Presiden RI ke-3 BJ. Habibie, mendiang penulis novel Pramoedya Ananta Toer serta mendiang Perdana Menteri Inggris 1979-1990 Margaret Thatcer. Hadiahnya, aku mengantongi satu gelas putih khas UGM.

Usai menebak nama para tokoh, kujamah stand Administrasi publik serta satu lagi stand yang aku lupa itu jurusan apa. Tetapi yang jelas, di stand Administrasi publik kusempatkan diri menghantam hampir sepuluh botol plastik warna-warni memakai bola boling. Namun upayaku justru gagal dan aku memilih permainan mencari perbedaan terselubung pada gambar. Syukur, aku berhasil mendeteksi sembilan perbedaan serta sebagai hadiahnya, aku menerima secarik stiker Administrasi Publik UGM. Di stand terakhir, sang mahasiswa penjaga bertanya padaku, “Mau pilih nomor berapa? Jangan lihat pertanyaannya ya.” Aku menyambar cepat, “Nomor 22.” “Oke, Nomor 22. Kamu harus cari tahu kemana saja gimanapun caranya, siapa nama dekan Fisipol UGM.”

Diminta mendeteksi nama dekan Fisipol UGM, aku mesti melancarkan serangan nepotisme pada Kak Karin. Walau sempat menertawakan serangan nepotismeku ini, tetapi gadis berkulit putih serta tubuh kurus tinggi ini tetap mewartakan Bapak Agus Erwan Purwanto sebagai jawaban utama untukku. Lalu aku segera menyerahkan jawaban itu dan stikerku bertambah satu. Aku pula tak malu-malu menerima tawaran kerupuk dari sekotak toples baja di atas meja stand. Selanjutnya aku ajak badanku berkeliling area pameran tanpa sempat menemukan stand permainan yang cocok. Maka, di penghujung misi pencarian aku langsung menyerahkan di tempat penukaran. Tanganku menerima dua buah gantungan kunci berbentuk pin.

Alhamdulillah, makanan santap siang berupa Mie Kuah Telur serta Jus Alpukat terasa mengenyangkan diri cukup hanya sesaat menjelang waktu shalat Jumat. Kulihat tak jauh dari kantin, shalat Jumat justru dilaksanakan di sebuah ruangan yang lebih mirip dengan Mushola berkapasitas sedang. Dosen dan mahasiswa telah mulai menyesaki mushola lalu membubarkan diri setelah selesai, tepat ketika rintik hujan datang barangkali sebagai salam perpisahan bagiku sesaat menjelang kepulangan ke Bandung.

Usai mesin bus berderum mengucap selamat tinggal pada Kampus UGM tengah siang ini, sorot pelupuk mataku tak lepas menghujam pemandangan Kota Yogya di luar yang perlahan namun pasti mulai silih berganti dengan sawah, pegunungan, rel kereta api, rumah penduduk dan hutan. Seluruh lukisan muka bumi itu silih berganti selama bus berlari terbirit-birit membelah jalanan. Ada apa denganku? Ada apa gerangan? Apa yang terjadi? Mungkin hanya sebatas perenungan lebih dalam akan kembali hadirnya makna indah tentang setangkup cinta, persahabatan, pertemanan dan kebersamaan. Aku mengatakan itu sangat benar. Yogya telah kembali mempermanis relung kehidupanku di penghujung tahun ini usai dahulu mengembara dalam sunyi bersalut sendu ke Kalimantan.

Hari berganti warna, aku merelakan siang memudar berganti dengan kepekatan malam yang membekap jiwa mencakup waktu saat kami menepikan diri sesaat di daerah Cimanggu. Aku boleh terjaga belakangan selama ibadah shalat dua waktu takkan pernah tertinggal dilanjut dengan makan malam pada rentang waktu satu jam. Lalu, kepekatan malam kembali aku tembus walau hanya sebagian kecil cerita perjalanan yang bisa kusimak lantaran aku harus terbuai pada rasa kantuk selama hampir sepanjang perjalanan tergariskan. Akhir cerita, aku katakan kelopak mataku baru tersingkap kembali saat sudah akan sampai di sekolah serta kisah ini dengan pasti menemukan epilognya tepat pukul 01.55 WIB.

Terima kasih untuk kisah indah ini, Purwokerto, Yogyakarta dan kawan-kawanku…

*****

Bandara Internasional Kuala Lumpur, keesokan harinya.

            Hiruk-pikuk antara manusia dengan pesawat yang selalu datang silih-berganti tak lantas membungkam pikiranku untuk selalu mencari-cari pintu masuk menuju ruang kabin Pesawat Malaysia Airlines Airbus A380. Jadwal sudah mewartakan aku akan berangkat ke London menggunakan pesawat bernomor penerbangan MH 004 sesuai niat yang telah terhunus. Tentulah aku merasa sangat senang menanggapi ini. Namun bagaimanapun juga, ulu hatinku tetap menampak dilema yang tiada tampak bagai dilema sekaligus tawa yang tiada tampak bagai tawa pula. Barangkali aku masih ingin dipeluk oleh kehangatan empat rasa dari udara Yogya. Aku terus memikirkan itu sampai lamunanku harus buyar tatkala seorang gadis 13 tahun berteriak memanggil namaku sambil ia memekik keras.

            “Herr Aldi!!! Wie geht es ihnen heute? Sie haben schön kommen hier jetzt!!!15Mulanya aku tidak percaya dengan kehadiran Stevie sang murid kesayanganku sesaat menjelang keberangkatanku ke London hari ini. Aku memang tak langsung membalas teriakan Stevie, tetapi aku justru menyuruh Stevie mendekat agar bisa menatapku dengan jelas. “Hallo Stevie. Alhamdulillah es geht mir gut, danke schön. Ja, habe ich schön kommen hier.16Cerita lama itu terulang lagi di Bandara Kuala Lumpur. Ketika kutanya bersama siapa Stevie pergi melancong, ia menjawab pergi bersama kedua kakak, satu adik dan keluarga temannya yang berasal dari Jerman. Sedang kedua orang tua Stevie sendiri telah pergi ke London lebih dulu. Oh Ya Allah, pantaslah Stevie terlihat sangat bahagia hari ini. [9]

Cepat-cepat, tiga dara cantik berlari menuju aku dari arah berlawanan. Tangan salah satu tiga dara itu mendorong troli koper sangat cepat saking bersemangatnya. Denganku, mereka tampak seperti telah puluhan tahun berpisah dan kembali bertemu di negeri orang. Merekalah Si gadis bunga, Gloria dan Maureen, tiga dara cantik penyemangat palung jiwaku selama ini.  Tak kusangka mereka bertiga akan ikut menemaniku mengarungi sepertiga langit bumi menuju London hari ini. Pasti mereka ingin mendengar ceritaku menempuh perjalanan jauh ke Yogyakarta. Dan hal itu telah terbukti benar. Gloria dan Maureen malu-malu mengakui isi hati mereka kepadaku di tengah keramaian Bandara Kuala Lumpur. Pastilah mereka ingin hadir di tengah deru Kota Yogyakarta. Tak banyak kata yang ingin kutepikan kepada mereka sekarang kecuali senda gurau yang selalu menemani hati nan hampa hingga itu membuat kami hampir lupa arah navigasi waktu dan ketika tiba saatnya berangkat, tak ragu aku ajak mereka memasuki badan pesawat.

Empat mesin pesawat Airbus A380-842 tungganganku ini mendengkur sangat keras sejak mengambil ancang-ancang di ujung landasan jua telah mengangkasa beberapa ratus meter di atas permukaan tanah Negeri Jiran. Mataku tak henti-hentinya menghujam lukisan langit di luar walau ingatanku melayang jauh pada setangkup kenangan yang akan selalu membekas di relung hati & pikiranku selamanya: Agar selalu ingin kembali pada Hujan tak sampai di Persimpangan Benteng Vredeburg, suatu kisah tentang elegi perjalanan antara manusia-manusia bujang dan gadis bersama musim hujan. Aku selalu ingin kembali mengembara sambil melintasi Bandung, Purwokerto, Dieng dan Yogyakarta, empat tanah tempatku merangkul empat rasa kenangan jua kisah tentang empat dara cantik tepat di sampingku dahulu, hari ini, sekarang dan sampai selama-lamanya.

“Ihr seid habt schön als meine gute freundin jetzt. Ihr seid sehr hübsch und sehr net. Danke schön für es.17Paras cantik empat gadis ini cukuplah mengulum senyum manis begitu aku melafalkan ucapan terima kasih bersalut pujian akan kecantikan paras mereka pada kehadiran mereka sebagai teman terbaikku selain para manusia bujang selama ini.


Bandung, 8 November 2016
Pukul 22.15 WIB


- Herr Aldi Van Yogya-

[10]Agar selalu ingin kembali a.k.a Hujan tak sampai di Persimpangan Benteng Vredeburg adalah sebuah cerita tentang perjalanan bersalut cinta, pertemanan, persahabatan dan kebersamaan di Kota Purwokerto & Yogyakarta. 




1Kependekan dari kata university preparation, sebuah kegiatan semacam fieldtrip/study tour khusus Siswa-siswi Kelas 12 dengan rangkaian acara berupa observasi ke sejumlah perguruan tinggi negeri/swasta di dalam dan/atau luar kota.
2 Berangkat ke Yogya, bisa Bahasa Jawa!! (Bahasa Jawa),
3 Kependekan dari surat elektronik, e-mail dalam Bahasa Indonesia.
4 Sudahlah, ini berputar saja ke Majalaya dan Cicalengka (Bahasa Sunda)
4 Lawan dari kata ba’da yang artinya momen setelah tiba waktu shalat fardhu. Qabla artinya adalah momen sebelum iqomah berkumandang sebagai pertanda shalat fardhu akan segera dimulai.
5 Ini dari SMA swasta di Bandung bu, sekarang ada kegiatan observasi ke kampus-kampus Jawa Tengah dan Yogya (Bahasa Jawa),
6 Lha bisa Bahasa Jawa juga (Bahasa Jawa),
7 Iya bu, ibuku Orang Jawa juga (Bahasa Jawa).
8 Munfarid: Istilah agama untuk shalat yang ditunaikan seorang diri
9 Assholatu khairum minan naum: Shalat itu lebih baik daripada tidur. Kalimat ini biasanya hanya dilafalkan oleh muadzin ketika mengumandangkan Adzan Subuh.
10 Desain Komunikasi Visual,
11 Pendidikan Tinggi
12 Ane: dari kata “Ana,” “Aku” dalam Bahasa Arab,
13 Ente: dari kata “Antum,” “Kamu” dalam Bahasa Arab.
15 Pak Aldi!!! Apa kabar anda hari ini? Anda sudah datang ke sini sekarang!!! (Bahasa Jerman),
16 Halo Stevie. Alhamdulillah kabarku baik, terima kasih. Ya, aku sudah datang ke sini. (Bahasa Jerman).
17 Kalian sudah jadi teman-teman baikku sekarang. Kalian sangat cantik dan sangat baik. Terima kasih untuk itu. (Bahasa Jerman). 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi