Hujan tak sampai di persimpangan Benteng Vredeburg (Agar selalu ingin kembali)
Kuala Lumpur, Malaysia, di suatu sore.
Palung
jiwaku harus luruh oleh rintik hujan yang begitu deras di sore hari ini jua. Kulihat
dari relung kaca jendela apartemen tinggi ini, awan kelabu menggantung begitu
pekat di tudung langit ibukota Negeri Jiran ini semenjak adzan Ashar lantang
mengumandangkan suaranya lebih dari dua jam lalu. Aneh, meskipun kurang dari
setengah hari ini kota Kuala Lumpur diguyur hujan deras, tetapi dari balik kaca
jendela apartemen aku menampak dengan sorot kelopak mata sendiri sejumlah
anak-anak Melayu kecil begitu antusias menyambut datangnya musim hujan dan itu
mengingatkanku pada serial kartun si kembar Upin-Ipin yang berasal dari
Malaysia juga.
Kendati
hari ini telah habis disapu oleh gemericik air hujan, sejak tadi pagi aku
selalu merasa bersemangat lantaran esok pagi diriku akan pergi melenggang
seorang diri menuju London, Inggris dengan menunggangi pesawat Airbus A380
milik Malaysia Airlines. Maka oleh karenanya, satu lembar tiket pesawat aku
benamkan pada tas ransel hitam legam yang sedang menganga lebar bagai hendak
menelan mangsanya bulat-bulat. Setumpuk berkas bersama komputer laptop turut aku benamkan pada palung
tubuh ransel ini agar selanjutnya aku bisa mandi. Alhamdulillah, semuanya telah
beres dan kini saatnya untuk membanjur diri memakai air.
Namun
belum jauh aku berjalan menuju kamar mandi, secara tiba-tiba telepon selulerku
berdengung sangat nyaring menghentikan langkahku. Alhasil aku harus memutar
badan 180 derajat demi menangkap isi pesan yang bertengger santai di layar
telepon selulerku. Usai jemari kananku menyentuh layar telepon seluler, aku
langsung mengetahui bahwa pengirim pesan singkat tersebut adalah seorang gadis
berambut sebatang leher.
“Assalamu’allaikum.
Besok jadi berangkat ke London, Herr Aldi?” Ujar dirinya.
“Wa’allaikumsalam. Iya Gloria, besok aku
berangkat ke London naik Pesawat Malaysia
Airlines MH 004, berangkat dari Kuala Lumpur jam 09.50. Ada apa Glor?”
Sejurus kemudian ia menjawab pertanyaanku.
Jarinya pasti sedang menari ligat di sana.
“Enggak apa-apa kok herr. Tadi Maureen
sama Si gadis bunga tanya kapan Herr Aldi berangkat ke London. Terus aku
langsung kasih tahu mereka.”
Ucapan
Gloria pada kalimat terakhir merangsang ingatanku akan elegi tentang Si gadis
bunga. Seperti apa yang pernah aku tepikan di cerita terdahulu, diriku sangat
mencintai si gadis bunga sejak aku ditakdirkan untuk mengukir cerita seputar
pengembaraan jauh ke Dataran Tinggi Dieng lantaran dipaksa oleh tiga orang
kawanku. Awalnya aku sempat menolak untuk menepikan pengakuan terkait pada
gadis mana relung hatiku merasa jatuh cinta. Tetapi karena mereka terus
mengharapkan jawaban dariku, maka pada ujungnya aku mesti menyebutkan nama si
gadis bunga.
Lain
halnya dengan kisah cerita saat aku pergi mengembara ke Tanah Kalimantan tempat
seribu anak sungai membelah daratan. Semula, aku telah menjunjung harapan agar
si gadis bunga dapat ikut serta menemani ragaku pergi ke Kalimantan. Tetapi
harus kuakui, harapan itu memudar dengan pasti karena kedua orang tua si gadis
bunga tak sudi melepas putrinya merantau jauh selama empat hari penuh tanpa aku
ketahui apa alasan spesifiknya. Dan benar saja, tiada kisah indah yang aku ukir
di hamparan rimba Kalimantan.
Ingatanku
kembali melayang pada ujung Bulan Oktober 2016 dimana si gadis bunga mesti
terpuruk dalam setangkup derita sampai ia mesti berdiam pada pembaringan
beberapa hari. Dengan niat baik, kawan-kawanku menghunus keinginan untuk
menjenguk si gadis bunga di rumahnya sedang aku mesti terombang-ambing pada
dilema yang akhirnya aku harus memutuskan tak ikut menjenguk lantaran harus
memeriksa kesehatan gigi secara rutin pada seorang dokter gigi. Tetapi di
tengah dilema mengenai bunga kasih tak sampai ini, secarik berita gembira
datang menyambangi diriku melalui sepucuk surat dengan bunyi: Kegiatan Unprep1
ke Kota Purwokerto dan Yogyakarta awal November 2016.
Tentulah
aku merasa bahagia dengan hadirnya berita gembira tersebut. Bahkan aku sampai
berteriak, “Budal nang Yogya, iso Boso
Jowo!!2” Alhasil oleh karenanya, pada hari terakhir aku berjumpa
dengan Kuala Lumpur inilah bayang-bayang anganku melayang jauh pada perjalanan
ke Kota Keripik Tempe dan Kota Gudeg tersebut saat Kelas 12 dulu.
*****
Selasa, 1 November 2016
Hari
pertama di bulan kesebelas itu akhirnya datang juga sebagaimana isi penantian
panjangku selama hampir dua pekan belakangan ini. Bilamana biasanya Hari Selasa
selalu dijuluki sebagai hari paling membosankan oleh teman-teman, tetapi hari
Selasa ini aku merasa adalah satu hari terbaik sebab seluruh siswa-siswi Kelas
12 hanya akan masuk sekolah selama setengah hari sebelum berangkat ke
Purwokerto malam harinya. Aku masih ingat, semestinya di hari Selasa pagi itu
aku mendalami pelajaran Bahasa Inggris di kelas dengan Mrs. Tetty, guru Bahasa
Inggris Kelas 12 yang baru pengganti Mrs. Nur pasca resign dua bulan silam. Tetapi karena guru perempuan berkacamata
ini berhalangan hadir, maka oleh karenanya aku hanya diberi titah berupa
pengerjaan tugas dengan memotret situasi sekolah untuk disampaikan kepada
beliau melalui surel3 setelah selesai.
Alhamdulillah,
tugas dapat aku tunaikan dalam perasaan bahagia karena guru yang hadir di hari
pertama November ini hanya Pak Solihin, guru pelajaran Agama dan siang harinya,
aku menyegerakan diri pulang ke rumah lebih awal demi mengepak perlengkapanku
selama empat hari pergi berkelana terhitung mulai malam hari ini.
Selasa
malam dengan diantar ayah dan adik perempuanku ke sekolah, aku menjumpai
beberapa orang kawanku telah hadir terlebih dahulu sambil diantar orang tuanya
masing-masing. Sebagian dari orang tua mereka menanti di sekolah sampai tiba
jam keberangkatan, sementara ayahku hanya
mengantar sampai gerbang sekolah lalu kembali ke rumah. Dari sanalah aku
membaurkan diri dengan kawan-kawanku di sekolah menjelang sosialisasi terakhir
sebelum keberangkatan bersama Pak Solihin, Pak Nandang, Bu Yanti dan Bu Yeni
sebagai guru pembimbing kegiatan unprep. Kulihat para bujang dan gadis sudah
lengkap kecuali si gadis bunga yang menurut pengakuan Ali belum datang karena
masih terjebak macet di tengah perjalanan ke sekolah. [1]
Berdasarkan
tulisan di jadwal, seharusnya kami sudah mengucap selamat tinggal pada sekolah
pukul 20.00 WIB untuk menempuh perjalanan ke Purwokerto selama sembilan jam.
Akan tetapi, salah seorang temanku dari Kelas 12 IPA yang bernama Agam justru
belum datang sehingga kami harus sudi memberi toleransi berupa tenggang waktu
bagi bujang berkulit putih dengan kacamata ini. Akhirnya Agam datang sebagai
siswa paling terakhir dan usai menanti kehadirannya, kami berangkat dari sekolah
pukul 20.30 WIB. Fase awal perjalanan ditempuh dengan lancarnya situasi lalu
lintas sepanjang Jalan AH. Nasution. Tetapi lain ceritanya dengan situasi lalu
lintas di Jalan Raya Cileunyi-Rancaekek.
Ketika
bus baru memasuki kurang dari setengah jalan raya, secara tiba-tiba arus lalu
lintas tersendat karena banjir menghadang di depan Pabrik PT. Kahatex selepas
diguyur hujan sebelumnya. Pergerakan bus hanya dapat berlangsung sejauh
satu-dua meter atau hanya satu-dua cm. Sekilas kemacetan di Jalan Raya
Rancaekek ini membuatku gelisah akan jadwal kedatangan di Purwokerto keesokan
harinya ditambah dengan Aa alias Audia dan Akbar yang turun di tengah kemacetan
demi mencari kamar mandi. Hal serupa turut ditunaikan oleh Abang dan Fariz yang
lantas memberitahu kondisi lalu lintas kepada orang satu bus. “Jalan di depan
macet soalnya banjir. Kendaraan pada maju gara-gara banyak yang berputar
balik.” Ujar Fariz menepikan kesaksian jujurnya.
Lambat
laun keinginan untuk pergi ke kamar mandi turut muncul pada diriku. Aku lantas
bangkit dari duduk agar bisa meminta izin pada Pak Nandang yang duduk di depan.
Guru Matematika berperawakan sedang ini mengizinkanku pergi asal ditemani
kawan-kawanku dan jadilah aku turun dari bus bersama Adit NR, Akbar, Agam serta
Audia. Kemudian aku terus berjalan jauh menuju sebuah restoran masakan Padang
bersama Adit NR ketika Akbar-Agam-Audia sibuk memesan nasi goreng pada sebuah
lapak pedagang kaki lima di pinggir jalan. Di Restoran Padang itu, terdapat
seorang bapak-bapak yang mengobrol tentang situasi lalu lintas bersama salah
seorang pegawai restoran. Seraya menanti Adit di kamar mandi, aku turut
meladeni ucapan sang pegawai restoran.
“Dari
mana?” Ujar si pegawai membuka percakapan.
“Saya
rombongan SMA swasta di Bandung mas, ini mau ada kunjungan ke Jawa Tengah sama
ke Yogya. Tadi berangkat dari sekolah jam setengah sembilan terus rencananya
sampai di Purwokerto subuh. Tapi kalau macet gini, enggak tahu juga mas.”
Jawabku santai.
“Wah
iya, tadi malah sempat macet dari jam delapan malam sampai jam dua siang.”
Tutupnya sebelum aku berlalu bersama Adit.
Beres
menuntaskan buang hajat serta menjemput Akbar-Agam-Audia di tukang nasi goreng,
mataku segera mencari-cari bus yang pastinya sudah bergerak mengikuti arus
kendaraan. Sayang aku tak menemukannya karena banyak bus yang mematut ciri-ciri
hampir sama dengan bus tumpanganku. “Posisi bus dimana?” Tanyaku di grup
angkatan. Tiada jawaban, aku berjalan menyusuri trotoar sambil mencari bus dan
saat Audia telah berjalan lebih dulu dibuntuti Akbar dan Agam, aku mendapati
Ragil melambaikan tangan dari balik kaca jendela bus. Lantas aku memanggil tiga
bujang di depanku untuk segera masuk ke bus. Pergerakan lambat masih
berlangsung sebelum sang pengemudi bus menunaikan ucapannya, “Atoslah, ieu muter waé ka Majalaya jeung
Cicaléngka.4” Di sebuah bundaran jalan, bus memutar balik
melewati jalan ke arah Gerbang Tol Cileunyi. Di tengah-tengah jalan saat
bertemu dengan pertigaan Dangdeur, bus berbelok menuju segaris jalan kampung
yang sangat gelap tetapi ramai oleh hilir-mudik kendaraan baik itu angkutan
kota alias angkot, bus pendek atau panjang sampai truk besar pengangkut barang.
Kulihat ke luar jendela, aku hanya menjumpai pemandangan berupa hamparan sawah
nan gelap ditemani kerlap-kerlip cahaya lampu rumah penduduk dan sesekali aku
melihat pabrik di luar jendela. Seolah belum kenal dengan pekatnya tengah
malam, sejumlah bujang dan gadis masih berguyon ria saat jarum jam menunjukkan
pukul 23.45 WIB.
Usai
melintasi segaris jalan kampung, tepat pukul 00.00 WIB bus kami dapat mengucap selamat tinggal dengan
Bandung. Sontak, keramaian malam bermetamorfosis menjadi kesunyian malam di
atas aspal. [2]
*****
Rabu, 2 November 2016.
Hanya
dalam jangka waktu kurang dari lima jam hari telah berganti pula dengan
nama-nama kota yang akan selalu silih berganti sepanjang perjalanan. Walau
sudah saatnya tidur, tetapi aku merasa kelopak mataku sukar dipejamkan sehingga
aku harus merelakan mataku terbuka dan terkatup setiap sebentar. Terkadang
harus terlelap tidur, namun terkadang harus menyalang terjaga pula dan di
tengah dinginnya hembusan pendingin ruangan bus, aku bisa melihat sedikit sudut
Ciamis, sebuah kota kecil yang dahulu pernah aku singgahi dalam perjalanan
menuju Dieng karena adanya prahara pada mesin mobil di kelas 10. Entah pukul
berapa tepatnya, namun yang jelas sudah melewati pukul 00.00 WIB. Mungkin
sekitar pukul 01.00-02.00 WIB karena pukul 02.25 WIB, aku menampak bus telah
memasuki Kota Banjar.
Sambil
melihat dengan samar-samar dari balik jendela, sang supir yang hingga saat ini
tidak pernah aku ketahui namanya tetap mengambil jalan lurus kendati telah ada
papan peringatan bilamana arus ke Jawa Tengah dan sebaliknya dialihkan ke
tengah Kota Banjar karena jembatan penghubung utama jalan raya sedang
diperbaiki selepas diterjang banjir beberapa minggu silam. Dan Pak supir pun
menghentikan laju bus tepat di depan area proyek perbaikan untuk selanjutnya
kembali ke Kota Banjar membuntuti sebuah truk pengangkut barang. Alhasil
perjalanan menjadi sedikit melenceng sebelum menembus gelapnya jalan raya
pembelah hutan belantara di garis perbatasan dua provinsi. Menampak kegelapan
rimba hutan, aku teringat ucapan Pak Randi dan Pak Ibnu, supir kendaraan
sekolah yang dahulu mengantarku pergi ke Dieng dengan teman-teman. Andai saja
mesin mobil mengalami prahara di tengah hutan tengah malam, kita pasti akan
bingung mau melakukan apa. Bus pun terus melaju saat pelupuk mataku harus
kembang-kempis menahan kantuk di bawah tiupan AC bus yang sangat dingin sampai
menciptakan embun di jendela.
Kurang
lebih setengah jam berselang, Pak supir membelokkan bus pada sebidang area
peristirahatan di daerah Majenang. Di sini para bujang dan gadis terjaga dari
tidurnya untuk sesaat agar bisa memenuhi keinginannya pergi ke kamar mandi. Aku
pergi ke kamar mandi dan membayar sebanyak Rp. 2.000,00 untuk sekali penggunaan
saat Bapak Kondektur bus membersihkan embun yang melekat di kaca depan.
Lepas
beristirahat di Majenang, kami melanjutkan sisa perjalanan menuju Kota
Purwokerto sebagai tujuan pertama kami walau masih terbelenggu kantuk tak
beraturan sampai sepanjang perjalanan. Pagi harinya di waktu subuh, kami
menepikan diri pada sebuah masjid besar di daerah Jatilawang demi menunaikan
ibadah shalat Subuh berjamaah. Masjid tersebut bernama “Babul Qudus” dan begitu
mencecah lantai halaman masjid, aku segera mengambil air wudhu di samping
masjid. Beres membasuh raga dengan air wudhu, aku menyeret telapak kakiku masuk
tempat shalat di dalam masjid. Di sana, kami diberi titah oleh Pak Solihin
untuk segera menunaikan shalat Sunnah Qabla5
Subuh sambil menanti shalat fardhu. “Masih sempat gitu pak?” Ujar
salah seorang kawan laki-laki. “Masih.” Tutur Pak Solihin singkat. Alhasil
sebagian di antara kami menunaikan shalat Sunnah terlebih dahulu.
Shalat
Subuh telah selesai ditunaikan palung jiwa-raga kami, dan sekarang tiba saatnya
untuk meneruskan perjalanan menuju Kampus Universitas Jenderal Soedirman alias
Unsoed di tengah Kota Purwokerto. Sepanjang perjalanan selepas shalat Subuh
berjamaah, tatapan pelupuk mataku menangkap perubahan warna tudung langit yang
melukiskan beragam bentuk pemandangan alam seperti terhamparnya berkotak-kotak
sawah, gunung-gunung menjulang hingga Kali Serayu yang membentang amat sangat
panjang. Tak ketinggalan jembatan dan rel kereta api turut nampak dalam lukisan
fajar milik awal bulan November ini. Aku hanya bisa menikmati semua pemandangan
sambil duduk di kursi bus.
Lambat
laun aku mulai menjamah suasana sebuah kota kecil bernama Purwokerto. Bila
dilihat, tipe kotanya terlihat mirip dengan Garut atau Cilegon nun jauh di
dekat tepi garis Selat Sunda sana. Lebih dari dua papan plang lalu lintas aku
lihat, nama Kampus Unsoed sebagaimana panggilan akrab Universitas Jenderal
Soedirman selalu dipasangkan dengan nama kawasan objek wisata Baturaden. Aku
sendiri pernah mendengar nama Baturaden dari cerita-cerita yang ditepikan oleh
ibu dan nenekku. Tetapi memang jelas Kampus Unsoed terletak pada arah yang sama
dengan Baturaden.
Pukul
06.00 WIB, Alhamdulillah usai menempuh perjalanan satu malam penuh kami sampai
di lapangan parkir Unsoed dengan lancar bin selamat. Bus kami sempat parkir di
halaman gerbang sebelum berpindah ke depan sebuah masjid bertingkat dua. “Oke,
sekarang di samping kita ada masjid, kalian boleh langsung ganti baju lalu
mencari sarapan. Setelah itu kembali lagi di sini pukul 07.30 WIB dan kegiatan
akan dimulai pukul 08.00 WIB.” Demikian bunyi instruksi pertama di Purwokerto
dari Pak Solihin. Sambil menggendong tas ransel di punggung, aku melangkah
santai sekaligus melintasi ruang-ruang kelas perkuliahan para mahasiswa Unsoed
yang masih sepi. Udara pagi di kota ini memang panas, namun semangat kami
menjamah area kampus takkan memudar sebelum memulai hari.
Kemudian
selepas mengganti pakaian dengan baju seragam kotak-kotak, bersama para bujang
dua kelas aku pergi meninggalkan Unsoed sejenak demi mencari bahan santap pagi.
Keramaian jalan turut mengiringi langkah kami menuju salah satu lapak pedagang
kaki lima di samping Unsoed. Di sana, seorang wanita paruh baya menyambut kami
sambil menjajakan Nasi Uduk bersama lauk-pauk lainnya sebagai barang dagangan.
Juga Nasi Kuning tak sungkan beliau tawarkan pada kami. Aku sendiri memilih
menu Nasi Uduk untuk disantap. Aduhai, sungguh nikmat rasa Nasi uduk ini
kendati harus ikhlas udara panas merangsang butiran keringat pada benak. [3]
Kembali
ke Kampus Unsoed, kini anak jurusan IPS mesti berpisah dengan anak jurusan IPA
disebabkan perbedaan fakultas tujuan. Anak
IPS akan menjamah area Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) sementara anak
IPA akan menjamah area Fakultas Kedokteran. Sebelum berangkat ke FEB, aku
menunggu teman-teman gadis kelas yang belum selesai sarapan bersama Akbar,
Sulthan, Adhit, Ali alias Abah, Rani dan tentu saja si gadis bunga. Di
pelataran masjid ini kami menghabiskan waktu dengan ber-selfie ria menggunakan kamera telepon seluler Akbar sampai para
gadis kelas hadir. Merasa kami sudah lengkap, maka langkah menuju FEB segera
dirintis sambil didampingi oleh Pak Nandang dan Bu Yanti, guru Matematika dan
Sejarah IPS-Indonesia.
Sesi
foto bersama kami tunaikan tepat di pintu masuk FEB. Lalu, kami segera
menelusuri gedung fakultas agar bisa sampai ke sebuah ruangan ber-AC yang
dimana sejumlah dosen serta staf fakultas telah menanti. Ruangan ini ukurannya
tidak terlalu besar namun tidak juga terlalu kecil tetapi diisi oleh puluhan
kursi yang mengelilingi sebidang meja besar. Teman-temanku memilih duduk
mengelilingi meja besar walau ada yang memutuskan duduk di belakang tanpa bisa
menjamah meja. Lalu kegiatan pengenalan tentang profil FEB pula Kampus Unsoed
secara keseluruhan diawali. Dari informasi yang aku dapatkan dalam pemaparan
kali ini, rupanya FEB & Kampus Unsoed berdiri tahun 1963 serta jurusan di
FEB seperti Ekonomi Pembangunan, Manajemen, Akuntansi, dan lain sebagainya
sudah mengantongi Akreditasi A pula B. Mengingat Kampus Unsoed berdiri tahun
1963, aku menarik kesimpulan jika kampus ini ada sepanjang hidup ayahku.
Tak
hanya sebatas menyimak pemaparan, aku pula diajak mengelilingi gedung FEB.
Salah satu bagian yang paling aku ingat sampai hari ini adalah perbedaan tata
cara pelunasan biaya SPP antara dunia perguruan tinggi dengan SMA. Di SMA,
biaya SPP masih dilunasi oleh orang tua sedang di perguruan tinggi harus
dilunasi mahasiswa sendiri. Tujuan selanjutnya adalah bagian pengurusan
administrasi program internasional Unsoed dengan dibimbing oleh Ibu Ririn sang
kepala program. Wanita berambut panjang dengan kulit putih ini memperlihatkan
ruang adminstrasi program internasional kepada kami dan di meja pendaftaran,
terpampang sekitar 10 bendera negara lain sebagai arti sudah ada atau banyak
mahasiswa asing yang menimba ilmu di Unsoed. Andai jumlah bendera bertambah
semakin banyak, itu artinya mahasiswa asing penimba ilmu di Unsoed telah
bertambah.
Tak
lupa Bu Ririn menunjukkan ruang sidang skripsi bagi para mahasiswa. Ukuran
ruangan ini relatif kecil, muat untuk satu orang mahasiswa pelaksana sidang,
tiga atau empat orang dosen penguji serta mahasiswa lain yang menonton proses
sidang. Di sini, Bu Ririn mengaku dirinya alumni Unsoed yang langsung menjamah
ilmu di jenjang S2-S3 selepas lulus S1 dengan konsekuensi tidak langsung
merasakan dunia kerja. “Terus kalau mahasiswa itu jam kuliahnya lebih
fleksibel, teratur misalnya dari jam delapan sampai jam empat atau seperti
apa?” Aku bertanya tentang alur waktu bagi para mahasiswa. “Kalau mahasiswa itu
enggak setiap hari datang ke kampus, tergantung jadwal kuliah.” Seingatku
demikian bunyi jawaban Bu Ririn. Menurutku, hal di atas adalah indikator jika
masa kuliah akan tampak bahagia bin indah, malah bisa saja lebih bahagia nan
indah dari masa SMA.
Menjelang
siang, kegiatan eksplorasi bersalut observasi di FEB bertemu dengan ujungnya. Fakultas
Hukum adalah tujuan anak IPS berikutnya. Cukup dengan berjalan kaki dari FEB,
pelupuk mataku sudah bisa menangkap gedung Fakultas Hukum dengan tulisan
“Justisia” di tembok bagian atas lengkap bersama spanduk ucapan selamat datang
kepada kami. Di dalamnya aku menjumpai banyak mahasiswa berlalu lalang sambil
meniti langkah menuju Conference Room.
Ruangan ini terbilang panjang lantaran diiisi oleh sebidang meja besar yang
lebih panjang dari meja FEB serta panel khusus di sisi depan serta samping kanan-kiri. Sayang, hari ini dekan
Fakultas Hukum tidak bisa hadir menyapa kami karena harus memenuhi agenda lain
sehingga tugas membimbing kami mengenali seluk-beluk Fakultas Hukum harus
diwakilkan kepada Bapak Wakil Dekan. Jujur, aku lupa nama-nama dosen yang
fakultasnya dikunjungi selama Unprep. Tetapi yang jelas Bapak Wakil Dekan
tersebut adalah seorang pria berkacamata di bawah rambut kelimis.
Dari
tutur katanya, aku mengetahui jika Fakultas dan Jurusan Hukum adalah tempat
program studi dengan jumlah calon mahasiswa peminat pada urutan kedua setelah
Fakultas-Jurusan Kedokteran di Unsoed. Jurusan Hukum yang diajarkan dan
dipelajari juga terbagi lagi menjadi beberapa, di antaranya adalah Hukum
Pidana, Internasional, Perdagangan, Perdata, Pernikahan-perceraian, dan lain
sebagainya. Berdasarkan tulisan jadwal, sedianya pemaparan mengenai profil
Fakultas Hukum juga akan dihadiri oleh anak jurusan IPA. Tetapi, rupanya mereka
belum selesai melakukan observasi di Fakultas Kedokteran. Alhasil mereka baru
bisa menyambangi gedung Fakultas Hukum menjelang akhir pertemuan dengan agenda
sesi tanya jawab dan sesaat sebelum pergi meninggalkan Fakultas Hukum,
perwakilan anak bujang dan gadis dari dua kelas menyerahkan cinderamata pada
Pak Wakil Dekan.
Sepiring
nasi rames dengan ayam goreng dan sayur sop sebagai teman aku santap di Kantin
Unsoed bersama kawan-kawanku walau tetap dikepung udara panas. Tak lupa aku
memesan segelas es teh manis. Saat akan mencuci tangan, salah satu pelayan
kantin bertanya terkait dari mana aku dan teman-teman berasal. “Iki soko SMA swasta nang Bandung bu, saiki
ono kegiatan observasi nang kampus-kampus Jawa Tengah karo Yogya 5.”
Lalu ia membalas ucapanku, “Lha iso
coro Jowo ugo.6” “Inggih bu, ibuku wong Jowo ugo.7” Beres
menyantap siang, aku menyeret telapak kaki ke arah bangunan masjid tak jauh
dari kantin demi menunaikan ibadah shalat Dzuhur dijama’ Ashar masing-masing
dua rakaat.
Titik
terahir yang akan disambangi bujang dan gadis IPS serta IPA ialah Fakultas Ilmu
Sosial-Politk alias Fisip bagi anak IPS serta Fakultas Sainstek bagi anak IPA.
Berbeda dengan FEB dan Fakultas Hukum, Fisip Unsoed terletak di area terpisah
tepatnya di seberang segaris jalan pemisah. Entah apa nama jalannya, aku sudah
lupa. Lalu, di area Fisip aku masuk ke sebuah aula kecil untuk diberi
penjelasan. Tetapi hanya sekitar sepuluh menit duduk di aula kecil, kami
langsung diajak berkeliling area Fisip terutama ruang perpustakaan dengan
didampingi oleh Pak Gito, salah seorang Dosen Fisip berperawakan kurus bersalut
kulit putih. Dalam perjalanan menuju perpustakaan, Pak Gito bercerita jika
anaknya berkuliah di Bandung, tepatnya ITB.
Usai
menampak jejeran buku di perpustakaan, kami kembali ke aula dan mendapat
pemaparan tentang Fisip secara lebih lengkap. Melalui ucapan para dosen yang
hadir hari Rabu itu, otakku merekam kisah tentang jurusan Sosiologi yang telah
mengantongi akreditasi A. Jurusan Administrasi Publik dan Negara merupakan
jurusan tertua. Lalu Komunikasi adalah jurusan dengan jumlah calon mahasiswa
peminat terbanyak sedangkan Hubungan Internasional adalah jurusan termuda yang
usianya masih enam tahun pula mematut akreditasi B. Bila aku tak salah, jurusan
HI sedang diupayakan untuk mengantongi akreditasi A.
Jurusan
Hubungan Internasional sendiri memiliki 12 orang dosen tetap, fasilitas
penunjang proses perkuliahan berupa laboratorium, Pusat penelitian & budaya
Korea. Mahasiswa harus menjalani 144 SKS dengan mengutamakan kejujuran.
Rencananya, HI akan membangun kelas internasional, academic exposure serta joint
& double degree. Sementara jurusan politik lebih cenderung mempelajari
tentang desa/kearifan lokal dengan 68 mata kuliah. Observasi di Fisip Unsoed
menemukan ujungnya jua pukul 16.00 WIB. Di titik ini, aku mulai terserang
bersin-bersin dan kondisiku ini dikhawatirkan oleh Ali. Ia menyarankanku untuk
meneguk obat vitamin Imboost. Ah, seperti dokter saja kau, Ali.
Lepas
kami menunggu kedatangan bus yang ternyata tidak bisa masuk ke halaman Fisip,
perjalanan menuju Kota Yogyakarta sebagai tujuan kedua dimulai pukul 17.00 WIB.
Menembus rintik hujan sore, bus berlari terbirit-birit menuju Kota Gudeg seraya
embun terlukis jelas di kaca. Dinginnya AC sepanjang perjalanan membuat aku
terserang flu sampai bersin berkali-kali ditambah dengan kekhawatiran akan low batt-nya telepon selulerku. Sudah
berapa anak aku tanyai apakah mereka mengantongi power bank dengan daya isi maksimal atau tidak. Jawabannya,
kebanyakan dari mereka tidak mengantongi benda pengisi daya tersebut tepat saat
aku melintas di jalan yang pernah aku curigai sebagai bagian dari rute
pengembaraan ke Dieng dulu. Mulanya aku tidak yakin, tetapi setelah mencapai
persimpangan aku malah merasa yakin betul.
Dua
jam perjalanan ditempuh, kami menepi untuk sejenak di sebuah restoran besar
bernama “Candisari” agar dapat menunaikan ibadah Shalat Maghrib-Isya dijama’
lengkap dengan makan malam. Malam itu, aku ikut shalat berjamaah dengan tiga
orang bapak-bapak pula Audia dan Alfath sebelum aku memesan seporsi Sop Daging
serta segelas Jus Alpukat untuk disantap malam. Aku menelannya bersama para
bujang dalam satu meja dan pukul 08.15 WIB, sisa perjalanan dilanjutkan menuju
Yogya. Aku sendiri justru tak menikmati perjalanan Karanganyar-Yogyakarta
karena tertidur di kursi bus dan baru terbangun saat sudah sampai di halaman
Hotel Satya Graha pada Jalan Veteran, terletak persis di depan Rumah Sakit
Islam Hidayatullah. “Aldi di kamar 224 ya.” Ujar Bu Yanti di pelataran teras
hotel. “Ya.” Balasku singkat sambil mencari-cari teman satu kamar.
Semula,
aku sempat tersasar saat berupaya mencari kamar bersama Ali dan dua orang teman
lain. Tetapi akhirnya aku dapat menemukan kamar tidurku jua.
Kamar
tidurku berada di bagian belakang hotel, sejajar dengan kamar anak-anak lain.
Satu kamar diisi oleh lima sampai enam orang serta di kamar 224, aku
beristirahat dengan Agam, Ariq, Adit NR, Abang dan Ali sambil memakai empat
buah kasur. Begitu mendapat kamar, aku bersegera membersihkan diri lalu tidur
tepat pukul 23.55 WIB.
*****
Kamis, 3 November 2016
Jarum
arloji bertali hitam legam telah menunjukkan waktu pukul 04.00 WIB saat aku
bangun tidur. Bolak-balik aku memasang telinga sambil berjalan keluar-masuk
kamar supaya bisa mendengar suara adzan Subuh berkumandang. Lama tidak
mendengar, tahu-tahu sudah langsung iqamah. Artinya adzan Subuh waktu
Yogyakarta sudah berkumandang kurang dari pukul 04.00 WIB. Lantas aku mengambil
air wudhu dan shalat Subuh dua rakaat secara munfarid8. [5]
Lepas
shalat subuh, aku membuka pintu kamar agar bisa mondar-mandir di selasar teras
kamar demi membangunkan anak-anak di kamar lain untuk melaksanakan shalat Subuh
karena aku diamanahi tugas berupa penanggungjawab kegiatan shalat subuh di
Yogya oleh Pak Solihin sesaat sebelum berangkat. “Bangun! Bangun! Assholatu khairum minan naum9.” Kurang
lebih demikianlah bunyi ucapanku di sepanjang selasar kamar sampai Bu Yanti menelurkan
satu titah padaku, “Di, jangan keras-keras. Ada tamu lain juga.” Alhasil
setelah memperkecil intonasi suara, aku mengetuk pintu dua kamar anak laki-laki
demi menyuruh mereka shalat.
Perlahan
namun pasti matahari mulai menampakkan sinarnya dari ufuk timur dengan
malu-malu. Para bujang dan gadis pun mulai beranjak dari tidur lelapnya dan
segera bersiap-siap untuk mengukur jalanan Yogya selama satu hari penuh. Ketika
sudah merasa siap, aku menyegerakan diri menghampiri restoran hotel untuk
sarapan pagi dengan[6]
para bujang. Di restoran hotel, aku dan teman-teman disuguhi sajian berupa
makanan prasmanan yang terdiri dari nasi putih, ayam goreng, sop dan kerupuk
udang. Walau sajian hotel terbilang sederhana, tetapi rasanya cukup lezat di
permukaan lidah. Bagiku, tentu saja hal ini senada dengan seperti ciri
sederhana khas Presiden Joko Widodo.
Sambil
menanti keberangkatan pukul 08.00 WIB, aku tiba-tiba teringat keinginan tuk
membeli buku notes karena sejak berangkat dari Bandung hari Selasa malam, terus
terang aku sama sekali tak membawa buku sebundelpun. “Eh, kira-kira di sekitar
sini ada Indomaret atau Alfamart enggak?” Tanyaku pada teman-teman sekamar.
“Ada di depan, agak ke sana sedikit.” Jawab mereka. Karena mau pergi dari hotel
seorang diri, maka taka da salahnya aku meminta izin pada Pak Nandang. “Oke
hati-hati ya di. Jangan lupa bawa hp.” Perintah Pak Nandang masih di depan
teras kamar. Maka di bawah panasnya udara pagi itu, aku menyeberangi Jalan
Veteran menuju sebuah minimarket.
Di
minimarket itu, aku harus berputar-putar mengelilingi ruangnya demi mencari
buku catatan. Sekali-dua kali berputar, belum ketemu sampai akhirnya aku
menemukan buku catatan tersusun rapi di rak. Ada beragam jenis buku, namun
tidak semuanya mengundang rasa ketertarikanku. Dan aku langsung sibuk
membanding-bandingkan tiga buah buku bermerek “Fuxing” dalam warna cokelat,
hijau dan kalau tak salah biru. Setelah membandingkan, pada ujungnya aku segera
mencomot buku berwarna cokelat agar dapat dibayarkan di meja kasir. Lalu aku
kembali ke hotel sambil menenteng buku cokelat baru.
Lalu
inilah pengalaman pertamaku mengukur jalanan Kota Yogya bersama kawan satu
angkatan lepas aku mematut dasi seragam kotak-kotak dengan alasan agar terlihat
sama seperti si gadis bunga. Tujuan pertama kami adalah Fakultas Teknik
Universitas Negeri Yogyakarta atau UNY. Kunjungan ke Fakultas Teknik UNY
berbeda dari kunjungan ke Fakultas Teknik Unsoed sebab pagi sampai siang ini
anak-anak jurusan IPS dan IPA akan menghadapi observasi kampus bersama-sama. Di
Fakultas Teknik, kami dikumpulkan dalam sebuah ruang aula besar bersama
panggung lebar di depannya. Salah seorang dosen muda memulai acara yang
diselingi sambutan dari Bapak Wakil Dekan. Dari pria berjas-dasi itulah aku
mendengar bila UNY memiliki sejumlah fakultas selain teknik yakni Bahasa dan
Seni, Ilmu Pendidikan, Olah raga dan Ilmu Sosial-politik.
Sementara
Fakultas Teknik sendiri menyediakan jurusan kuliah seperti Teknik Elektro,
Mekatronika, Mesin, Otomotif, Pendidikan teknik boga-busana dan tata kecantikan
yang kursinya bisa didapatkan melalui jalur seleksi mandiri, SNMPTN dan SBMPTN.
Pula mahasiswa tak perlu khawatir tak bisa kuliah lantaran peluangnya besar di
balik banyaknya beasiswa seperti Bidik misi & Supersemar untuk
dipertimbangan minat-bakat-nilai masing-masing calon mahasiswa serta sebagai
referensi, UNY pula menawarkan jurusan Bahasa, Ekonomi dan Akuntansi. Kini
saatnya untuk mendalami seluk-beluk Fakultas Teknik lebih jauh. Fakultas ini
lebih banyak menerapkan sistem belajar praktik di lapangan ketimbang belajar
teori di kelas. Jurusan Elektronika akan fokus mempelajari perangkat keras (Hardware) sedang Jurusan Informatika
akan fokus mempelajari perangkat lunak.
Perlu
aku ketahui, mayoritas jurusan teknik diprioritaskan untuk mahasiswa asal
jurusan IPA di SMA sedang mahasiswa asal jurusan IPS dapat menimba ilmu di
jurusan Teknik Boga dan Busana setelah dahulu siswa jurusan IPS dapat menimba
ilmu di jurusan teknik, tetapi kebanyakan dari mereka malah gugur atau tidak
lulus tes seleksi ilmu pengetahuan alam sebab ilmu teknik sendiri membutuhkan
kekuatan logika matematika. Kampus juga ikut mendanai program proposal
kewirausahaan dan jurusan Teknik Elektro tidak memperbolehkan mahasiswanya
mengalami buta warna karena akan banyak menyambung kabel beragam warna.
Lalu
apa syarat mengantongi beasiswa? Salah satunya, tentu saja nilai akademik harus
bagus namun program beasiswa sendiri diutamakan bagi mahasiswa dengan kondisi
ekonomi yang kurang mampu/mendukung untuk membayar biaya kuliah secara tunai.
Pelupuk
mataku mencomot kata “PT” dan “T” di depan nama masing-masing jurusan yang
tertera di permukaan layar proyektor. Itu membuatku penasaran dan segera
bertanya saat sesi tanya-jawab tiba. “PT itu artinya adalah pendidikan teknik
terus yang T, itu ilmu teknik murni.” Ujar sang dosen narasumber. Oooo,
sekarang aku mengerti apa perbedaan “PT” dan “T.” Imbasnya, mahasiswa jurusan
pendidikan teknik akan mencantumkan gelajar Sarjana Pendidikan di belakang
namanya saat mahasiswa jurusan teknik murni mencantumkan gelar Sarjana Teknik.
Informasi
tambahan, mahasiswa penyandang cacat fisik tidak dapat diterima karena akan
lebih banyak praktik (70%) sedang teori hanya 30%. Acara ditutup dengan
penyerahan cinderamata oleh perwakilan siswa kepada pihak fakultas dan foto
bersama.
Waktu
siang ini akan dihabiskan di Gedung Fakultas Bahasa dan Seni. Di sepetak aula
milik FBS, kami disambut oleh Bu Nunik sebagai perwakilan pihak FBS bersama dua
orang kolega wanitanya. “Fakultas Bahasa dan Seni memiliki tujuh jurusan.
Dimulai dari jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia, Jerman, Inggris, Perancis,
Jawa serta Pendidikan Bahasa Thailand dan Mandarin. Bahsa Thailand-Mandarin itu
jurusan pilihan. Lalu ada jurusan seni yang dibagi lagi menjadi lima program
studi dimulai dari Seni rupa, tari, kriya, music dan kerajinan.” Terang Bu
Nunik di awal pembuka. “UNY ada kerja sama dengan UPI, transfer kredit atau
pertukaran mahasiswa Bandung dan Yogya biar bisa merasakan seperti apa dan
bagaimana kuliah di Bandung dan Yogya. Setiap tahun ada lima orang mahasiswa
yang dikirim.” Lanjut dosen berkerudung tersebut.
Berdasarkan
hasil pemaparannya, FBS UNY unggul dalam bidang bahasa dan seni tahun 2014.
Jurusan-jurusan di fakultas ini diajarkan oleh 14 orang dosen berstatus guru
besar, 51 orang dosen berstatus dokter serta bila tidak salah ada sekitar 100
orang dosen bergelar master. FBS UNY juga menjalin hubungan kerja sama dengan
sejumlah perguruan tinggi di negara lain seperti Jerman, Belanda, Perancis,
Australia, Malaysia dan Singapura. Kemudian apa saja fasilitas yang disediakan
untuk Mahasiswa FBS UNY? Berikut ini jawabannya:
1. Laboratorium
microteaching/praktik mengajar,
2. Laboratorium
komputer,
3. Laboratorium
bahasa,
4. Studio
fotografi,
5. Studio
gambar,
6. Studio
batik,
7. Studio
kriya, dan
8. Studio
patung.
Lalu
pengenalan seputar profil FBS UNY dilanjutkan dengan membahas topik mengenai
144 SKS bagi para mahasiswa selama delapan semester mengikuti proses
perkuliahan dengan menerapkan “KKNI” sebagai kurikulum perkuliahan sejak tahun
2014 dan meskipun
hanya berstatus sebagai bahasa lokal di tiga daerah, ternyata Pendidikan Bahasa
Jawa merupakan salah satu jurusan favorit di FBS karena banyak peluang bekerja
sebagai Guru Bahasa Jawa dan Bahasa Jawa sendiri ialah muatan lokal wajib di
tiga provinsi, DIY-Jawa Tengah-Jawa Timur. Presensi kehadiran mahasiswa adalah
75% serta setiap mahasiswa mesti mendalami kuliah kriya agar mendapat ilmu
teori umum serta peminatan baru akan ditempuh setelah semester atas. [7]
Tiba
saatnya untuk menjalani sesi tanya jawab, kulihat si gadis bunga bertanya
paling pertama mendahului yang lain. “Buat jurusan DKV10 apa saja
yang akan dipelajari? Lalu keterampilan apa yang dibutuhkan?” Kemudian dijawab
dengan kata, “DKV mempelajari keterampilan khusus design seni pengolah komputer dan termasuk ke dalam program studi
pendidikan seni rupa. Beres si gadis bunga bertanya, kini giliranku untuk
bertanya.
“Assalamu’allaikum.
Nama saya Aldi dari Kelas 12 IPS. Terus terang saya memiliki minat untuk
belajar di Jurusan Pendidikan Bahasa Jerman dan saya ingin bertanya, kenapa
jurusan Bahasa Jerman & Perancis tidak ada di semua universitas? Itu saja,
terima kasih.” Suaraku dilantangkan oleh mikrofon pengeras suara. “Itu
tergantung setiap kampus, apakah ada dosen atau pengajar kompeten di kampus
tersebut atau tidak serta untuk membuka jurusan baru harus didaftarkan ke dikti11.”
Alhamdulillah, jawaban ini memuaskan rasa penasaranku akan sebab tidak adanya
jurusan Bahasa Jerman di setiap kampus.
Saat
isi kurikulum jurusan pendidikan disingkap, aku lantas mencatat setiap butir
isinya dengan bunyi:
1. Saat
lulus mahasiswa sudah siap jadi guru,
2. Ada
mata kuliah psikologi, cara menghadapi siswa, menilai hasil belajar, cara
menyusun silabus dan membuat media pembelajaran.
3. Tugas
akhir bisa diberikan dalam bentuk penelitian tindakan kelas/pengembangan dan
dua bulan praktik mengajar.
Acara
bersua dengan ujungnya pada siang hari. Lepas menyerahkan cinderamata sekaligus
berfoto bersama, kami bersegera menuju Masjid UNY untuk menunaikan ibadah
Shalat jama’ Dzuhur-Ashar serta tak lupa makan siang di kantin kampus tak jauh
dari para mahasiswa. Beres makan, barulah kami melanjutkan perjalanan menuju
Kampus Universitas Pembangunan Nasional Veteran serta di kampus inilah anak IPS
harus kembali berpisah dengan anak IPA karena tujuan kami berbeda. Anak IPS
akan menjalani observasi di Fisip sedang anak IPA akan menjalani observasi di
Fakultas Teknik Industri saat hujan telah menyergap Kota Yogya.
Di
laboratorium Hubungan Internasional Fisip, kami disambut oleh Pak Asep Saefudin
sebagai salah satu wakil dekan dan Pak Harjono, Ketua jurusan Hubungan
Internasional. Tak berbeda jauh dengan Fisip Unsoed dan Unpar tempat ibuku
mengajar sebagai dosen, Fisip UPN menyediakan jurusan HI seperti yang telah ditepikan,
disusul Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi. Menurut cerita Pak Asep, Fisip
UPN sendiri merupakan fakultas termuda bersama dua jurusan yang sudah
terakreditasi A serta HI masih diupayakan berakreditasi A. Jua Fisip adalah
satu-satunya fakultas yang mengantongi tiga jurusan.
Dahulu
UPN mematut status sebagai perguruan tinggi swasta namun sekarang sudah berubah
jadi negeri terbukti dari batu prasasti peresmian akan perubahan status kampus
yang ditandatangani oleh Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono tanggal 6
Oktober 2014, terhitung dua pekan sebelum beliau meletakkan jabatan karena akan
digantikan oleh Presiden Joko Widodo saat itu. Berubahnya status perguruan
tinggi menyebabkan bertambahnya wakil dekan menjadi tiga orang yang bertugas dalam
bidang kemahasiswaan. Aku boleh berbangga diri karena HI yang kini aku incar
selain jurusan Pendidikan Bahasa Jerman berdiri pertama kali tahun 1993 disusul
Administrasi Bisnis (1994) serta Ilmu Komunikasi (1995).
Fasilitas
yang dikantongi oleh fakultas pula tak ketinggalan disampaikan. Di antaranya:
1. Ruang
kelas multimedia,
2. Sistem
akademik CBIS,
3. Perpustakaan,
4. Ruang
seminar,
5. Ruang
publik + fasilitas internet hot spot,
6. Masjid,
7. Poliklinik,
8. Sarana
olah raga.
Salah
satu hal yang paling kuat mendorong semangatku belajar sebagai Mahasiswa HI
peluang kerja di NGO International. Seleksi masuk dan porsi penerimaan tak jauh
berbeda dari perguruan tinggi negeri lainnya. Kadar pelajaran teori di HI
banyak namun Komunikasi setengah-setengah.
Alhamdulillah,
kegiatan observasi di Kampus UPN telah berakhir untuk selanjutnya tangan kami
menjamah isi toko bakpia bersama-sama. Toko Bakpia “Djava” terletak tidak jauh
dari Kampus UPN, tepatnya di Jalan Raya Adisucipto (entah kilometer berapa)
tetapi yang jelas toko itu pula mendekati Bandara Internasional Adisucipto.
Sungguh ruang hati ini tak dapat menghalangi rasa sabar menanti keramaian Jalan
Maliobor tercerabut kedua bola mata. “Buat sekarang kita akan beli oleh-oleh
langsung di pusatnya. Setelah itu, kita langsung ke Malioboro dan akan parkir
di Taman Pintar. Kegiatan mulai dari Maghrib sampai jam setengah terus usahakan
kalian selalu pergi bersama. Tolong lapor ke guru siapa saja ketua kelompok
acaranya.” Untuk yang kesekian kalinya Pak Nandang menyampaikan instruksi
terkait kegiatan kami selama berada di Yogya.
Begitu
roda bus menggilas pelataran halaman toko agar dapat parkir di halaman
belakang, mataku langsung sibuk memelototi beraneka ragam jenis makanan yang
dipajang tepat pada etalase toko. Kujumpai berpuluh-puluh dus bakpia dalam
aneka rasa, Wingko Babat, Brem dan macam-macam keripik. Mellihat ada
ketertarikan terpatri kuat pada diriku, lantas aku cerabut sebagian kecil di
antara mereka sambil aku berkeliling toko. Jumlah barang dirasa sudah cukup,
maka tiada lupa kubayar semuanya agar bisa dilindungi oleh satu dus oleh-oleh.
Aku kemudian kembali lagi ke kabin bus walau harus sabar menanti teman-teman
yang belum selesai berbelanja.
Pada
ujungnya bus tumpangan kami menepi jua di sebidang area parkir di depan gerbang
masuk Taman Pintar. Di titik inilah para bujang dan gadis harus berpisah sesuai
tradisi khas angkatan kami. Tetapi perlu diungkit, walau berpencar tak semua
bujang dan gadis menavigasikan diri pada titik tujuan yang sama.
Manusia-manusia bujang saja tak seluruhnya meniti langkah ke arah Jalan
Malioboro melalui Persimpangan Benteng Vredeburg, tempat incaran utamaku untuk
larik hujan yang tak sampai di sana. “Aldi, mau ikut siapa?” Tanya Angga ketika
baru turun dari bus. “Bebas, ikut saja.” Hari Kamis malam itu, aku meniti langkah
menuju Persimpangan Vredeburg bersama Akbar, Sulthan, Adhit Perdana, Ozman,
Angga, Fariz, Rifqi (Bowo), Kiki, Adit NR, Audia, Ragil dan Miko. Sedang Alfath
dan Audi datangmenyusul kala Agam, Ariq dan Abang entah melangkah kemana. Kisah
serupa turut digores Ali pada secarik cerita di kota pelajar.
Kala
kami masih menyapa keramaian Persimpangan Benteng Vredeburg, aku berupaya
mengorek sedikit celah untuk memotret suasana malam di sana tentang hilir-mudik
mobil-motor-becak-delman pula senda gurau para insan beragam usia di sana.
Alhamdulillah, upayaku mengabadikan keramaian malam Persimpangan Benteng
Vredeburg berhasil ditunaikan. Lepas menyapa keramaian Persimpangan Vredeburg,
telapak kaki kami seret semakin dalam pada suasana Jalan Malioboro dan Istana
Kepresidenan Gedung Agung turut aku abadikan dalam kedipan lensa kamera. “Ini
rumah masa depan saya.” Tuturku bergurau pada para bujang. “Amin.” Balas mereka
singkat.
Cukup
satu hari pertama di Yogya, kurasa celah impian di atas lentera jiwaku mulai
terkembang. Pertama aku berhasil mencomot informasi mengenai peluangku bekerja
sebagai Guru Bahasa Jerman pula aku menampak Istana Gedung Agung tempatku
memimpin Tanah Air Indonesia nanti.
Perjalanan
menyusuri sepanjang sisi Malioboro aku teruskan sambil menembus padatnya lapak
pedagang kaki lima. Tujuan utama kami menyapa Malioboro tentu adalah menyantap
makan malam. Namun apa daya, kami mesti tenggelam pada kebingungan dalam memilih
tempat makan yang cocok. Bolak-balik kami menyusuri sisi Jalan Malioboro hingga
Akbar kulihat tengah sibuk menyimak suara seseorang dari balik telepon genggam.
Kami lakukan itu sampai seorang pemuda 18 tahun ikut bergabung bersama kami.
Dika namanya. Bujang ini mematut perawakan tinggi di bawah rambut agak tebal
hampir sebelas-dua belas dengan rupa Ariq. “Dika,” Tuturnya singkat
memperkenalkan diri. “Aldi.” Aku turut membalasnya singkat.
Dan
bagai orang sudah lama kenal, aku langsung larut pada obrolan bersama Dika sang
Mahasiswa UGM, kalau tak salah dia menyelami lautan ilmu Teknologi Pangan atau
barangkali pertanian. Kuceritakan padanya tentang rangkaian perjalanan kami
dari Bandung ke Yogya melalui Purwokerto kemarin agar selanjutnya pembicaraan kami
beralih pada dunia perkuliahan. Mahasiswa jelas diperbolehkan untuk berambut
gondrong saat berkuliah. Serta tak ketinggalan aku menambahkan, saat sudah
berkuliah kita jelas dapat membawa kendaraan bermotor pula hanya cukup mematut
nuansa pakaian bebas. Di Purwokerto dan Yogyakarta, aku menemukan indikasi
bilamana masa kuliah takkan kalah bahagia bin indah dengan masa SMA atau justru
akan melebihi masa putih abu-abu.
Lalu
Audi dan Alfath menampakkan batang hidungnya hanya beberapa meter dari gerbang
masuk Kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, tempat Yang Mulia Sri Sultan
Hamengkubuwono X mengontrol roda pemerintahan selain Keraton. Hampir setengah
garis Jalan Malioboro kami susuri dan pada ujungnya, kami memutuskan singgah di
atas sebidang lapak penjual Nasi Gudeg. Saking banyaknya anak-anak bujang,
sebagian dari kami terpaksa mengambil satu meja lain di belakang. Pada lapak
inilah aku memesan seporsi Nasi Gudeg Telur ditemani segelas Es Teh manis.
Untuk
pertama kalinya, aku menyantap Gudeg tepat di daerah asalnya.
“Mas,
di sini ada musholla enggak?” Tanyaku pada salah seorang petugas restoran
pemilik lapak lehesan di dekat dapur.“Enggak ada, paling ke kantor gubernur
terus belok lagi ke kiri.” Mengingat aku tidak hafal seluk beluk area kantor
gubernur, maka niat menunaikan ibadah Shalat Maghrib dijama’ Isya aku urungkan
sesuai titah Sulthan, salah seorang kawan bujangku tadi. Lalu aku kembali ke
kerumunan anak-anak bujang tempatku menelan gudeg sambil diiringi nyanyian
seorang pengamen separuh baya.
Telapak
kaki ini masih belum sudi beranjak dari suasana Jalan Malioboro kala sekelompok
musisi jalanan melancarkan aksinya di trotoar menarik perhatian banyak manusia.
Bukan musisi jalanan seperti grup musik yang aku maksud di sini, melainkan
adalah seorang penari jalanan yang meliuk-liukkan tubuh ligatnya sambil
diiringi tabuhan alat musik tradisional. Terus terang bila ditampak, gaya tubuh
si penari memang agak mirip seperti seorang waria merangkap gaya bicaranya jua,
barangkali. Seorang gadis sempat mengguratkan malu-malu kala diajak menari
bersama si pria. Sulthan pun ikut menari dengan gengsi di pinggir Jalan
Malioboro.
Tujuan
terakhir kami adalah Toko souvenir Hamzah
masih di tepi Jalan Malioboro. Lantai bawah toko ini memuat bersetel-setel baju
batik bagi pria maupun wanita sementara lantai dua memuat banyak benda pajangan
rumah laksana lukisan, mobil mainan, kereta api mainan dan pesawat tempur
mainan yang terbuat dari kayu. Perhiasan palung raga pun turut dipajang di
tempat ini mulai dari gelang dan kalung beraneka warna. Ketika membaur dalam
keramaian toko ini, aku sempat bingung mau membeli oleh-oleh apa lagi. Tetapi
di antara meja kasir dan tangga penghubung lantai dua, aku melihat ada banyak
kartu pos dipampang. Gambarnya sendiri bervariasi, mulai dari aktivitas
membatik kain oleh para kaum perempuan Jawa, potret panorama Persimpangan
Benteng Vredeburg tahun 1960 sampai Persimpangan Tugu Putih yang entah
merupakan potret di tahun berapa.
Inilah
kali terakhirnya aku menjumpai halaman Istana Gedung Agung yang masih sempat
aku abadikan dalam lensa kamera. Persimpangan Benteng Vredeburg pun turut
demikian sebelum aku memimpin langkah para bujang kembali ke bus untuk
selanjutnya pulang ke Hotel Satya Graha yang ternyata terletak tak jauh dari
Jalan Malioboro.
Lalu,
sesampainya di kamar 224, aku menyegerakan diri mengambil air wudhu agar bisa
menunaikan ibadah shalat sendiri pula mandi. Lepas ku berganti baju, aku
menarik waktu sesaat menjelang tengah malam sambil mengisi buku catatan baruku
tadi dengan tulisan entah sajak, puisi atau cerpen. Namun yang jelas aku
menulis tentang hujan tak sampai di Persimpangan Benteng Vredeburg seperti apa
bunyi perintah naluriku semenjak masih berada di Bandung dan baru setengah
berjalan, Ali duduk di sebelahku untuk menelurkan sebuah usulan. “Di, ane12 usul ente13 bikin cerita yang ada
pakai tokoh ane. Bikin cerita soal
kopi, nanti sampulnya bolehlah kita bayar ke si gadis bunga.” Aku hanya
menjawab “Iya,” Lalu dia melanjutkan perkataannya lagi, “Tulisan ente sudah ada berapa?”
Oh, rupanaya kini ia menanyakan jumlah
cerita dalam akun blog-ku. “Ada 95 tulisan, bah.” “Nah, ane usul coba ente kumpulkan
semua tulisan di blog jadi buku, terus ane
yakin ente bisa jadi penulis muda
sukses.” Wow, ternyata ide Ali ini sungguh sangat cemerlang. “Oke, terima kasih
bah.” Tutur aku. “Sama-sama di.”
Masih
setengah berjalan dalam menulis cerita, aku malah terserang flu disebabkan oleh
dinginnya tiupan AC kamar. Melihatku terus-terusan bersin, Ali berbaik hati
menawarkan minuman “Tolak angin” yang aku terima tanpa berpikir lebih jauh
lagi. Setelahnya, aku tertidur pulas tepat di malam terakhirku berkunjung ke
Kota Yogya.
[8]*****
Jumat, 4 November 2016.
Lepas
menunaikan dua rakaat Shalat Subuh, halaman buku catatan aku kembangkan karena
ingin melanjutkan tulisanku yang semalam sempat tertunda. Pulpen aku comot dari
permukaan meja, dan mulailah aku melanjutkan tulisanku ini:
Hujan tak sampai di Persimpangan Benteng Vredeburg
Tentang cinta, pertemanan, persahabatan dan kebersamaan.
Jelas sudah,
relung hatiku berharap rintik air hujan luruh di persimpangan Benteng
Vredeburg, Yogyakarta tepat saat aku menyelami makna perjumaan secara lebih
jauh dengannya. Aku ingin menampak luruhnya hujan bersama hadirnya seorang
gadis berparas cantik yang selalu mendorong semangat untuk satu-satunya palung
jiwaku ini. Ingin kusebut namanya, namun aku malu ‘tuk menyebutnya meski kutahu
siapa dia lebih dari dua belan belakangan ini.
Tiada Stevie,
sosok gadis remaja pula anak didik kesayanganku dalam bunga mimpi, jua tiada
sosok gadis pengagum kupluk bau-abu pda cerita. Lalu, siapa sosok dara cantik
yang hadir tak jauh dariku? Jawbnya, cukuplah Si gadis bunga. Kala ini dia
dapat turut mengembara ke Yogyakarta bersamaku dalam suatu kisah indah.
Alkisah, ini
hanya Sembilan bulan terpaut jarak, memang. Awal tahun 2016 aku lewati untuk
menunaikan perjalanan tentang rangkaian cerita nun jauh di Kalimantan sana,
tanah tempat seribu sungai membentang sangat panjang. Di tempat itu, pastlah
diriku harus rela merangkul sunyi lantaran tak semua bujang & gadis bisa
menikmati elegi perjalanan jauh tersebut mencakup si gadis bunga. Jujur
kutepikan, aku baru tahu alasan mengapa ia tak ikut ke Kalimantan belum lama
ini. Sang ibunda rupaya khawatir akan infrastruktur di sana. Dan itulah cerita
tentang perjalanan tersendu bersalut sunyi sepanjang masa remajaku.
Hari ini, seperti apa yang sudah
kutepikan, Si gadis bunga kembali hadir menemani palung jiwaku menyusuri setiap
sudut Kota Yogyakarta. Tentulah ini sebuah kisah indah. Cinta itu akan selalu
hadir dalam bentuk rupa yang beragam.
*****
Sebelas-dua belas dengan kasha di atas,
pertemanan-persahabatan juga aku rasakan dalam sebuah perjalanan. Dataran
Tinggi Dieng, kisah tentang pengembaraan termanis ini aku tampak sepenuh hati
dalam perjalanan menuju Gunung Padang dua tahun silam. Itulah secarik masa di
mana aku mengenali kawan0kawanku lebih dalam bersama Si gadis bunga. Lantas apa
yang menyebabkan aku menyukainya? Tentu saja rentang waktu yang berkisar hanya
dua hari selepas pelantikan Presiden Joko Widodo.
*****
Coba kembali lagi pada bait-bait pujangga
cinta. Oh Tuhan, mengapa engkau sudi menjerembapkan diriku pada lukisan-lukisan
cinta-Mu? Lalu, mengapa aku sudi menulis berbait-bait kata cinta? Pertanyaan
itu terngiang-ngiang di benakku menjelang waktu fajar ini beranjak. Aku mencoba
menjumpai jawaban terbaik. Tiada cerita terindah yang aku temui.
Tetapi pada ujungnya, aku selalu ingin
kembali pada elegi “hujan tak sampai di persimpangan Benteng Vredeburg.”
Bayang-bayang angan ini jelas menyulut harapan tentang perjumpaan dengan Si
gadis cantik bersama kehadiran akan mimpi-mimpi. Tetapi, hingga detik ini aku
tak kunjung menampak guratan garis wajahnya di persimpangan Benteng Vredeburg.
Hujan pun telah luruh sebelumnya, hanya di persimpangan Benteng Vredeburg aku
sudah tak menjumpainya. Cukup persahabatan, pertemanan dan kebersamaan yang
nampak demi mengiri langkahku menyusuri sepanjang sisi Jalan Malioboro dengan
bermula dari Persimpangan Vredeburg untuk bermuara di erlung pintu Stasiun Tugu
dalan hujan yang tak sampai di Persimpangan Benteng Vredeburg…
Yogyakarta, 4 November 2016
Pukul 04.55 WIB.
-Herr Aldi Van Yogya-
*****
Pulpenku
telah berhenti menulis tatkala bait-bait guratan pena sang pujangga telah
menemukan ujungnya. Dengan malu-malu, dari relung kaca jendela kamar aku
menangkap bayangan sinar Matahari sedang berusaha menampakkan semburat
cahayanya dengan malu-malu meski waktu saat ini belum juga mencapai Pukul 05.00
WIB. Seperti biasanya aku sudah membersihkan diri paling awal lebih dari
kawan-kawan lain dan oleh karenanya, aku pergi beranjak meninggalkan kamar agar
dapat menikmati sarapan santap pagi di restoran hotel. Amboi, sarapan ini masih
nikmat untuk disantap di tengah alunan nafas pagi Yogya, sahabat.
Dan
tibalah saat terakhir kami mengakrabkan diri dengan hotel: Check out. Ya, check out lantaran
hari ini tak lain tak bukan merupakan hari terakhir kami menikmati suasana
Yogya seperti hasil penggambaran kota ini dalam lagu milik band “KLa Project”
berjudul “Yogyakarta” tahun 1990. Lepas menikmati santap pagi, koper biru
donker pemberian tempat ibuku bekerja di Fisip Unpar aku seret melibas
permukaan keramik hotel agar dapat ditelan perut bus. Di tengah udara panas
yang setia membekap aku pula kawan-kawan, beragam bentuk pemandangan aku tampak
dari balik kaca jendela bus besar ini. Inilah hari terakhirku menjumpai Kota
Yogya walau masih harus menyambangi Kampus UGM sebelum kembali ke Bandung.
Boleh
kukatakan, suasana entah di sepanjang perjalanan menuju Kampus UGM sangat sunyi
sebab para gadis jua para bujang justru kembali terlelap setelah matahari
terbit. Sedangkan aku sendiri lebih memilih untuk tidak terlelap demi menikmati
perjalanan ke Kampus UGM. Cukup setengah jam berjibaku mengukur jalanan, aku
sudah bisa mencecah area halaman UGM tepatnya di depan Grha Saba Pramana,
sebuah gedung balai pertemuan besar tak jauh dari gerbang masuk sekaligus
tempat puluhan anak-anak muda dari sekolah lain telah menanti.
Harus
kututurkan, rangkaian acara unprep di UGM ini mengalami perbedaan dengan unprep
di tiga perguruan tinggi sebelumnya. Kali ini kami tak mengisi kegiatan melalui
cara bersua pada gedung-gedung fakultas tertentu, melainkan kami mengikuti
acara pemaparan profil UGM bersama seluruh siswa-siswi dari Sekolah Indonesia
Kuala Lumpur dan MAN 1 Sukabumi. Sambutan dari perwakilan sekolah pun mengawali
acara ini selama dua jam ke depan.
Berdasarkan
ucapan bapak wakil rektor, tahun ini UGM menelurkan sebutir kebijakan baru
berupa pelarangan mahasiswa menuntun kendaraan bermotor ke area kampus demi
mewujudkan kampus hijau, segar, asri bin bebas polusi. UGM sendiri mengantongi
50 unit kegiatan mahasiswa di dalam lahan seluas 200 hektar yang terbagi dua.
Kampus barat sebagai sarang tempat mahasiswa-mahasiswi jurusan IPA menimba ilmu
tatkala kampus timur memasang status sebagai tempat mahasiswa-mahasiswi jurusan
IPS menimba ilmu pula. Ruas jemari tanganku masih sempat mencatata jurusan
Geografi yang giat mendalami tentang makna geografi pula ilmu lingkungan,
kartografi-penginderaan jauh dan terakhir pembangunan wilayah. Kurang lebih
sebelas-dua belas dengan materi yang diajarkan Pak Iskandar, guru Georgafiku di
kelas.
Mahasiswa
wajib menjalani diskusi sebagai model pembelajaran. Lantas bagaimana dengan
seleksi jalur masuk? Sama dengan perguruan tinggi lain. Program jenjang dibagi
menjadi tiga, mulai dari diploma, kedua sarjana dan ketiga pasca sarjana.
Khusus bagi sarjana sendiri, ada 40% untuk jalur SNMPTN, 30% SBMPTN serta 30%
jalur mandiri.
Satu
lagi hasil pemaparan yang dapatku bagikan pada kalian, menurut filosofi
perjalanan sejarahnya Universitas Gajah Mada merupakan kampus perjuangan yang
dirintis tahun 1946 sebagai wujud realisasi para tokoh muda ketika Yogya dan
seluruh tanah air masih dikepung situasi kemerdekaan. Bahkan UGM sendiri pernah
tutup di tengah masa pertempuran sebab para dosen dan mahasiswanya turut
mengambil bagian dalam peperangan melawan penjajah.
Acara
di Grha Saba Pramana bertemu epilognya, kini keberadaan kami bergeser menuju
gedung Fakultas Ilmu Sosial Politik alias Fisipol UGM di bawah bimbingan Kak
Karin, salah seorang kakak kelas kami yang sudah dua tahun menjamah lautan ilmu
di perguruan tinggi pentolan utama Yogya ini. Di Fisipol kami tak datang
menyimak pemaparan seperti di Unsoed-UNY-UPN, melainkan kami justru menghadiri
pameran tentang jurusan-jurusan yang ditawarkan Fisipol pada calon mahasiswa
dan di sinilah kami justru diberi kesempatan bermain game oleh kakak mahasiswa panitia pameran.
Lalu,
aku diberi selembar kartu biru bertuliskan tabel yang harus disesaki oleh
stiker dari masing-masing stand jurusan
lepas menjawab pertanyaan untuk ditukarkan dengan hadiah pemberian panitia
walau tak harus penuh jua. Mulanya, aku ingin mencoba memeragakan gaya palung
tubuh menurut judul film sebagai senjata utama tebakan bagi seseorang. Tetapi,
sayang seribu sayang kesempatan itu telah kepalang lenyap disambar Dinda dan
Kiki. Maka oleh karenanyalah aku justru harus mencari stand lain. Dan dapatlah aku stand GEO, lembaga internasional
Fisipol UGM di bawah penjagaan seorang wanita berkerudung. Ia memberiku pertanyaan
terkait di mana letak Sungai Yangtze. Kujawab Tiongkok adalah pemilik lekukan
Sungai Yangtze. Jawabanku benar, maka aku mendapatkan satu buku direktori beasiswa
sarjana & pertukaran mahasiswa.
Pada
stand kedua di bawah penjagaan para
mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan aku tak seorang diri melainkan aku mencoba
memecah tantangan bersama sebagian kawan-kawan kelas IPS mulai dari Si gadis
bunga, Akbar, Ali, Adhit, Saras dan Rani. Tantangannya, aku harus bisa menebak
siapa nama tokoh ternama tanah air jua dunia berdasarkan deskripsinya. Beberapa
sudah diendus kawan-kawanku, dan aku berhasil menebak nama Presiden RI ke-3 BJ.
Habibie, mendiang penulis novel Pramoedya Ananta Toer serta mendiang Perdana
Menteri Inggris 1979-1990 Margaret Thatcer. Hadiahnya, aku mengantongi satu
gelas putih khas UGM.
Usai
menebak nama para tokoh, kujamah stand Administrasi
publik serta satu lagi stand yang aku
lupa itu jurusan apa. Tetapi yang jelas, di stand
Administrasi publik kusempatkan diri menghantam hampir sepuluh botol
plastik warna-warni memakai bola boling. Namun upayaku justru gagal dan aku
memilih permainan mencari perbedaan terselubung pada gambar. Syukur, aku
berhasil mendeteksi sembilan perbedaan serta sebagai hadiahnya, aku menerima
secarik stiker Administrasi Publik UGM. Di stand
terakhir, sang mahasiswa penjaga bertanya padaku, “Mau pilih nomor berapa?
Jangan lihat pertanyaannya ya.” Aku menyambar cepat, “Nomor 22.” “Oke, Nomor
22. Kamu harus cari tahu kemana saja gimanapun caranya, siapa nama dekan
Fisipol UGM.”
Diminta
mendeteksi nama dekan Fisipol UGM, aku mesti melancarkan serangan nepotisme
pada Kak Karin. Walau sempat menertawakan serangan nepotismeku ini, tetapi
gadis berkulit putih serta tubuh kurus tinggi ini tetap mewartakan Bapak Agus
Erwan Purwanto sebagai jawaban utama untukku. Lalu aku segera menyerahkan
jawaban itu dan stikerku bertambah satu. Aku pula tak malu-malu menerima
tawaran kerupuk dari sekotak toples baja di atas meja stand. Selanjutnya aku ajak badanku berkeliling area pameran tanpa
sempat menemukan stand permainan yang
cocok. Maka, di penghujung misi pencarian aku langsung menyerahkan di tempat
penukaran. Tanganku menerima dua buah gantungan kunci berbentuk pin.
Alhamdulillah,
makanan santap siang berupa Mie Kuah Telur serta Jus Alpukat terasa
mengenyangkan diri cukup hanya sesaat menjelang waktu shalat Jumat. Kulihat tak
jauh dari kantin, shalat Jumat justru dilaksanakan di sebuah ruangan yang lebih
mirip dengan Mushola berkapasitas sedang. Dosen dan mahasiswa telah mulai
menyesaki mushola lalu membubarkan diri setelah selesai, tepat ketika rintik
hujan datang barangkali sebagai salam perpisahan bagiku sesaat menjelang
kepulangan ke Bandung.
Usai
mesin bus berderum mengucap selamat tinggal pada Kampus UGM tengah siang ini,
sorot pelupuk mataku tak lepas menghujam pemandangan Kota Yogya di luar yang
perlahan namun pasti mulai silih berganti dengan sawah, pegunungan, rel kereta
api, rumah penduduk dan hutan. Seluruh lukisan muka bumi itu silih berganti
selama bus berlari terbirit-birit membelah jalanan. Ada apa denganku? Ada apa
gerangan? Apa yang terjadi? Mungkin hanya sebatas perenungan lebih dalam akan
kembali hadirnya makna indah tentang setangkup cinta, persahabatan, pertemanan
dan kebersamaan. Aku mengatakan itu sangat benar. Yogya telah kembali
mempermanis relung kehidupanku di penghujung tahun ini usai dahulu mengembara
dalam sunyi bersalut sendu ke Kalimantan.
Hari
berganti warna, aku merelakan siang memudar berganti dengan kepekatan malam
yang membekap jiwa mencakup waktu saat kami menepikan diri sesaat di daerah
Cimanggu. Aku boleh terjaga belakangan selama ibadah shalat dua waktu takkan
pernah tertinggal dilanjut dengan makan malam pada rentang waktu satu jam.
Lalu, kepekatan malam kembali aku tembus walau hanya sebagian kecil cerita
perjalanan yang bisa kusimak lantaran aku harus terbuai pada rasa kantuk selama
hampir sepanjang perjalanan tergariskan. Akhir cerita, aku katakan kelopak
mataku baru tersingkap kembali saat sudah akan sampai di sekolah serta kisah
ini dengan pasti menemukan epilognya tepat pukul 01.55 WIB.
Terima
kasih untuk kisah indah ini, Purwokerto, Yogyakarta dan kawan-kawanku…
*****
Bandara Internasional Kuala Lumpur,
keesokan harinya.
Hiruk-pikuk
antara manusia dengan pesawat yang selalu datang silih-berganti tak lantas
membungkam pikiranku untuk selalu mencari-cari pintu masuk menuju ruang kabin
Pesawat Malaysia Airlines Airbus A380. Jadwal sudah mewartakan aku akan
berangkat ke London menggunakan pesawat bernomor penerbangan MH 004 sesuai niat
yang telah terhunus. Tentulah aku merasa sangat senang menanggapi ini. Namun
bagaimanapun juga, ulu hatinku tetap menampak dilema yang tiada tampak bagai
dilema sekaligus tawa yang tiada tampak bagai tawa pula. Barangkali aku masih
ingin dipeluk oleh kehangatan empat rasa dari udara Yogya. Aku terus memikirkan
itu sampai lamunanku harus buyar tatkala seorang gadis 13 tahun berteriak
memanggil namaku sambil ia memekik keras.
“Herr Aldi!!! Wie geht es ihnen heute? Sie
haben schön kommen hier jetzt!!!15” Mulanya aku tidak percaya
dengan kehadiran Stevie sang murid kesayanganku sesaat menjelang
keberangkatanku ke London hari ini. Aku memang tak langsung membalas teriakan
Stevie, tetapi aku justru menyuruh Stevie mendekat agar bisa menatapku dengan
jelas. “Hallo Stevie. Alhamdulillah es
geht mir gut, danke schön. Ja, habe ich schön kommen hier.16” Cerita
lama itu terulang lagi di Bandara Kuala Lumpur. Ketika kutanya bersama siapa
Stevie pergi melancong, ia menjawab pergi bersama kedua kakak, satu adik dan
keluarga temannya yang berasal dari Jerman. Sedang kedua orang tua Stevie
sendiri telah pergi ke London lebih dulu. Oh Ya Allah, pantaslah Stevie
terlihat sangat bahagia hari ini. [9]
Cepat-cepat,
tiga dara cantik berlari menuju aku dari arah berlawanan. Tangan salah satu
tiga dara itu mendorong troli koper sangat cepat saking bersemangatnya.
Denganku, mereka tampak seperti telah puluhan tahun berpisah dan kembali
bertemu di negeri orang. Merekalah Si gadis bunga, Gloria dan Maureen, tiga
dara cantik penyemangat palung jiwaku selama ini. Tak kusangka mereka bertiga akan ikut
menemaniku mengarungi sepertiga langit bumi menuju London hari ini. Pasti
mereka ingin mendengar ceritaku menempuh perjalanan jauh ke Yogyakarta. Dan hal
itu telah terbukti benar. Gloria dan Maureen malu-malu mengakui isi hati mereka
kepadaku di tengah keramaian Bandara Kuala Lumpur. Pastilah mereka ingin hadir
di tengah deru Kota Yogyakarta. Tak banyak kata yang ingin kutepikan kepada
mereka sekarang kecuali senda gurau yang selalu menemani hati nan hampa hingga
itu membuat kami hampir lupa arah navigasi waktu dan ketika tiba saatnya
berangkat, tak ragu aku ajak mereka memasuki badan pesawat.
Empat
mesin pesawat Airbus A380-842 tungganganku ini mendengkur sangat keras sejak
mengambil ancang-ancang di ujung landasan jua telah mengangkasa beberapa ratus
meter di atas permukaan tanah Negeri Jiran. Mataku tak henti-hentinya menghujam
lukisan langit di luar walau ingatanku melayang jauh pada setangkup kenangan
yang akan selalu membekas di relung hati & pikiranku selamanya: Agar selalu
ingin kembali pada Hujan tak sampai di Persimpangan Benteng Vredeburg, suatu
kisah tentang elegi perjalanan antara manusia-manusia bujang dan gadis bersama musim
hujan. Aku selalu ingin kembali mengembara sambil melintasi Bandung,
Purwokerto, Dieng dan Yogyakarta, empat tanah tempatku merangkul empat rasa
kenangan jua kisah tentang empat dara cantik tepat di sampingku dahulu, hari
ini, sekarang dan sampai selama-lamanya.
“Ihr seid habt schön als meine gute
freundin jetzt. Ihr seid sehr hübsch und sehr net. Danke schön für es.17”
Paras cantik empat gadis ini cukuplah mengulum senyum manis
begitu aku melafalkan ucapan terima kasih bersalut pujian akan kecantikan paras
mereka pada kehadiran mereka sebagai teman terbaikku selain para manusia bujang
selama ini.
Bandung,
8 November 2016
Pukul
22.15 WIB
- Herr Aldi Van Yogya-
[10]Agar selalu ingin kembali
a.k.a Hujan tak sampai di Persimpangan Benteng Vredeburg adalah sebuah cerita
tentang perjalanan bersalut cinta, pertemanan, persahabatan dan kebersamaan di
Kota Purwokerto & Yogyakarta.
1Kependekan
dari kata university preparation, sebuah
kegiatan semacam fieldtrip/study tour khusus
Siswa-siswi Kelas 12 dengan rangkaian acara berupa observasi ke sejumlah
perguruan tinggi negeri/swasta di dalam dan/atau luar kota.
2 Berangkat ke Yogya, bisa Bahasa
Jawa!! (Bahasa Jawa),
3 Kependekan dari surat elektronik, e-mail dalam Bahasa Indonesia.
5 Ini dari SMA swasta di Bandung bu,
sekarang ada kegiatan observasi ke kampus-kampus Jawa Tengah dan Yogya (Bahasa
Jawa),
6 Lha bisa Bahasa Jawa juga (Bahasa
Jawa),
7 Iya bu, ibuku Orang Jawa juga
(Bahasa Jawa).
13 Ente: dari kata “Antum,” “Kamu”
dalam Bahasa Arab.
16 Halo Stevie. Alhamdulillah kabarku
baik, terima kasih. Ya, aku sudah datang ke sini. (Bahasa Jerman).
Komentar
Posting Komentar