Dara dua kepala negara

 
Sumber gambar: www.lanlinglaurel.com

1. 


Penghujung Maret menutup larik cerita
Berduyun-duyun menanti senyum April
Tiga puluh hari penuh cerita
Dalam pikir yang pasti tertulis
Tak terlupa perjalanan waktu.

Istana Bogor, berkemilau memukau hati
Diteduhi rerimbunan pohon kala bercericitnya burung-burung
Dimiringkannya ranting penuh dedaunan
Menembus sinar matahari
Malu-malu menyapa fajar pada pagu istana.

Pria kurus nan sederhana, hampir merenta wajah tetapi
Menggulung lengan kemeja putih sedikit di bawah sikut
Ratapan matanya seakan membelah angin
Terawang dia bak mendarat di petakan kolam
Kala ikan, kecebong hingga katak ataulah kodok
Menabuh riak air bersama-sama

Dua pelayan istana tersaruk-saruk mengayuh tapak
Hadirkan bunyi ketipak-ketipuk lantai istana
Fraksi sepersekian detik baru mereka terjaga
Lengan menggenggam lembar kertas nan tipis
Wajib hukumnya di baca tuan kepala negara

2. 

"Engkau melangkah tersaruk-saruk. Adakah yang membuntuti?"
Presiden Joko Widodo bicara dalam ramahnya tanya.
"Tidak ada. Hanya ingin kami mengantar surat teruntuk baginda. 
Ini terkirim langsung dari Perancis, duhai baginda."
Ah, tiada perlu engkau memanggilku baginda, duhai anak muda. 
Rakyat jelaslah baginda rajaku. Presiden Joko Widodo membatin di hati. 

Sesaat mata Jokowi tercenung tenang, seakan kalah dari buai sinar mentari pagi.
Tuan Presiden Perancis, negara di tempat menjulang tinggi Menara Eiffel dengan kecantikan yang membelai milyaran mata manusia di beragam sudut bumi,
Melayangkan surat bagi Jokowi yang bukan siapa-siapa.
Hanya dirinya sesosok pemahat kayu sederhana.

Jokowi lantas menyingkap lipatan surat.
Cita-cita tersirat pada harap 
Agar Presiden Perancis meniti kunjungan pada bumi pertiwi
Lepaskan rindu pada keindahan alam jua kecantikan ranah
Tiga dasawarsa lamanya, tiada tuan penguasa Eiffel mendatangi

Aku menantimu, Tuan François Hollande. Jokowi mengucap batin tak berkawan. 

3. 

Ingatan lama seakan kembali menemani. Ingatan tentang suatu tuan Perancis.
Bernard, cukup sebutkan namanya.
Kebingungan hebat melanda diri Tuan Bernard. Joko Widodo, Joko Widodo, Joko Widodo.
Joko, Joko dan kembali Joko bagi kesekian kalinya. 
Pada Tuan Joko yang mana harus aku menyampaikan uang lepas ku membeli hasil pahatan kayunya?
Berpikir sejenak mencari jalan keluar akan belit-belit akar prahara nama. 
"Jokowi," kurasa nama yang tepat bagi Tuan Joko Widodo. Tuan Bernard membatin sendiri,
Sehingga tercipta nama "Jokowi." 

Mengenang asal-mula namanya, tertegun wajah Jokowi
Perancis terikat sudah akan kaitan sejarah dengan Indonesia
Bak memekar seberkas harap pada Negeri Perancis
Tentang suatu harap, cita-cita yang terangkum dalam mimpi.

4. 

Hiruk pikuk ibukota, bak tidak dilirik Jokowi kendati menari-nari di pelupuk mata
Jas hitam legam nan rapi, kemeja putih bersih ditimpa dasi merah perkasa, menemani Jokowi.
Dinding istana larut sudah dalam hiruk pikuknya jua. Tuan-tuan dan nyonya-nyonya menteri hadir bersolek rapi, mematut penampilan terbaik bagi Presiden François Hollande.

Dan kesekian kalinya Jokowi tertegun. Bayang-bayang sesosok anak dara,
Belia, Muda, ayu parasnya membekap celah pikiran Jokowi.
Mengalir deras darah Perancis di tubuhnya. Tetapi Jokowi sukar mengingat namanya. Berpikir, berpikir jua berpikir dirinya tentang nama gadis itu. Hingga menyerah dirinya, berpasrah cepat pabila ia khilaf akan nama gadis itu. Aku pernah menjumpainya di Istana, lebih dari separuh tahun silam. Batin Jokowi.

"Tak sabar Indonesia menanti kehadiranmu, Tuan François Hollande. Silahkan engkau nikmati Istana Merdeka." Halus walau medok suara Jokowi mengalun lembut ke telinga Presiden Hollande ditiup semilir angin istana.
"Ramahnya bumi pertiwi menarik hati biar berkunjung selalu ke sini. Terima kasih teruntuk penyambutan ramah, Tuan Jokowi."
Mendetak sepasang telapak mereka membelah lorong istana.
Memecah senyap yang menemani sepanjang hari.
Bermula perbincangan hangat di beranda belakang, denting gelas teh manis terhidang rapi.

Tawa, canda, gurauan senda-lah pengiring bincang siang Jokowi-Hollande.
Mengembang cita-cita Hollande menebar benih-benih uang
Dipasal betapa suburnya ranah bumi pertiwi. Itu berlanjut lagi kemudian,
"Mari wartakan ini pada seluruh rakyat bumi pertiwi yang menanti sudah. Dan mesti dikau turut menyantap sajian bumi pertiwi yang terhidang lezat di meja."

Hari yang indah terlukis sedemikian jelas di mata Jokowi & Hollande.

5. 

"Gloria, baru teringat aku nama dara cantik yang terpikir tadi.
Dua darah mengalir amat deras di tubuhnya, menandakan pabila aku
dan Tuan Hollande ialah dua kepala negaranya." Jokowi menggaruk dasi merah.
"Tuan Jokowi, nyamankah engkau menyebut nama dara cantik yang dikau maksud?"
"Nyaman. Ada apa?"

"Peringatan Kemerdekaan berlalu sudah. Dan entah bagaimana kelanjutan
prahara dua darah bagi Gloria. Di masa itu sorotan tajam melesat kuat
mengarah pada dirinya terlebih Gloria ialah sesosok gadis cantik nan jelita.
Atau menawan parasnya."

Jokowi tak pernah tahu sampaikah berita tentang Gloria Paskibraka
Demikian sebutan bagi si gadis cantik
Hingga berlabuh di telinga Presiden François Hollande, padahal Gloria rakyat mereka.
Lalu, sudikah kalian jika ku bercerita mengenai Gloria di sini?
Silahkan saja semaumu, Herr Aldi.
Ah, aku jemu tetapi.

Dan kisah tadi turut mengingatkan alam pikiran Jokowi setentang Negeri Perancis.
Asal mula nama sederhana yang menarik makna indah pula berkah
Suatu negeri yang bersolek dengan kecantikan kilau kemilau cahaya
Negeri yang menyumbang darah bagi sesosok gadis berlumur cinta bagi Bumi Pertiwi
Tatkala berkibar namanya menyamai Bendera Pusaka.

Presiden Joko Widodo, Presiden François Hollande
Bersama Gloria. Dara dua kepala negara yang di nanti hari
Hendak menduduki kursi kepala negara bumi pertiwi.

Aku di sini, menantimu. Menyamakan langkah hingga kursi kepala negara.


Bandung-Paris Van Java, 29 Maret 2017
Pukul 13.55 WIB


- Herr Aldi van Yogya -

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi