Kakek penanti hujan

Di sudut timur kota, senja beranjak sunyi telah
Gerimis hujan menggelitik tanah
Mengiring langkah muda beranjak pulang
Kepada peluk hangat relung atap

Berapa hari sudah, entah ku menyirat rindu tentang pulang di titik pertama senja menyapa. Dahulu bisa kutunaikan pulang di titik sapa pertama senja. Namun, kini, cerita menyulap segala agar ia berubah. Tugas memeran jiwa samar di atas kemegahan panggung bermandikan lampu sorot, menuntutku 'tuk selalu menyambangi rumah kawan setiap Sabtu tiba. Kendati yang pertama, dihabiskan di sekolah masih. Dan ingat bagaimana ketika ku mengawali pemeranan jiwa samar hanya bersebelahan dengan hingar-bingar dara jua bujang yang disebab sepakan bola futsal dari satu sudut lapang ke lain sudut lapang. Janji diikat pukul sepuluh tepat kemarin. Tapi ikat janji perkara mudah dilepas. Pukul sepuluh lewat, datang kawan-kawan entah alasan apa. 

Ingat bagaimana ketika telapak menyapa lagi lantai rumah kawan di ufuk timur kota. Aku mengunjunginya setahun silam. Ingat seperti apa tatkala ku mesti menanti kawan dengan sabar, sambil si gadis bunga menyusul. Hanya selongsong langit siang yang dilenyapkan dengan peranan jiwa samar diselingi sekadar guyon, canda-tawa. Kembali pulang di prolog senja sudut timur kota berlanjut oleh kunjungan ke Cibinong, sepetak kota kecil yang terjatuh tak jauh dari Bogor. Mengepunglah udara panas sebelum berlanjut dengan berita duka yang menuntun aku meniti jalan menuju Jawa Tengah. Pun sesungguhnya usai mengakhiri berita duka, masih harus aku menuruti tugas memeran jiwa samar. Namun aku berwarta pada kawan, pabila tengah malam baru diriku terlelap hingga aku tak dapat turut serta memeran jiwa. 

Terus bergulir sampai puncaknya tiba.

Senin terakhir dalam penghujung Februari yang ditemani rinai hujan, menggelisahkan jiwa yang mulai lelah. Pukul tiga melintas 30 menit, kegiatan belum diawali sampai guru wajib bertanya, hendak berperan ataukah tidak mengundang setuju pada diri dan lepas menanti satu jam, barulah niat diawali sampai menemukan akhir pukul lima melintas 30 menit. Lalu inilah puncak cerita untuk ditumpahkan langsung pada ibu. Masalah serupa dengan kisah terdahulu seakan mengundang kekalutan pembakar jiwa ibuku hingga wanita paruh baya tadi harus menumpahkan kekalutan pada orang tua. Panjang lebar tersampaikan dan berdampak besar pada kawan-kawan yang keesokan senjanya menyuruhku pulang karena tak ada izin. 

****

Hari ini puncaknya, yang berlanjut lagi. Ingin ku menabuh genderang gamelan walau aku tak bermain. Dan aku diperintah kembali ke rumah. Ketika menyusuri sepanjang sisi jalan bebatuan, kujumpai sesosok pria renta meneduh diri di teras lapak pedagang surabi yang menutup diri rapat. Kepala keriputnya disongkok peci hitam kala baju muslim membungkus tubuh. Bekalnya tas ransel cukup sudah. Ingat bagaimana telinga muda menangkap suara rentanya. Tak banyak uang pun bekal ia tutur sejak kemarin dan sebungkus kue hanya yang ia kantongi. Lantas tiada berpikir panjang, kuberi sang kakek air minum separuh botol dibuntuti uang Rp.6.000,00. Tiada sampai 10.000 memang. Tetapi bukankah itu suatu hal baik? 

Iya adalah jawab terbaiknya. Rintik hujan seakan mengantar diriku mendapat harapan lebih. Biar aku diperintah pulang, namun senja ini aku dapat mereguk setitik keindahan penerang hati. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi