Yang berbeda, yang menyatu

Angka satu sudah aku gunakan untuk judul, namun sejatinya kita hidup tidak sendiri. Kita hidup dan lahir dari kedua orang tua, memiliki dua mata, dua telinga, dua tangan dan dua kaki untuk keseimbangan dan keharmonisan. Ya, hal itu benar dan kini aku merasakannya sendiri. 

BUKAN RIYA, PAMER ATAU SOMBONG sekalipun, namun memang ini kenyataan yang aku lihat dengan mata kepala sendiri. Selepas shalat ashar berjamaah di sebuah masjid besar, aku segera melihat ke kanan-kiri dan aku baru sadar bahwa jamaah shalat sangat beragam tanpa mengenal pangkat seperti jenderal-kopral atau kapten pilot-first officer sekalipun. Bahkan seorang polisi muda sekalipun dengan ikhlas menyalamiku begitu juga dengan seorang kapten pilot senior. Sungguh, Islam dapat menjadi penyatu sekaligus penghilang segenap perbedaan yang selama ini selalu ada. 

Hal tersebut dinamai toleransi serta pluralisme dan itu sudah berlaku sejak era Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur belasan tahun silam. Aku dapat menjumpainya dimana-mana, termasuk saat keluar dari masjid. Seolah tidak percaya, aku melihat Stevie sang murid kesayanganku telah menanti di depan masjid besar ini. Jujur saja, Stevie merupakan seorang gadis keturunan Tionghoa dan beragama Kristen. Akan tetapi, aku sendiri tidak mempedulikan itu sebab membimbing murid guna menerapkan toleransi-pluralisme sudah sepatutnya diajarkan oleh diriku sebagai seorang guru. 

Ditemani oleh oleh Hanum sang gadis berkerudung putih dan beragama Islam, Stevie segera menghampiriku dan mengajak untuk kembali ke sekolah tidak jauh dari masjid. "Ternyata Herr Aldi shalat Ashar di sini. Meuni rajin..." Stevie melontarkan pujian ketika sedang berjalan di atas trotoar yang kemudian dibalas oleh ucapan terima kasih dariku. Tidak hanya kata-kata sebagai penambah kecantikan Stevie, namun tiupan angin yang membuat rambut panjangnya terbang melambai-lambai pula membuatku terpesona. Ahh...

Selain di masjid, sebagai bentuk toleransi aku telah memberikan nilai yang bagus untuk Stevie tanpa memandang latar belakang status sosial karena sejatinya perbedaan bukan penghalang atau celah untuk memecah-belah, namun perbedaan menjadi momen untuk saling mengenal lebih jauh dan semakin mempererat kebersamaan...

Semoga bermanfaat.

Tulisan indah seorang guru bahasa Jerman.

Jumat, 1 April 2016
Pukul 16.02 WIB. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi