Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2016

Teruntuk jumpa yang tak sampai

Gambar
Sumber gambar:  WallpapersWide.com Pun dalam penghujung tahun ini, mulai aku jemu mengguratkan cerita mengenai pengembaraanku bersama kawan-kawan anak gadis dan bujang di tanah Eropa ketika langit senja memeluknya begitu erat ketika ku memutuskan bersauh pada hamparan rumput-rumput bergoyang ataulah ladang bunga bersama sepetak telaga buatan pemantul bayangan taman langit. Di bibir telaga inilah beragam kisah aku awali teruntuk tiga (terkadang empat) anak dara cantik sambil mereka mengurut paha kanan-kirinya. Cantik, aduhai aku katakan bila diberi celah untuk memuji keelokan garis wajah para anak gadis tersebut. Dan tatkala cerita menemukan epilog, kembali aku meneruskan perjalanan mengucap selamat tinggal pada bayangan taman langit dalam suatu senja nan indah.  Tiada aku tahu, mesti di titik mana lagi aku bersauh lepas menempuh perjalanan panjang. Seperti apa pun bagaimana kisah bersauh tertulis mesti, jua cerita apa yang ingin ditepikan pula dengan siapa aku bercerita. Aku

Indah yang tak sampai

Gambar
  Sumber gambar:  Getty Images Di muka bumi ini, aku rupanya baru menyadari bilamana banyak manusia yang memandang perpisahan ialah titik dimana air mata bergelimang lebat melukis bercabang-cabang sungai kecil di garis wajah ketika ulu hati masih disesak kenangan indah yang akan selalu sukar dilenyap, pun tetap dipandang perjumpaan terakhir bak takkan pernah lagi sepanjang hayat. Sudilah aku menerima pandangan yang demikian. Tetapi di balik pandangan itu, aku menemukan makna lain akan suatu perpisahan yang pastinya kuyakini, belum banyak anak-anak manusia tahu maknanya. Teruntuk empat dara cantik, ingin aku menepikannya pada hati kalian tempat aku selalu bersandar dalam teduh.  Persandaran cinta itu terulang kembali hari ini. Di sebilah batang pohon yang rimbun berdiri tegak menaungi segelintir ilalang bergoyang ini, aku bersandar menguapkan lelah teruntuk palung jiwa-ragaku di tengah pengembaraan panjang ini. Kusebut lagi negeri Belanda. Pengembaraan ini dimula dari Groning

Akar prahara tiada ujung

Gambar
  Sumber gambar:  HD Wallpapers Sepi sudah situasi di tiap sudut sekolah, senjakala ini. Murid-muridku, sudah kembali ke masing-masing rumah agar dibuai pada belai ibunya persis bagai anak-anak kutilang ataulah gelatik yang telah kembali ke sangkarnya. Aku termangu seorang diri di ruang kelas nan sunyi ini. Menatap lagi seluruh sudut kelas cukup satu hari jelang masa libur panjang ini. Tinggal aku sendiri yang belum beranjak pulang pada sangkar di senjakala. Aku mengingat lagi akan senang dan sedih menjelang sepenggal masa libur panjang. Dapatlah senang karena tiada banyak beban menggantung pekat, namun haruslah sedih lantaran takkan menjumpa murid-murid mencakup Stevie. Kuyakin sepenuh hati, saat ini jua ia telah terbuai pada belai sang ibu.  Andai ku menjumlah lagi perjalanan hari, baru aku tersadar belakangan ini bilamana telah lama aku tak menggurat lagi beragam kisah tentang anak-anak dara bersama bujang di sekolah sebagaimana isi larik ceritaku di pembuka tahun. Sediki

Anjangsana penebah rindu akan bersabdanya nada

Gambar
Sumber gambar:  SHuSHI168.com Gagal. Bahasa tak sepuitis dulu.  Penggalan kalimat pendek tadi kini mendorong kesadaranku agar terkumpul sepenuhnya tatkala ku pergi mengembara melintas jalanan dari Groningen di tepi utara Belanda hingga Rotterdam, sepetak tanah kota yang bersandar pada tepi garis Samudera Atlantik. Andai ku boleh menghitung, satu tahun sudah aku gemar menuliskan kisah-kisah sekeliling pengembaraan di Eropa khususnya Negeri Kincir Angin seraya ku ditemani Mobil VW Kuno si kawan bisu pengisi larik cerita. Anjangsana pun bagai telah lama aku peluk, bak aku merangkul kembali hati empat gadis terdekatku belakangan ini. Aku menilik lagi ke sisi belakang mobil melewati kaca spion tengah, empat dara cantik di sana tengah asyik membuai diri untuk keindahan alam Negeri Kincir Angin biar aku Guru Bahasa Jerman. Bahkan kusaksikan sendiri, Stevie merebahkan kepala di atas pangkuan paha kiri Maureen lepas ia menebah paha kiri si gadis penyuka kupluk abu-abu tadi. Sedang Glor

Anjangsana penebah cinta para gadis

Masih di Negeri Belanda. Walau aku Guru Bahasa Jerman. Fajar itu kusambut dengan malu-malunya sinar matahari tergurat pada ufuk timur akan payung langit bumi. Angin fajar bersepoi-sepoi tiada sungkan melambai padaku dipanut oleh daun-daun hijau yang belum jatuh karena jelas ini belum musimnya bak nona angin dapat bertitah pada dedaunan. Kuyakin sepenuh jiwa tak merapuh, anak-anak kutilang jua gelatik saat ini masih bergelung pada buaian induknya di dalam sarang pada ranting-ranting pohon kendati mereka sedang mengerahkan upaya agar dapat menyalangkan kelopak matanya menyambut senyuman fajar. Dan dalam perjalanan dari Groningen jauh di tepi utara Belanda menuju Rotterdam kali ini, aku memutar lagi angan untuk mengingat wajah para gadis yang selama ini ditampak lenyap seakan tak mewarisi jejak pada kenangan. Selarik kisah baru akan bermula. Tuturku sendiri.  Anjangsana atau bolehlah aku sebut perjumpaan, jelas telah menjadi penantian panjangku selama dua pekan ke belakang. Dua p

Pada ilalang yang sudi meliuk 'tuk tanya yang belum sampai

Gambar
  Sumber gambar:  XiNature.com Andai boleh aku menyibak rerimbunan salju putih di atas dedaunan hijau yang telah jatuh lepas melewati musimnya, pastilah aku segera menelurkan upaya mencari seraya ku bertanya akan keberadaan empat dara cantik yang selalu hadir di selingkaran tubuhku. Bilaku mencium angin sudi aku peluk seorang diri, tentu aku ingin menaungi hati empat dara cantik itu di waktu mereka merasa kedinginan hingga mereka mesti menggigil. Salju bersama daun yang telah luruh dalam waktu berbarengan ini, bagai tak pernah jemu aku tanyakan mengenai larik-larik mimpiku jua kehadiran empat dara cantik yang selalu mengundang rindu bagi relung hati ini. Dimana mereka? Kapan mereka sudi dijumpa olehku? Tanya itu bagai telah luruh seketika.  Embun fajar biarlah embun fajar yang melekatkan berbutir-butir air kecil pada lembayung kaca jendela ketika kusapa mereka pagi hari ini di Negeri Belanda. Basah peninggalan hujan semalam kulihat tengah menyelimuti pagi bersalut hawa dingi

Stevie sendiri

Gambar
  Sumber gambar:  Full HD Pictures Bayangan taman langit di telaga fajar itu terlukis dengan sempurna oleh kuas sang pencipta alam kehidupan begitu aku mengudap segelas kopi panas dalam perjalanan jauh dari Groningen di tepi utara Belanda menuju titik ujung landasan Polderbaan, Bandara Schiphol untuk yang kesekian kalinya. Andai aku boleh menilik lagi, barangkali sudah sangat sering aku menulis cerita tentang pengembaraan di Belanda baik seorang diri atau turut mengajak kawan-kawan terbaikku. Dapatlah aku mulai jemu menunaikan hal ini. Tetapi hendak bagaimanapun jua, Belanda kurasa merupakan tempat terbaik untuk selalu mengisahkan pengembaraan jiwa sesuai titah raga ini tak kalah dengan Jerman atau negara-negara Eropa lainnya.  Untuk apa aku mesti menyambangi Polderbaan sepagi ini? Siapa kawan yang akan datang dari langit? Aku bertanya-tanya pada diri sendiri dalam ruang hati penuh kesunyian yang disalut kesendirian ini. Mesin mobil VW kuno aku padamkan sejenak agar dapat me

Ku Mulai Bertanya

Gambar
  Sumber gambar: LINE "Teladan Rasulullah" Perjalanan München-D üsseldorf, Jerman, di tengah senjakala akan petang itu.  Larik cerita ini masih seperti kemarin. Jelas. Aku si guru muda asal tanah air tetap mengemudi mobil VW Kuno yang telah pula selalu hadir sebagai kawan bisu pada setiap larik ceritaku tepat di atas segaris jalanan yang terbentang dari  München jauh di batas tenggara sana hingga  D üsseldorf tak jauh dari tepi perbatasan barat bersama Negeri Belanda. Dipeluk payung langit yang telah melukis warna jingga semakin tulen, aku dapat merasakan angin senja yang berhembus perlahan menembus celah jendela mobil sampai meniupkan dasi kotak-kotak di balik rompi jua jas kelabu lepas menyambut Presiden Joko Widodo, kepala negara kebanggaanku dewasa ini. Dasi kotak-kotak itu melambai indah menyapa angin seiring dengan diekorinya mobilku oleh dua unit bus di belakang. Entah kemana mereka akan menuju.  Andai Jerman Timur belum lekas meninggalkan sejarah bersama