Anjangsana penebah cinta para gadis

Masih di Negeri Belanda. Walau aku Guru Bahasa Jerman.

Fajar itu kusambut dengan malu-malunya sinar matahari tergurat pada ufuk timur akan payung langit bumi. Angin fajar bersepoi-sepoi tiada sungkan melambai padaku dipanut oleh daun-daun hijau yang belum jatuh karena jelas ini belum musimnya bak nona angin dapat bertitah pada dedaunan. Kuyakin sepenuh jiwa tak merapuh, anak-anak kutilang jua gelatik saat ini masih bergelung pada buaian induknya di dalam sarang pada ranting-ranting pohon kendati mereka sedang mengerahkan upaya agar dapat menyalangkan kelopak matanya menyambut senyuman fajar. Dan dalam perjalanan dari Groningen jauh di tepi utara Belanda menuju Rotterdam kali ini, aku memutar lagi angan untuk mengingat wajah para gadis yang selama ini ditampak lenyap seakan tak mewarisi jejak pada kenangan. Selarik kisah baru akan bermula. Tuturku sendiri. 

Anjangsana atau bolehlah aku sebut perjumpaan, jelas telah menjadi penantian panjangku selama dua pekan ke belakang. Dua pekan sudah, kututurkan sekali lagi, aku ditinggal seorang diri oleh empat gadis pelukis cerita yang berbaris rapi agar dapat disimpan dalam hati persis sabda milik mendiang sang pujangga nada, Rinto Harahap pada lagu "Cinta Bukan Dusta" yang kukagumi dewasa ini. Saatnya kembali pada ditinggalnya aku oleh empat gadis pelukis cerita. Kemana mereka pergi sejatinya? Aku bak menelurkan tanya untuk ilalang-ilalang yang bergoyang. Jawabnya, aku tahu saat ini. Gadis-gadis itu telah pergi melarik cerita di sudut lain negeri kincir angin serta tiada lain tiada bukan, mereka mengembara demi memetik banyak tangkai bunga-bunga indah persis dengan keelokan garis wajahnya. Andai ku menatap banyak fotonya pada telegram elektronik, bisa kujumpa senyum Gloria, Maureen, Stevie dan Si gadis bunga menggengam banyak kembang. Derak kincir angin tua turut tak luput dari sorot kelopak mata indah mereka.

Kisahku menaruh rindu untuk keempat gadis, hari ini akan segera ditebah melalui suatu anjangsana fajar.

Benar saja tutur-kataku tadi. Setengah perjalanan Groningen-Amsterdam, masih dalam lukis pemandangan alam yang sama aku menjamah bayang-bayang para gadis terdekatku tengah asyik memeluk angin bersepoi-sepoi. Satu atau dua ikat kembang dicengkram erat oleh ruas jemari halus mereka sambil sesekali tawa tak jemu memecah sunyi dan sejumput bunga kecil hasil petikan dari hamparan padang rumput. Duhai anak dara, mengapa kalian menanti diriku sepagi ini? Inginkah kalian menebarkan kecantikan paras untuk banyak anak bujang di seluruh penjuru negeri kincir angin? Adakah anak bujang yang terpikat pada kecantikan kalian? Mungkin mereka malu-malu.

                                                                        ****

"Herr Aldi!!!" Pekik Gloria mendahului Maureen, Stevie jua Si gadis bunga begitu aku bersauh di pinggir jalan. Tergulungnya senyum manis Gloria sepintas sanggup meluluhkan hatiku lepas memadamkan mesin mobil, persis rangkai cerita yang terdahulu. Aku terlihat bagai terpapar kecantikannya yang lebih memancar ketimbang sinar matahari. Ingin hatiku memuji kecantikan Gloria, tetapi suara tiga dara cantik disampingnya kepalang memanggil namaku untuk selanjutnya menyambung cerita tentang fajar pertamaku bersama para gadis. Kusayangkan sepenuh hati, kali ini Akbar, Abang dan Ariq para anak-anak bujang justru tak hadir menemani. Sepertinya hanya aku yang selalu terbuai pada keelokan paras lawan jenis. Begitu memang, bukan lagi sepertinya.

"Ich vermisse Herr Aldi." (Aku kangen Herr Aldi.) Ujar Stevie sepolos anak-anak gelatik menyumbang suara emas dari sangkar. "Gleichen, Stevie. Ich vermisse dich und jetzt du bist schöner als vorgestern, bevor wir aufgeteilt." (Sama, Stevie. Aku kangen kamu terus kamu lebih cantik dari dulu, sebelum kita berpisah.) Pujianku bagai Stevie yang sangat cantik dengan rambut hitam nan panjang tergerai di atas wajah pelukis kulit putih bersih mengundang semu merah jambu merona pada parasnya. Biar aku tersenyum pertanda aku berhasil membuat Stevie malu-malu. Wajah cantiknya yang lebih rupanya tiada cukup. Lama tak menjumpainya, kudengar Stevie memiliki suara yang lebih merdu dan andai para anak bujang seusianya mendengar itu, pastilah mereka akan lumer.

Koloni bebek mengepak-ngepakkan sayapnya seakan mereka memahami makna suara aku, Stevie bersama Gloria, Maureen dan Si gadis bunga. Jeli secara lebih aku tunaikan tatkala aku mencoba memperhatikan penampilan Maureen. Tiada yang berbeda jauh sejak dahulu. Kupluk abu-abu tiada pernah jemu menaungi rambut panjangnya. Hanya kulihat lebih teliti, ternyata ia menyemat sepetik kembang putih pada telinga kanannya, mungkin sejak ia menduduki punggung bukit ilalang ini. Pantaslah kutampak Maureen jadi lebih cantik ketimbang dahulu. Gloria dan Si gadis bunga pun serupa. Aku baru menyadari bilamana ku tak menjumpa para gadis untuk lamanya jarak waktu, ketika hadir para gadis tadi lantas menampakkan kecantikannya demi meluluhkan senyap milik jiwaku.

Ini anjangsana penebah cinta para gadis. Anjangsana yang sekilas menebah senyap biar dingin masih memeluk. Pula  sunyi yang akan selalu ditebah dalam anjangsana indah bersama para gadis.

Dan aku tersentak lagi dari perenungan tentang anjangsana ini? Dapatkah ia menebah rindu ini? Telah secantik apa para gadis di sekelilingku? Pada anak dara mana hati akan ditambat? Aku tiada pernah menemukan jawaban terbaik bagi pertanyaan mengenai penebahan.

Beranikah aku memuji lagi kecantikan anak-anak dara tadi? Sudah pernah aku tunaikan dahulu. Pun sampai menebah kembali hati mereka di bawah bersemu merah merona bagi parasnya. Anjangsana pagi ini menyisakan segelintir tanya kendati dapat menguapkan sebagian beban rindu bak angin menguapkan embun penghalang getar jiwa menatap kasih di taman langit.

Tertulis, kisah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan.

Bandung, 17 Desember 2016
Pukul 13.09 WIB.
- Herr Aldi Van Yogya -

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi