Indah yang tak sampai

 
Sumber gambar: Getty Images

Di muka bumi ini, aku rupanya baru menyadari bilamana banyak manusia yang memandang perpisahan ialah titik dimana air mata bergelimang lebat melukis bercabang-cabang sungai kecil di garis wajah ketika ulu hati masih disesak kenangan indah yang akan selalu sukar dilenyap, pun tetap dipandang perjumpaan terakhir bak takkan pernah lagi sepanjang hayat. Sudilah aku menerima pandangan yang demikian. Tetapi di balik pandangan itu, aku menemukan makna lain akan suatu perpisahan yang pastinya kuyakini, belum banyak anak-anak manusia tahu maknanya. Teruntuk empat dara cantik, ingin aku menepikannya pada hati kalian tempat aku selalu bersandar dalam teduh. 

Persandaran cinta itu terulang kembali hari ini. Di sebilah batang pohon yang rimbun berdiri tegak menaungi segelintir ilalang bergoyang ini, aku bersandar menguapkan lelah teruntuk palung jiwa-ragaku di tengah pengembaraan panjang ini. Kusebut lagi negeri Belanda. Pengembaraan ini dimula dari Groningen hingga Amsterdam, tetap dalam kisah bersama keempat dara cantik yang sepanjang perjalanan sudi duduk manis pada jok belakang. Pun ditemani tiga bujang tampan. Ketika turun berduyun-duyun dari mobil tadi, mereka mengharap titahku agar diizinkan mengambil air wudhu disebab belum menunaikannya shalat ashar oleh mereka kendati Maureen dan Stevie tak ikut menunaikan ibadah shalat. Lantas tiada ragu tentang menunggu, aku izinkan jua kepergian mereka mengambil air wudhu dari sepetak telaga, lalu shalat di atas sajadah berupa hamparan ilalang menari diselipi setitik bunga indah beratap langit senja. 

Dan aku sesali diri sendiri telah menarik shalat Ashar pada waktu Dzuhur tadi. Mestinya, aku turuti mereka. 

Tiada pilihan lain, mesti aku nikmati kesendirian bagi senja nan senyap ini. Semilir angin bersepoi-sepoi menyapa seiring dengan dedaunan hijau yang melambai diikuti ilalang cukuplah menghibur kesendirianku sampai aku mendengar ilalang di hadapanku menelurkan suatu suara. Aku dengar serentetan suara yang tampak bak menyeret sebilah benda mati terus meniti langkah membelah ilalang dan aku pikir kawan-kawanku telah selesai menunaikan ibadah shalat. Maka oleh karenanya aku menanti langkah mereka sebelum aku mesti memeluk bingung tatkala menampak Maureen melangkah dibuntuti Stevie. Hanya berduakah mereka? Kemana sisa anak dara dan bujang? Telah selesaikah mereka? 

"Maaf, Herr Aldi. Belum selesailah mereka meniti interaksi dengan bayangan pada air telaga. Si gadis bunga, lututnya sedikit terluka sebab ia secara tak sengaja menindas paku bekas bantalan rel kereta api. Sebiji saja, tak banyak." Maureen bertutur bak sesosok gadis pujangga yang dahulu selalu bertutur mematut bahasa gaul. Dewasa ini selalu kugambarkan ucap tutur-kata seluruh tokoh dalam cerita ini menyamai para pujangga sudah. Rel kereta api? Telingaku berdiri menangkap ucapan Maureen tentang rel kereta api. Aneh, sejak tadi mengawali pengembaraan aku tak menampak akan adanya rel kereta api membentang di sebelah jalanan. Ditambah dengan luka tentang derita bagi lutut si gadis bunga. Siapa yang berani membuang paku bantalan rel kereta di sini? Tak ragu menyelimutiku, bingung.

Pada kedua dara cantik ini, aku awali suatu cerita tentang indah yang tak sampai.

                                                                        ****

Hendaknya, sesuatu apapun di dunia ini yang mematut nama "perpisahan" selalu beranjangsana dalam tanda akan berujungnya waktu. Namun perpisahan itu tampak bagai tudung langit senja yang sangat menawan. Terbuaikah kita pada menawannya langit senja? Pastilah kita tak pernah jemu terbuai menawannya langit senja. Aku mengulang lagi ucapan yang telah digurat di pembuka kisah. Biarlah sedih menggantung amat sangat pekat bak langit mendung menutup hati. Silahkan air mata menggelimang deras mencipta anak-anak sungai teruntuk raut paras. Tetapi, bukankah perpisahan itu duka yang semestinya tak menjejak duka? Jelaslah jawabnya benar. Duka memang bukan segalanya bagi para gadis & bujang, tiada titik penghenti langkah cerita lepas seluruhnya melintasi karena membiar hujan menghapus duka.

Sepanjang hidupnya, manusia telah pasti mengalami berjuta-juta senja yang tak mereka sadari bilamana itu ialah paku penebah air mata lantaran akan selalu ada harap agar perjumpaan dapat kembali terulang. Perpisahan yang pernah kualami, jelas perpisahan bersama kawan-kawan masa sekolah. Pernah aku tasbihkan sebagai duka, tetapi pada larik kedua mengenai kisah masa remaja aku berhasil mengenali beragam sosok kawan mencakup si gadis bunga. Dialah yang berhasil melelehkan palung hati ini. Dan aku kagumi dirinya di sepanjang larik kedua akan masa remaja melingkupi perpisahanku dengan senja yang tak sampai di tepi garis Selat Sunda. Anyer. Dengan mengutip elegi perpisahan lain, aku mematut harap mengenai jumpa lain yang tiada kuketahui kapan pula di mana.

Inilah indah yang tak sampai. Aku menguapkannya pada langit segera.

                                                                      ****

Suara bergesek dari padang rumput di seberang mengumpulkan kembali kesadaranku secara penuh. Si gadis bunga meniti langkah di paling depan memimpin Gloria dibuntuti Akbar, Ariq dan Abang. Walau jalanan sepi, mereka tetap menolehkan kepalanya ke sisi kiri dan kanan memastikan jalanan aman dilalui sekadar dalam cerita. Dan mereka bersegera duduk membentuk lingkaran, mengelilingi aku, Stevie dan Maureen dalam naungan pohon demi memaknai lagi tentang arti indah yang tak sampai. Pada tempat ini aku membagi canda-tawa bersama mereka yang mendorong kami agar khilaf akan arah navigasi jarum jam. Kemudian, lepas kubicara tak tentu arah, aku memuji lagi keelokan paras Gloria, Maureen, Stevie dan Si gadis bunga hingga mereka tersipu malu-malu, sebagai epilog dari indah yang tak sampai.

Tertulis, kisah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan.

Bandung, 23 Desember 2016
Pukul 10.35 WIB


- Herr Aldi Van Yogya -

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi