Pada ilalang yang sudi meliuk 'tuk tanya yang belum sampai

 
Sumber gambar: XiNature.com

Andai boleh aku menyibak rerimbunan salju putih di atas dedaunan hijau yang telah jatuh lepas melewati musimnya, pastilah aku segera menelurkan upaya mencari seraya ku bertanya akan keberadaan empat dara cantik yang selalu hadir di selingkaran tubuhku. Bilaku mencium angin sudi aku peluk seorang diri, tentu aku ingin menaungi hati empat dara cantik itu di waktu mereka merasa kedinginan hingga mereka mesti menggigil. Salju bersama daun yang telah luruh dalam waktu berbarengan ini, bagai tak pernah jemu aku tanyakan mengenai larik-larik mimpiku jua kehadiran empat dara cantik yang selalu mengundang rindu bagi relung hati ini. Dimana mereka? Kapan mereka sudi dijumpa olehku? Tanya itu bagai telah luruh seketika. 

Embun fajar biarlah embun fajar yang melekatkan berbutir-butir air kecil pada lembayung kaca jendela ketika kusapa mereka pagi hari ini di Negeri Belanda. Basah peninggalan hujan semalam kulihat tengah menyelimuti pagi bersalut hawa dingin sebagai teman yang aku tatap dari lubang kesenyapan persis di lubuk hati terdalam, mengingat lagi kehadiran empat gadis manis di sekelilingku. Tawa riang mereka tiada pernah bosan memecah sunyi saat ku mesti sudi memeluk kesendirian jua menarik bahagia yang sampai seakan hari bersama mereka selalu tampak indah bak menyusuri ladang-ladang bunga Negeri Belanda. Lelambaian bunga itu dapat menjatuhkan relung angan ini pada kenangan indah akan si gadis bunga. Paras cantik, suara lembut dilengkapi betapa lincah tangannya menggores lukisan pada selembar kertas ialah sebab hati luluh karenanya.

Aku memutar kepala 45 derajat ke arah kamar di belakang. Satu pintu kamar tentu daun pintunya terkuak lebar dan satu lainnya tertutup rapat. Aku tahu, lepas bangun tidur pintu itu aku buat terbuka selebar mungkin tanpa menyingkap yang satunya. Bilamana kalian membaca ini, pastilah kalian yakin di kamar berpintu tertutup tadi masih ada anak manusia yang terbuai akan lelap tidur menuju alam mimpi. Tapi aku harus menyayangkan, isi pikiran kalian salah. Kamar berpintu tertutup itu sudah tentu kosong tiada penghuni sesosok pun. Hal itu terjadi sejak aku sampai di rumah ini segelintir hari kemarin. Kawan-kawanku secara keseluruhan tak dapat menemani sekarang hingga aku harus mengelus bathin memeluk sendiri di rumah berhalaman ladang rumput luas, atau lebih dapat engkau tuturkan halaman ilalang-ilalang bergoyang.

Sambil menyibak tirai jendela lebih lebar, aku meratapi ilalang-ilalang bergoyang yang selalu sudi meliuk diterpa angin seakan hendak menembus taman langit menjamah bayang di balik awan. Tak khilaf aku seruput segelas kopi panas penghangat raga sekilas mencari makna kesenyapan fajar. Persis prolog di atas, aku enggan berhenti mencari keberadaan kawan-kawan mencakup para gadis cantik tatkala dedaunan hijau berguguran sebelum hadir musimnya. Ingin ku mengingat tawa mereka, namun saat ini aku tak dapat menatap mereka satu sosok pun dan masih terbayang bila para gadis terlelap dalam kamar di sebelahku seiring dengan lelapnya anak-anak bujang entah di kamarku atau kamar lain. Sepagi ini kuyakin mereka telah terjaga demi menyapaku belum kebiasaan Maureen si gadis pengagum kupluk abu-abu tuk selalu mengurut paha kanan-kiri saat ia merasa pegal.

Ehm, Herr Aldi, perlukah engkau mengandai-andai seorang gadis mengurut permukaan garis paha? Anehkah jalan pikiran itu? Aku menggelak seorang diri mendapati pertanyaan tadi. Tetapi yang jelas, dahulu ketika diriku belum menghentikan kisah perjalanan menunggangi mobil VW kuno si kawan bisu hanya mematut suara mesin berisik, kuingat Maureen akan selalu mengurut pahanya lepas mobil berhenti di bahu jalanan. Sesaat kemudian aku mentasbihkan aneka ragam cerita padanya, kawan-kawan sekaligus bentangan alam tanah negeri kincir angin. Boleh kutepikan, bayang tadi sekilas mengundang tawaku. Dan lihatlah aku kini. Mesti puas berdiam seorang diri.

Gloria, Maureen, Stevie dan Si gadis bunga. Keempat nama gadis di depan tadi aku sebut-sebut sambil berbisik lirih. Banyak keluh-kesah yang ingin aku sampaikan pada mereka. Ada tanya yang belum sempat mereka jawab. Hati mereka tampak bagai titik tempat cerita berbaris yang telah tersimpan. Namun, sekali lagi sayang kini ku tak bersama mereka. Aku tak tahu mereka ada di mana. Maka oleh karenanya kubiarkan diriku sendiri mengingat lagi tanya di atas daun-daun hijau yang berguguran lepas sampai musimnya.

                                                                         ****

Tanya yang belum sampai kemarin hari bersua jua denganku pagi hari ini.

Kumulai bertanya, apa sejatinya hal yang tak pernah bosan mendorongmu tuk menyemat status "Guru Bahasa Jerman?" Keindahan masa remaja ialah jawabnya. Beberapa tahun dewasa ini jelas aku telah terbuai pada keindahan masa remaja karena tertambatnya cinta pada hati seorang gadis. Aku berpikir bila ku membuktikan betapa benarnya ucapan banyak orang mengenai keindahan masa remaja dan kenangan indah itu bagai enggan aku lewati begitu saja melalui cara mematut status "Guru Bahasa Jerman." Sudilah engkau berpendapat demikian, Herr Aldi. Tetapi tiada salahnya andai engkau menanyakan lagi keyakinan bathinmu untuk itu. Sekolahmu ketika remaja tentu ialah sekolah yang nyaman ditinggali, tetapi saat kau jadi guru nanti, belum tentu engkau akan menemukan titik senyaman tadi. Siapkah engkau mengajar andai engkau menemukan sekolah dengan isi murid-murid pencinta kerusuhan, gemar tawuran hingga para bujang bersama gadis yang tak pernah menampak dosa begitu meneguk sebotol minuman keras atau larut pada buaian narkotika?

Tidak ialah kata terbaik dariku untuk menjawab ini. Andai kutelah bisa mengajar, jelas akan kucari titik ternyaman bagiku tuk menjumpai murid-murid tanpa pernah mengenal masa tua.

Lantas tanya apa lagi yang hari ini bertamu padaku? Mengenai kesiapan ujian nasional murid-murid. Perjalanan indah masa remaja jelas telah membuai hati agar dapat menampak Stevie menggurat ekspresi malu-malu di parasnya tatkala ia ditanya terkait pada siapa hatinya tertambat. Ingin kurasakan lagi pesona senyum anak-anak bujang & gadis di ruang kelas. Namun, hal apa yang mesti aku tunaikan ketika mereka akan melewati ujian nasional dengan penuh khawatir? Haruskah aku ikut khawatir bersama mereka? Siapkah aku membimbing mereka dalam melewatinya? Berapa lama ku akan bertahan menuntun Stevie menyiapkan ujian nasional? Sanggupkah diriku? Tiada ku tahu itu. Yang jelas hanya kuingin Stevie melepas gelak tawa dalam semangat masa remajanya, persis aku.

Bisakah ku berjumpa dengan Stevie di kelas nanti? Tanya ini menggantung tiada jawab.

Dan yang terakhir, tanya ini bak hendak menghentak jiwa senyap. Tentang cinta, tentang kemungkinan aku menikahi si gadis bunga. Cinta pada si gadis bunga, kuulangi sekali lagi jelas telah lama aku tambat biarpun masih didominasi kekaguman padanya. Pernah jua aku memikir bagaimana hidupku lepas nanti menikahi si gadis bunga. Akan tetapi, yakinkah diriku menikahi si gadis bunga? Akankah ia mengejar-ngejarku atau sebaliknya? Bumi ini masih menampung banyak anak dara cantik selain si gadis bunga melingkupi Gloria, Stevie serta Maureen dan andai aku mesti mengambil pilihan terkait dara mana yang ingin kunikahi selain si gadis bunga, aku justru terjatuh pada lubang kebimbangan yang menganga lebar tiada jauh dari palung hati. Entah anak dara mana yang hadir sebagai pelengkap kekurangan jiwa. Rindu pada empat dara cantik di atas, itu saja yang tampak jelas.

Untuk sesaat aku mesti ikhlas memeluk hampa sebab aku bingung tanya apa lagi yang ingin ditutur. Aku bagai tersadar begitu melekatkan jemari untuk lembayung kaca teruntuk embun yang melekat erat tiada jemu. Berjuta-juta butir embun seakan mengembalikan ingatku tentang bayangan empat dara peneduh hujan di langit hati. Walau mereka tiada 'tuk sesaat, namun bayangan mereka tetaplah dilihat segar jua bening nan jernih di pikiran bak hendak terbang jauh menembus lapisan awan. Langkah Gloria, Maureen, Stevie dan Si gadis bunga selalu sama dengan dikepaknya sayap kupu-kupu secantik paras mereka atau dapatlah tertasbih koloni burung Gelatik, Manyar serta Kutilang sebagai pengundang sama dalam kicau di atas derap mereka.

                                                                           ****

Detik ini aku benar-benar mengumpulkan kesadaran lagi. Betapa cerita kesenyapanku tadi hanya ditemani oleh basah di bawah dingin milik fajar dan bosan tertelan oleh tirai embun kecil. Kupikir, inilah saatnya untuk keluar lepas pintu terbuka agar ilalang-ilalang bergoyang yang sudi meliuk 'tuk tanya yang belum sampai sanggup aku jumpai. Dan benar pasti tersampaikan, ilalang-ilalang bergoyang sedang asyik meliuk indah melambai-lambai halus seperti saat ku bersauh pada kehadiran kawan-kawan. Mereka akan selalu bertanya tentang cerita apa yang hendak aku sampaikan kepada masing-masing jiwanya. Bisa aku tersenyum tipis mengingat lagi memori manis tadi. Diperbolehkan angin aku melepas sedikit tawa kecil lepas senyum tipis.

Kawan-kawan, khususnya Gloria, Maureen, Stevie dan Si gadis bunga, sebaiknya tak jemu aku sarankan agar aku segera meniti pelarian demi tersusulnya kalian. Tetapi mendiamkan jiwa-raga untuk dua kali saja telah cukup bersua pada niat terbaik biar aku menaruh rindu pada para gadis-gadis. Aku ingin menanyakan itu kepada ilalang yang sudi meliuk lantaran belum sampainya sebaris tanya, namun biarlah aku mengikhlaskan diriku sendiri selama ilalang-ilalang tersebut dipeluk hujan mulai pagi ini entah hingga kapan... 〄〄㉿㉿〿〿

Tertulis, kisah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan.

Bandung, 15 Desember 2016
Pukul 13.55 WIB
- Herr Aldi Van Yogya - 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi