Stevie sendiri

 
Sumber gambar: Full HD Pictures

Bayangan taman langit di telaga fajar itu terlukis dengan sempurna oleh kuas sang pencipta alam kehidupan begitu aku mengudap segelas kopi panas dalam perjalanan jauh dari Groningen di tepi utara Belanda menuju titik ujung landasan Polderbaan, Bandara Schiphol untuk yang kesekian kalinya. Andai aku boleh menilik lagi, barangkali sudah sangat sering aku menulis cerita tentang pengembaraan di Belanda baik seorang diri atau turut mengajak kawan-kawan terbaikku. Dapatlah aku mulai jemu menunaikan hal ini. Tetapi hendak bagaimanapun jua, Belanda kurasa merupakan tempat terbaik untuk selalu mengisahkan pengembaraan jiwa sesuai titah raga ini tak kalah dengan Jerman atau negara-negara Eropa lainnya. 

Untuk apa aku mesti menyambangi Polderbaan sepagi ini? Siapa kawan yang akan datang dari langit? Aku bertanya-tanya pada diri sendiri dalam ruang hati penuh kesunyian yang disalut kesendirian ini. Mesin mobil VW kuno aku padamkan sejenak agar dapat meresapi betul hembusan angin fajar negeri kincir ini, atau sesekali tarian lincah akan riak air telaga bening menggeliat memecah senyapnya fajar dan kedua bahasa sapaan alam tadi mendorongku memutar ingatan lagi pada empat dara cantik di sekelilingku. Empat dara cantik, empat dara cantik lagi sampai itu terulang terus-menerus. Bilamana saat ini mereka turut mengembara denganku melintas Belanda, yakinlah aku sepenuh hati tentang kekaguman mereka pada keindahan Belanda. Senyum manisnya mengembang bagai enggan untuk luruh diterpa angin. 

Tegukan ketiga berhasil aku telan, saatnya meresapi bayangan Stevie pada palung jiwa ini. Tiada kurasa setahun sudah aku selalu gemar menghadirkan sosoknya dalam cerita-cerita nan puitis hasil guratanku sendiri. Mengenai kisah pula kasih yang hadir di ruang sekolah sebagaimana terhunusnya impian besarku tuk selalu meresapi kenangan indah masa remaja sepanjang hayat dan pernah kujumpa Stevie ketika dirinya sedang risau mengawali lagi lembaran-lembaran kisah lepas masa libur panjang melayang jauh sebelum ia tertindas dalam derita di depan bunga malam. Ia tengah sendiri hingga ia memberanikan diri menanyakan kisah tentang pengembaraanku ke tepian tanah Kalimantan Timur, tiada kisah cinta termanis yang aku torehkan persis kisah cinta di balik kabut Dieng. 

Dirinya menghampiriku seorang diri di antara bergoyangnya rerumputan ilalang agar bisa mendengar ceritaku tentang pengembaraan jauh ke Kalimantan Timur hanya sesaat sebelum ia memasang raut wajah malu-malu ketika dirinya belum menambat hati yang jatuh cinta pada anak-anak bujang lain seorang pun. Bolehlah aku berkilah, usianya kini 13 tahun dan sudah pantas tuk menambat cinta pada anak bujang. Persis aku dulu, namun aku baru berani menyimpan cinta di lubuk hati si gadis bunga tepat pada usiaku yang ke-15 tahun. Malah sudah menjelang 16 tahun menyamai usia si gadis bunga. Momen apa lagi yang telah kuceritakan pada dirinya di balik cinta pada diri si gadis bunga cantik?

Banyak, sudah jelas. Bahkan aku selalu mengulang-ulang kisah yang sama kala menepikan cerita pada Stevie bagai anak manusia tengah uring-uringan tentang kenangan manis sambil menikmati hal itu. Dan lama-kelamaan, perlahan namun pasti, bayang-bayang Stevie laksana tertampak luruh oleh pesona keelokan garis wajah tiga dara pematut usia sepantar denganku. Jelas, jelas dapat kuakui tanpa kebohongan beragam bentuk mencakup ukuran selepas kisah anak-anak dara bersama bujang aku simpan di sini, aku justru ditampak sebagai guru yang sangat gemar mengingat lagi kenangan masa lalunya agar dapat diceritakan pada kawan-kawan terdekatnya bak apa yang kalian tampak pada cerita terdahulu. Mengemudikan mobil di tanah Eropa, mendekatkan diri dengan alam setempat seperti pagi ini, mengawali cerita sedari bagian prolog sampai titik di epilog, lalu melanjutkan perjalanan tanpa kuketahui tujuannya. 

Bahkan kisah cerita yang mematut latar Eropa pun kini masih berupa pengembaraan tak pasti.

Dimana Stevie saat ini? Pertanyaan itu lantas membuat aku terlonjak di hadapan alam negeri kincir angin ibarat manusia tersambar petir pembuka hari. Aku rasa petir hati telah mendorong agar aku sadar tentang suasana jua keberadaan Stevie. Paras cantiknya, aku katakan tercipta di bawah geraian rambut panjang nan hitam dikombinasi dengan kulit putih bersih dan siapa yang sanggup menahan decak kagum bila sudah demikian? Kecantikan parasnya yang tak kalah dari tiga gadis penghias ceritaku ada waktunya aku puji lantaran telah berhasil jadi penyemangatku mengajar sekaligus pengundang rasa rindu di lubuk hati yang terdalam. Tersipulah Stevie tatkala warna merah jambu bersemu merona di parasnya melengkapi kecantikan dirinya sendiri. 

Kembali lagi pada perkara Stevie sendiri. Aku tidak tahu dirinya ada dimana kini. Perkara tadi membuat sudut hatiku buncah disebabkan bingung mencari dirinya. Entah di sudut mana ia berdiam diri, namun entah pula ke titik mana ia pergi seorang diri. Seandainya saat ini aku bersama Stevie, aku yakin angin fajar telah meniupkan rambut panjangnya di kala tubuh kurus Stevie terhempas angin pula. Ia akan terlihat sangat cantik bila demikian, tetapi cericit burung-burung gelatik, manyar dan kutilang sudah cukup mengisi kesendirian ini. Sejatinya aku hendak mencoba menanyakan itu pada gelatik, manyar dan kutilang. Namun sayang mereka tak pernah memahami bahasa manusia... 

Tertulis, kisah cerita seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan. 

Bandung, 11 Desember 2016
Pukul 06.22 WIB

- Herr Aldi Van Yogya -

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi