Anjangsana penebah rindu akan bersabdanya nada

Sumber gambar: SHuSHI168.com
Gagal. Bahasa tak sepuitis dulu. 

Penggalan kalimat pendek tadi kini mendorong kesadaranku agar terkumpul sepenuhnya tatkala ku pergi mengembara melintas jalanan dari Groningen di tepi utara Belanda hingga Rotterdam, sepetak tanah kota yang bersandar pada tepi garis Samudera Atlantik. Andai ku boleh menghitung, satu tahun sudah aku gemar menuliskan kisah-kisah sekeliling pengembaraan di Eropa khususnya Negeri Kincir Angin seraya ku ditemani Mobil VW Kuno si kawan bisu pengisi larik cerita. Anjangsana pun bagai telah lama aku peluk, bak aku merangkul kembali hati empat gadis terdekatku belakangan ini. Aku menilik lagi ke sisi belakang mobil melewati kaca spion tengah, empat dara cantik di sana tengah asyik membuai diri untuk keindahan alam Negeri Kincir Angin biar aku Guru Bahasa Jerman. Bahkan kusaksikan sendiri, Stevie merebahkan kepala di atas pangkuan paha kiri Maureen lepas ia menebah paha kiri si gadis penyuka kupluk abu-abu tadi. Sedang Gloria dan Si gadis bunga, cukup menebah jok paling belakang.

Lelambaian nyiur angin yang tiada ragu menyapa dengan bersepoi-sepoi persis seperti dulu, menembus celah yang aku ciptakan usai membuka jendela depan lebar-lebar menyebabkan rambutku tampak bak hendak beterbangan bebas menuruti titah angin. Dasi kotak-kotak di selingkaran leher pertanda kebanggaan pada Presiden Joko Widodo turut melambai untuk bentangan alam negeri kincir angin seakan mereka mahfum tentang siapa Presiden Joko Widodo. Kurasa dasi kotak-kotak ini telah aku bendung memakai kancing jas sejak mengawali perjalanan tadi. Namun apa sebabnya dasi ini berkibar-kibar selalu ke sisi kiri? Aku tersadar kembali andai kancing jasku terlepas sendiri, entah bagaimana ia bisa melakukannya di luar perintah jari-jemari. Sejurus kemudian aku pendam kibaran sang dasi di balik sabuk pengaman. 

Pemandangan sepanjang garis jalanan tetaplah sama, tak mematut perubahan penuh arti. Terbentangnya padang rumput ilalang sejauh mata memandang, bertumbuhannya bunga-bunga di atas ladang, jua terpetaknya area telaga yang tiada kutahu buatan apa alami. Menatap lagi pemandangan itu, maknanya sama dengan mengulang kembali kisah-kisah pengembaraan dengan para bujang dan gadis. Mungkin inilah pengembaraan pertama tanpa ditemani anak-anak bujang walau para gadis cantik hanya mendiamkan diri, belum pernah aku ajak berbincang sejak pertama bersua usai memencar. 

Aku memperlambat laju mobil saat ku menjumpa satu truk trailer di depan. Truk trailer itu melangkah pasti seraya ia mengangkut peti kemas di punggung. Dalam sejenak aku mesti turut membuntuti langkah truk itu perlahan-lahan seiring niatku mendahului dengan mengambil jalan di sisi kanan. Saatku hendak membelokkan kemudi mobil, aku justru bersua dengan suatu bus yang hadir melalui arah berlawanan. Ini mendorongku agar lebih berhati-hati. Akan tetapi di tengah upaya ini, sekonyong-konyong aku mendengar suara salah satu dari empat gadis memanggil namaku. "Ehm. Herr Aldi, masihlah engkau menyempatkan menulis tentang nestapa akan celah nada bersabda?" Tutur kata Maureen membuatku terlonjak seorang diri laksana ingin melambung dari kursi kemudi. 

"Ya, tentu masih aku sempatkan diri menulis tentang nestapa sabda nada di tanah air segelintir tahun dewasa ini. Hal itu aku tunaikan kala diriku tengah tak bersamamu, duhai gadis cantik." Ah, bisa saja engkau bicara menyamai sesosok pujangga tersohor alam bumi, Herr Aldi. Demikian sanjungan pada diri sendiri usai sebelumnya memancing rasa tersipu malu-malu pada Maureen. Bersemu merah merona parasnya. Dan sepintas terbesit pada pikiranku untuk menghentikan mobil sejenak agar dapat menyampaikan cerita mengenai nestapa sabda nada teruntuk keempat dara cantik. Tetapi kurasa bercerita sambil ku bersauh di bahu jalan sudah jemu aku lakukan. Maka oleh karenanya, aku putuskan perjalanan terus dilanjut sampai ke tujuan. 

****

Tanah air Indonesia yang kian lama kian kucinta begitu raga kian jauh darinya, sejak lama sudah mengantongi banyak musisi-musisi legendaris nan berkualitas laksana Ebiet G. Ade, Chrisye, Keenan Nasution, Koes Plus, KLa Project, Kahitna, dsb. Ialah mereka para musisi ternama yang mematut masa kejayaan sepanjang era 1980-1990an. Kualitas lirik nan apik atau barangkali dibubuhi kata-kata puitis, menyebabkan nama para musisi tadi meroket tajam hingga mereka dikenal pula dikenang banyak anak manusia mencakup aku. Sejak remaja aku jelas telah terbuai akan lirik-lirik puitis para musisi yang tengah menikmati masa keemasan tatkala masa nada bersabda belum digelung nestapa. Pula ini merupakan musisi dengan karya yang mesti turut dinikmati kalangan generasi muda agar mereka tahu bilamana tanah air mengantongi banyak musisi legendaris nan berkualitas, tiada hanya para musisi masa kini dengan karya yang rata-rata tiada berkualitas apik bak musisi lawas. 

Era 1980-1990an mengucap selamat tinggal, awal era 2000an masa sabda nada diisi oleh Sheila On 7 yang sedang menikmati masa kejayaan karena lirik-lirik puitis disusul Peterpan tahun 2003. Dalam sorot kelopak mataku akan kenangan masa lalu, Peterpan dan Sheila On 7 telah sanggup memperindah masa sabda nada tanah air. Peterpan sendiri di bawah perintah Ariel, Uki, Lukman, Reza, Andika pula Indra saat itu membuntuti jejak Sheila On 7 hampir sepanjang era 2000an hingga Peterpan mengalami perpecahan di tengah masa kejayaan sabda nada, tatkala Andika-Indra berani mengambil keputusan 'tuk mengucap selamat tinggal penghujung tahun 2006. Kuingat jua kutahu, perpecahan itu terjadi sebelum penerbitan album "Hari yang cerah..." tertanggal 25 Mei 2007 pada tiap larik cerita. 

Bisa kutambahkan, gubahan para kurcaci dalam larik tentang "Hari yang cerah..." pernah terbayang olehku bila itu menggambarkan lagi beragam kenangan yang disirat sepanjang masa belajar pada bangku Kelas 2 SD. Dan suatu kesalahan terbesarku, ialah menarik bayangan andai larik tentang "Hari yang cerah..." terbit entah awal 2007 ataulah pertengahan hingga akhir 2006 sebelum kutahu itu hadir di penghujung masa belajar kelas 2 SD. Tak seindah yang kubayangkan, demikian bunyi tasbihku pada awal masa belajar di kelas 3 SD. 

Puncak kejayaan masa nada bersabda tentu kisaran 2008-2010 tatkala kujumpai banyak musisi baru memperkenalkan diri pertanda kecerahan masa nada bersabda. Manusia banyak menikmati puncak kecerahan masa ini sebelum para musisi-musisi tersingkir akan kehadiran boyband-girlband, prolog penanda bermulanya suatu era baru. Pada titik ini, aku mesti sudi mengakui kejayaan boyband-girlband yang dicirikan dengan banyak bermunculannya spesies ini di segala penjuru tanah air meski tak bertahan lama pula terlebih lagi ketika Peterpan bangkit dengan mencatut nama "Noah." Pula disinilah nestapa teruntuk masa titah sabda nada menemukan prolognya. Era boyband-girlband meredup dengan pasti, namun tiada jelas jenis musisi apa yang kini berada dalam kejayaan.

Aku mencoba mengajukan tanya untuk jutaan rumput-rumput ilalang bergoyang di langit fajar ini. Adakah dampak lain akan keredupan masa sabda nada di balik anjangsana yang selalu menebahnya? Kutampak Gloria seperti membaca pikiranku. Pada anjangsana penebah rindu ini, aku menemukan adanya dampak lain dari redupnya masa sabda nada. Duhai anak-anak bujang, wahai anak-anak gadis, andai kalian menyadari di sekeliling kalian, aku yakin tentunya kalian tahu bila titik sumber nada-nada bersabda dalam suara yang terekam kini telah menutup diri. Era kecanggihan teknologi yang bermula sekarang, hari ini jua entah sampai kapan dapat menebahkan sabda nada yang terjatuh pada suatu anjangsana. Pundi-pundi benih ladang penghidupan musisi kini tak tentu di mana sumber mata airnya. Terakhir, andai kalian menjumpa layar kaca televisi, sabda nada akan kian jarang kalian jumpa bahkan di saatnya sekalipun. Atau jikapun kalian tetap memaksakan kehendak menjumpa sabda nada, ia sudah lenyap oleh gurauan-gurauan hampa makna tiada jelas tujuan.

Dan inikah sebab mengapa Noah tak amat melejit bagai Peterpan sebagai wajah lamanya dahulu? Mengapa titik kejatuhan mereka justru mendorong mereka bangkit di kala masa sabda nada tergelung nestapa? Barangkali jawab yang terbaik adalah tanya yang terakhir ini, Herr Aldi.

                                                                            ****

Sontak, aku bagai tercekat angin pagi usai menyebut nama musisi favoritku usai KLa Project, Chrisye jua Kahitna. Kesadaranku bak telah dikembalikan sepenuhnya pada palung jiwa ini seiring dengan kemunculan tanya para gadis. Mereka kini tak bicara tentang sabda nada. Justru mereka mengisahkan lagi pengalamannya meniti ladang bunga yang mengundang senyum manis pada parasku. Sepertinya aku bisa menjadi penebah sunyi milik hati para gadis dengan banyak cerita. Ah, Gloria, Maureen, Stevie pula Si gadis bunga... Kalian ialah inspirasiku menggores pena demi membariskan ribuan cerita agar disimpan pada hati. 

Matahari melukis cahayanya lebih anggun menerpa wajahku bersama para gadis, menambah semangatku mengemudikan mobil lebih cepat sampai ke tepi garis Samudera Atlantik dalam yakin tentang hari yang cerah bagi jiwa yang selalu menaruh rindu. Dan di ujung kisah, aku menaruh harap agar dapat kembali berjumpa dengan para bujang di lain hari. 

Tertulis, kisah seorang Guru Bahasa Jerman.

Bandung, 18 Desember 2016
Pukul 07.10 WIB

- Herr Aldi Van Yogya -

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi