Ku Mulai Bertanya

 
Sumber gambar: LINE "Teladan Rasulullah"

Perjalanan München-Düsseldorf, Jerman, di tengah senjakala akan petang itu. 

Larik cerita ini masih seperti kemarin. Jelas. Aku si guru muda asal tanah air tetap mengemudi mobil VW Kuno yang telah pula selalu hadir sebagai kawan bisu pada setiap larik ceritaku tepat di atas segaris jalanan yang terbentang dari München jauh di batas tenggara sana hingga Düsseldorf tak jauh dari tepi perbatasan barat bersama Negeri Belanda. Dipeluk payung langit yang telah melukis warna jingga semakin tulen, aku dapat merasakan angin senja yang berhembus perlahan menembus celah jendela mobil sampai meniupkan dasi kotak-kotak di balik rompi jua jas kelabu lepas menyambut Presiden Joko Widodo, kepala negara kebanggaanku dewasa ini. Dasi kotak-kotak itu melambai indah menyapa angin seiring dengan diekorinya mobilku oleh dua unit bus di belakang. Entah kemana mereka akan menuju. 

Andai Jerman Timur belum lekas meninggalkan sejarah bersama Jerman Barat, pastilah aku yakin sepenuh hati bila perjalanan ini ialah perjalanan lintas Timur dan Barat. Hal tadi akan selalu menyisakan cerita unik sepanjang hikayat hidup ini. Tetapi, kini cerita tinggallah cerita. Puluhan tahun silam kedua Jerman memutuskan kembali bersatu dan perjalanan lintas timur menuju barat sudah tak dapat aku tunaikan. Kini cukuplah aku mematut nama kota asal mula perjalanan diawali sebelum kota tujuan terakhir tempatku bermuara di negeri Panser ini. 

Senjakala akan petang yang hadir melalui pelukan langit Jerman kali ini aku rasa kian lama menjadi kian sunyi. Jalanan ini jelas telah senyap. Kendaraan yang pergi melintas pun tak sebanyak di pelukan fajar atau siang dan kutampak sekali lagi pemandangan di sekeliling jalan, sunyi sekali lagi aku katakan. Gembala-gembala peternak pastilah telah kembali ke rumahnya lepas mengistirahatkan para serdadu hewan ternak. Anak-anak kutilang atau boleh jua gelatik aku yakini mereka telah terbuai dalam belaian sang induk nun jauh di sarang ranting pepohonan itu dan pantas aku tak lagi mendengar suara mereka walau saat ini adalah selarik senjakala akan petang. Dan perlahan namun pasti, palung ragaku lantas mengisyaratkan lelah agar dapat mengambil istirahat sejenak di pinggir jalan. Sudi aku menghadap ilalang-ilalang menari, akan tetapi aku jemu menjumpainya. Kuingin berjumpa lagi bersama selayang-pandang alam, tetapi ku tak tahu mana yang ingin kujumpa. 

Tetapi, jemu menjumpa ilalang-ilalang menari itu dalam seketika lenyap laksana api lilin pudur ditelan angin senja tatkala sorot kelopak mataku menjumpai sesosok bayangan seorang gadis yang aku kenal. Samar-samar dari jauh. Tentu. Namun menampak sekelabat bayangan yang duduk berdiam diri menghadap sebidang telaga tak begitu luas dengan ilalang menari jua lelambaian bunga cantik sebagai pagar batas telaga. Mengingatkanku pada momen kala aku bercerita mengenai senja yang tak sampai di tepi garis Selat Sunda bersama kawan-kawan saat masih menyambangi Belanda dulu dan jelas aku mengingat lagi bayangan akan si gadis bunga pujaan hatiku. Lelambaian bunga cantik selalu kulihat sama dengan keelokan garis wajahnya pada kelopak mata. Lantas, aku menepikan mobil perlahan-lahan di bahu jalan seiring dengan berlalunya dua bus tadi. Ah, barangkali mereka tengah menempuh perjalanan ke Düsseldorf. Sepertinya hanya sampai jumpa yang dapat kuucapkan kini. 

Benar, sangat benar. Aku sudah pasti mengenali sosok gadis yang tadi aku tampak sedang mendiamkan diri di tepi telaga buatan tadi. Dialah Gloria, salah satu dari empat dara cantik yang selalu duduk di sekeliling sisi ragaku. Biasanya gadis berambut selingkar batang leher di atas kulit sawo matang ini selalu mematut paras nan cerah ceria bilamana ia berjumpa denganku persis Stevie. Maureen dan Si gadis bunga tak ketinggalan dalam perihal ini. Tetapi hal tersebut bagai tak berlaku bagi Gloria sekarang. Aku tatap wajahnya lebih dalam lagi, basah mengambang di matanya tanpa kuketahui dengan pasti apa yang bersarang di keningnya. Kedua pundak Gloria pun turut melonjak-lonjak tatkala basah mengambang kian banyak. Enggan berbicara lebih jauh lagi, Gloria segera kuajak berbincang dengan tenang mengenai masalah yang sedang melingkupi tubuhnya. 

"Herr Aldi, kayaknya herr beruntung banget ya tadi bisa ketemu Presiden Jokowi. Pasti bisa selfie bareng." Saat ini aku terlonjak keras mendengar tutur kata Gloria tadi. Ia tampak sedih lantaran tak dapat menjumpai Presiden Joko Widodo di tengah keramaian Kota München tadi dan ia menuturkan pada jiwa-raga nan lelahku bila saat aku menjumpa Presiden Jokowi, rupanya Gloria mesti turut menemani Maureen jua si gadis bunga membelah keramaian Aachen, kota yang dahulu pernah ditinggali BJ Habibie sang cendekiawan langit kala ia menempuh masa belajarnya ketika masih muda. Lalu Gloria menarik keputusan tuk memisahkan diri dengan Maureen dan Si gadis bunga hingga dirinya berlabuh di padang rumput ini seorang diri. Jelas ulah gadis cantik ini membuatku termangu-mangu seorang diri. Apa sebabnya ia mesti berpisah dengan kedua kawannya yang pula kawanku hingga ia mesti menghabiskan senja di padang rumput seorang diri? Ku mulai bertanya di titik ini. 

Jujur perlu kutepikan, lepas ku mulai bertanya di titik awal ini bukan jawaban yang kujumpa melainkan pertanyaan-pertanyaan lain yang justru berkecamuk di ruang benak. Pertanyaan-pertanyaan itu kutampak sama dengan yang dahulu pernah berkecamuk di ruang benak pada kisah perjalanan masa remajaku dulu. Ingin kuajak Gloria bicara tentang ini, namun hati telah kepalang tak sudi mengajak Gloria sebab dengan telinga kepala sendiri kudengar ia terlihat semakin sedih mendorong air matanya melimbak-limbak mencipta gelombang kecil menerjang kulit paras cantiknya. Alhasil kubiarkan diri sendiri mengingat lagi kecamuk pertanyaan tadi. 

                                                                       ****

Awal tahun 2016 laksana hadir sebagai tonggak impianku tuk bekerja sebagai seorang Guru Bahasa Jerman dengan menjumpa kehadiran Stevie di ruang kelas. Persis seperti yang telah kutepikan di larik cerita terdahulu, dirinya merupakan murid kesayanganku yang akan selalu memanggilku menggunakan sebutan "herr" di jam pelajaran Bahasa Jerman pula di luar jam Bahasa Jerman. Usianya 13 tahun, masih sangat belia dan lepas beranjak remaja. Di titik itu aku merasa sangat yakin aku dapat menunaikan saat-saatku bersama Stevie di sekolah. Senyum manis kubayangkan akan selalu mengembang di paras cantiknya terlebih lagi ketika Stevie malu-malu ditanya telah menambat hati tuk jatuh cinta pada seorang bujang atau belum. 

Waktu demi waktu terlewati lepas ku menghadirkan Stevie pada larik cerita setiap saat. Dan semakin lama, sosok Stevie sukar kuhadirkan pada larik cerita karena sebab yang masih aku pertanyakan. Tiga dara cantik yang tak lain tak bukan ialah Si gadis bunga, Maureen dan Gloria. Mereka hadir pada anganku demi meniti cerita sampai aku tampak seperti hampir mengkhilafkan Stevie. 

Terbuaikah diriku pada kecantikan tiga dara itu? 

Tentu. Pesona akan keelokan garis wajah tiga dara tadi rupanya telah berhasil meluruhkan relung hatiku agar tak pernah bosan memuji kecantikan mereka. Andai sudah begini, pastilah para gadis akan menggurat raut bersemu merah merona pada parasnya demi mengartikan rasa tersipu malu-malu dari hatinya. Hal tadi pernah aku tunaikan hingga membuat Gloria dan Maureen tersipu. Ku mulai bertanya seraya ku menyanjung diri sendiri. Bisa saja engkau membuat para gadis tersipu malu. Dan entah apa sebabnya si gadis bunga tak pernah menggurat raut tersipu malu tatkala aku memuji keelokan parasnya. Tak merasakah ia jatuh cinta persis diriku mencintai si gadis bunga? Atau mungkin ia tak merasa begitu cantik, padahal bagiku ia sangat cantik sampai aku jatuh cinta padanya.

Lupakan kecantikan para gadis. Saat ini aku ingin bertanya lagi tentang kisaran usia Stevie. Awal tahun ini aku sangat yakin di usianya yang masih semuda itu ia sudah dapat belajar Bahasa Jerman bersamaku. Tetapi, secara akademis rasanya tidak mungkin aku mengajarkan Bahasa Jerman pada Stevie saat usianya masih berkisar antara 12-13 tahun. Belum cocok dan bila ku tetap ingin mengajarkan Bahasa Jerman pada Stevie, paling cepat baru bisa di usia 15 tahun. Sama dengan aku dulu. Selepas mempertanyakan kecocokan Stevie belajar Bahasa Jerman menurut kisaran usianya, sekarang aku mulai bertanya tentang jalur pendidikanku selepas masa remaja berlalu. 

Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) jurusan Pendidikan Bahasa Jerman sudah pasti merupakan tujuan utamaku mengawali mimpi. Dari tempat ini, jalanku menuju mimpi akan terbuka lebar dengan begitu mudah sebab kuingin lagi mendalami perjalanan masa remaja sepanjang hayat. Namun, kendati demikian apakah aku bisa menikmati semilir angin di titik awal derap langkah milik para guru? Bisakah aku hadir sebagai guru terbaik? Tidak tahu. 

Aku bertanya lagi pada Kampus Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) di pinggir tanjakan Jalan Ciumbuleuit. Peluang mengorek celah menuju jurusan Hubungan Internasional alias HI sudah pasti terbuka begitu lebar persis minat awal tuk bekerja sebagai seorang diplomat demi menjamah beragam sudut bumi. Hanya saja saat ini aku sudah tak begitu tertarik dengan jabatan diplomat. Niat sudah aku hunuskan tuk bekerja sebagai guru dan HI Unpar pun turut menawarkan peluang jadi guru walau tak akan selebar Bahasa Jerman UPI. Melalui jurusan yang mana aku bisa bertemu Stevie? Kemanakah diriku pergi selanjutnya? Kita lihat saja nanti. 

Usai kutanyakan Kampus UPI dan Unpar, aku menanyakan lagi kehadiran Stevie bilaku sudah mematut status guru pada diriku nanti. Akankah aku benar-benar menjumpa Stevie persis seperti deskripsi yang aku tuangkan pada berlembar-lembar kisah? Adakah dirinya yang fasih berbicara Bahasa Jerman menyamaiku lantaran pernah mengikuti ibunya tinggal di Jerman saat kecil dulu? Ataukah ia hanya hadir sebagai bunga pemanis bersalut pengindah bayang pikiranku? Siapa yang nanti akan jadi murid-muridku di ruang kelas dan memanggilku dengan sebutan "herr?" Jawaban ini masih aku biarkan menggantung di langit-langit mimpi.

Mencoba bertanya lagi, lantas apa sebab utamaku selalu memupuk semangat mengejar semangat tuk bekerja sebagai guru? Masa remaja yang indah boleh aku pilih sepenuh hati biar setiap masa akan menemukan keindahannya sendiri tatkala tiba waktunya, mencakup masa kuliah nanti. 

Pada masa-masa penghujung ini pun aku mulai mencoba bertanya mengenai siapa gadis yang sudi menemaniku dalam gelar belahan jiwa. Andai boleh aku memilih, sepertinya Gloria dan Si gadis bunga-lah pilihan terbaik. Namun jelas aku memilih si gadis bunga untuk menambat rasa cinta sedang Gloria, kurasa hanya sebagai tempat rasa kagumku berlabuh. Cinta, ialah sepenggal rasa yang akan selau hadir menemaniku dalam sunyi bersalut sendiri. Kemudian sebelum larik tulisanku mencapai epilognya, aku masih ingin menanyakan lagi rasa kepercayaanku terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo belakangan ini. Boleh kuakui, pemerintahan beliau sekarang acap kali mengalami keguncangan karena suatu prahara besar yang tengah membekap tanah air pula dengan sedikit kecewaku pada pemerintahan beliau, pertanda dukungan pula kepercayaanku sedang goyah.

Aku bolehlah sedikit kecewa karena niat menghapus upaya evaluasi pembelajaran secara serentak tak jadi ditunaikan, tetapi menanamkan kebencian pada Presiden Joko Widodo bagiku ialah hal paling sukar yang pernah aku rasakan. Dua tahun sudah aku mendukung upaya beliau mengubah tanah air dan oleh karena beliaulah aku diilhami inspirasi agar turut membuntuti jejaknya mencapai kursi presiden. Presiden Jokowi pun lahir dalam lingkup bulan dan zodiak yang sama denganku, Gemini dari prolog hampir mencapai epilog bulan Juni kendati terpaut jarak kelahiran 38 tahun. Dukungan kuat tetap kuarahkan pada beliau, karena beliau menyandang gelar "insinyur" serta Indonesia mengumandangkan proklamasi kemerdekaan di bawah tangan seorang insinyur kelahiran bulan Juni, mendiang Presiden RI ke-1 Ir. Soekarno. 

                                                                         ****

Air mata Gloria belum sudi menghentikan gelombang kecilnya lepas aku tersadar dari lamunan yang tadi buyar. Isaknya masih kudengar sepenuh jiwa menghayati seraya bahunya terus berguncang-guncang. Kutahu, Gloria kini masih merasa tekanan yang begitu kuat menghantam palung jiwanya serta berulang-ulang, ia menyeka mata mengenakan punggung tangan kanan sebelum ia mengusap itu pada permukaan paha kanan. Dipeluk lelambaian ilalang pada sekelilingku, aku berupaya menenangkan Gloria kala jemariku menepuk-nepuk pundaknya secara perlahan. Gelombang air mata Gloria masih belum sudi berkenalan dengan sang epilog terkecuali jatuh ke telapak tanganku dan merambat pelan diresap pori-pori kulit. 

Selayang pandang garis senja di perjalanan dua kota negeri panser ini digurat kian jelas bagai memahami isi pembicaraanku dengan Gloria. Satu-dua ekor, ternyata burung-burung Kutilang jua Gelatik senja pun masih sudi bercericit walau suaranya telah melemah. Aku tahu, cericit itu datang dari burung-burung yang belum kembali terbuai pelukan sang induk di sarangnya pada pepohonan rimbun. Kubertitah sekali lagi pada Gloria agar dirinya banyak memanjatkan doa untuk ketenangan ruang hatinya. Angin pun bertiup semakin kencang menandakan matahari sudah semakin terbenam jauh di ufuk timur mengucap selamat tinggal untuk sementara waktu. Ingin aku bertanya lagi, tetapi di waktu senja ini aku sudah jarang menampak burung-burung Kutilang bersama Gelatik... ☺☺

Tertulis, kisah dan cerita seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan. 

Bandung, 10 Desember 2016
Pukul 07.25 WIB

- Herr Aldi Van Yogya -

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi