Akar prahara tiada ujung

 
Sumber gambar: HD Wallpapers

Sepi sudah situasi di tiap sudut sekolah, senjakala ini. Murid-muridku, sudah kembali ke masing-masing rumah agar dibuai pada belai ibunya persis bagai anak-anak kutilang ataulah gelatik yang telah kembali ke sangkarnya. Aku termangu seorang diri di ruang kelas nan sunyi ini. Menatap lagi seluruh sudut kelas cukup satu hari jelang masa libur panjang ini. Tinggal aku sendiri yang belum beranjak pulang pada sangkar di senjakala. Aku mengingat lagi akan senang dan sedih menjelang sepenggal masa libur panjang. Dapatlah senang karena tiada banyak beban menggantung pekat, namun haruslah sedih lantaran takkan menjumpa murid-murid mencakup Stevie. Kuyakin sepenuh hati, saat ini jua ia telah terbuai pada belai sang ibu. 

Andai ku menjumlah lagi perjalanan hari, baru aku tersadar belakangan ini bilamana telah lama aku tak menggurat lagi beragam kisah tentang anak-anak dara bersama bujang di sekolah sebagaimana isi larik ceritaku di pembuka tahun. Sedikit-sedikit, cerita akan kuisi dengan jumpa bersama Stevie, atau sesekali mengungkit lagi cinta pada si gadis bunga. Namun perlahan-lahan, memori perjumpaan bersama Stevie di samping terungkitnya cinta pada si gadis bunga laksana pudar bak digelung angin topan yang aku ciptakan sendiri. Kian hari, kian banyak cerita mengenai pengembaraan lintas kota-daerah di atas tanah Eropa sana. Belanda ialah tanah yang paling sering aku sebut ketimbang Jerman. Jelaslah kontras dengan profesiku, Guru Bahasa Jerman sama dengan perihal yang pernah kutulis di sini. 

Pengembaraan itu tak sebatas pengembaraan belaka. Sebab aku tahu pasti, dalam pengembaraan bersama kawan-kawan terbaik mencakup para anak-anak gadis aku seakan-akan mentasbihkan diri sebagai sesosok guru yang gemar mengingat masa lalunya agar di lain hari dapat kuceritakan sebagai tongkat utama penebah sunyi dalam suatu anjangsana. Penebah untuk secarik anjangsana. Jiwa hampa ini seakan bicara pada diri yang turut hampa ini. Kalimat itu yang selalu aku ulang pada segelintir cerita dewasa ini. Apa sebabnya aku mesti demikian? Inspirasi tentang penebah untuk anjangsana aku terima melintasi hasil tulisan sang pujangga tersohor bumi, Kahlil Gibran biar sejatinya itu mengandung sedikit kebohongan kecil. Kata "anjangsana" aku rekam baik-baik melalui setangkup buku mengenai perjalanan mendiang Jenderal Soeharto, sang panglima pertempuran penuh senyum pada puluhan tahun ia berkuasa dengan gelar kepala negara. 

Permukaan kemeja kotak-kotak pada tubuhku ditiup semilir angin senja yang hadir menyapa melalui celah kaca jendela. Suasana di pelataran sekolah pun telah senyap. Baru sepelemparan waktu aku saksikan anak dara dan bujang pulang berduyun-duyun menikmati masa bahagia. Aku pula semestinya sudah sama dengan mereka. Bila saat ini, detik ini jua aku bersandar pada sebilah batang pohon seraya ku menghadap hamparan ilalang menari, tentu akan aku putar ingatanku setentang akar prahara yang takkan pernah menemui ujung. Jawab tak sampai agar lebih singkat, duhai anak dara dan bujang. Berandai-andai lagi aku, di tengah persandaranku pada sebilah batang pohon aku mendengar suara rumput diinjak-injak sepasang remaja yang sedang begitu larut dalam belai cinta. "Sudikah dirimu bilamana engkau ditasbihkan sebagai pelengkap hidupku?" Sang anak bujang bertutur demikian pada sang anak dara yang menyungging senyum malu-malu. "Sabarlah duhai anak bujang tampan. Bilaku telah siap ditasbihkan, maka sudilah aku melengkapimu." 

Cukup aku membayangkan sambil ku terlonjak pada tekanan kecil disebab bayanganku yang menangkap Stevie hendak ditasbihkan 'tuk melengkapi hidup sesosok bujang tiada jauh darinya. Dan segera kubiarkan bayangan tadi lenyap tersapu angin senja. Bayanganku mengenai persandaran cinta pada sebilah batang pohon yang menjorok tepat ke arah hamparan ilalang di sini tak seindah persandaran di Eropa. Terlebih lagi kehadiran tiga dara cantik mengelilingi jiwa-raga. Ujungnya aku lepas bayang-bayang persandaran demi mengenang lagi masa lalu yang ada waktunya terlupa. 

"Pulanglah segera, Herr Aldi." Perintah dari belakang punggungku terasa membuyarkan lamunan senja. Kutolehkan wajah ke belakang, dan kujumpa sesosok pria mematut diri di depan relung pintu kelas. Cukup senyumnya yang aku tatap sebelum menepikan jawaban untuknya. "Tunggulah dalam sejenak, duhai anak muda. Aku belum menyempatkan diri mengemas kembali berlembar-lembar kertas di atas meja." Bahasa gaul yang dahulu acap kali aku sisipkan dalam cerita ini, kini tampak bak lenyap tiada tentu rimba. Seakan kuingin ditampak persis seorang pujangga tersohor. Ah, tak perlulah engkau melantur begitu jauh, Herr Aldi. Tunaikan niatmu 'tuk hadir sebagai seorang guru. Aku menyanjung diriku sendiri seraya mengemas lembaran kertas ke dalam tas. 

Kemeja kotak-kotak ini sengaja aku kenakan di hari terakhir masa menimba pundi-pundi ilmu untuk mengartikan kesenangan seluruh anak-anak manusia. Anak manusia mana yang tiada bahagia, sahabat? Kulangkahi lorong sekolah yang sudah benar-benar senyap. Berjalan pada hati yang hampa seraya meniti bahagia. Dan aku jumpa semilir angin senja yang belum beranjak pergi ditelan pekat malam. "Sampai jumpa di lain masa, karena ini waktunya untuk selalu pulang." Gumamku seorang diri begitu menstarter mesin mobil. Sepanjang jalan melintasi kota satelit impian sejak masa remaja, kutengok sisi kanan dan kiri, hamparan ilalang bergoyang melambai-lambai pelan dalam pelukan matahari yang tampak mulai menggurat warna jingga. Tersenyum aku menampaknya biar hati sendu mengingat pengembaraan dengan para gadis pula bujang, nun jauh di tanah Eropa sana.

Terkenang ku tentang persandaran cinta. Teringat lagi akan wajah Gloria, Stevie, Maureen dan Si gadis bunga, gadis-gadis peluluh ruang hati biar aku mesti merepih akar prahara tiada ujung yang selalu ditebah dengan kapak cinta. Namun itu tak begitu buruk rupa, sebab para gadis ditasbihkan sebagai hal terbaik yang pernah kupunya dan andai mereka disini, yakin sepenuh hati aku tentang mereka yang tersipu malu-malu saat kukatakan itu. Aku selalu merindukan kehadiran kalian. Lalu adakah epilog terindah untuk berangkai-rangkai cerita yang aku torehkan sepanjang tahun ini? Dapatkah aku meniti jalan cerita yang baru, pengusir jemu bagi para pembaca? Tiada kutahu. Ini hanya akar prahara yang tiada pernah memeluk ujungnya.

Tertulis, kisah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan.

Bandung, 22 Desember 2016
Pukul 05.05 WIB


- Herr Aldi Van Yogya -

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi