Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2017

Surat di Epilog Januari (2)

Gambar
Sumber gambar: http://www.ebay.com.my/  Bandung, 28 Januari 2017 Terlampir bagimu sahabat-sahabat Yang menghias jiwa nan sunyi.  Assalamu'allaikum Wr. Wb.  Kututurkan sekali lagi, apa kabar sahabat-sahabat tercinta nun jauh di tanah rantau sana? Pasti akan selalu dinanti kabar baik yang tercipta dari kisah kalian. Bila dipikir lagi, rupanya lama sudah aku tak bertatap wajah dengan kalian dan jumpa terakhir yang pernah kita tunaikan sepertinya tertinggal jauh di penghujung tahun lalu. Banyak cerita sudah yang aku kisahkan pada kalian. Dan kini hanya dapat melalui lembaran-lembaran surat aku mewartakan kisah yang aku rasakan sendiri. Tanpa banyak bertutur lagi, langsung aku kisahkan seluruh kenanganku di epilog Januari.                                                                           **** Tiada pernah dirasa Januari mencapai penghujungnya sudah. Januari ialah bulan yang amat kukagumi sejak menyongsong masa remaja dan pastinya ada cerita yang ters

Surat di Epilog Januari

Gambar
  Sumber gambar:  Identity Evropa Bandung, 24 Januari 2017 Untuk sahabat-sahabatku, anak bujang & gadis Nun jauh di rantau sana Assalamu'allaikum Wr. Wb.  Kuucap apa kabar teruntuk kalian semua nun jauh di rantau sana. Harapnya agar kalian dibekap suasana-suasana indah yang mencipta nuansa baik teruntuk kalian pula aku.  Teruntuk saat ini, aku mengantongi sudah cerita selingkaran Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla. Jelas aku tahu, sebagian dari kalian jelas tak mengambil bagian agar mendorong mimpi indah dua pria ini disebab kalian lebih memilih 'tuk memandang para pemimpin tersebut dari lain sisi. Tapi tak mengapalah, melalui surat yang aku tulis saat aku dibekap kesendirian ini aku harap kalian dapat menikmati cerita tentang mereka pun semoga ini dapat ditasbihkan sebagai cerminan hidup nan baik.  "Lempar panahlah dan berkuda, namun kalian memanah lebih kusukai daripada berkuda." - Hadits Riwayat Imam Muslim.

Ranah 3 Warna (Kutipan chapter "Pulang Kampung," hal.467-469)

Anak-anakku... Akan tiba masa ketika kalian dihadang badai dalam hidup. Bisa badai dari luar diri kalian, bisa badai di dalam diri kalian. Hadapilah dengan tabah dan sabar, jangan lari. Badai pasti akan berlalu. Anak-anakku... Badai paling dahsyat dalam sejarah manusia adalah badai jiwa, badai rohani, badai hati. Inilah badai dalam perjalanan menemukan dirinya yang sejati. Inilah badai yang bisa membongkar dan mengempaskan iman, logika, kepercayaan diri, dan tujuan hidup. Akibat badai ini bisa lebih hebat dari badai ragawi. Menangilah badai rohani dengan iman dan sabar, kalian akan menjinakkan dunia akhirat. Anak-anakku... Bila badai datang. Hadapi dengan iman dan sabar. Laut tenang ada untuk dinikmati dan disyukuri. Sebaliknya laut badai ada untuk ditaklukkan, bukan ditangisi. Bukankah karakter pelaut andal ditatah oleh badai yang silih berganti ketika melintas lautan tak bertepi? (Tulisan tangan Kiai Rais kepada santri-santri Pondok Madani di buku angkatan milik Alif.)

Bergelunglah prahara

Gambar
  Engkau adalah segelintir dari beribu anak manusia yang diterjunkan ke muka bumi melalui cinta ayah dan ibumu untuk mencipta bahagia walau mesti diiringi prahara yang bergelung sedemikian erat pada hidupmu. Engkau adalah anak-anak panah yang selalu diperintah agar membidik cinta-kasih dalam bahagia, walau akan ada kalanya engkau membidik lain sasaran yang menjalarkan prahara. Namun tak mengapa itu terjadi sebab engkau memang dicipta di muka bumi untuk mereguk prahara sebab itulah tujuan hayatmu sejatinya. Andai engkau tak mereguk prahara lagi, takkan engkau hidup kembali disebab tiadanya tujuan tentang hayat.  Bergelungnya prahara di Bulan Januari memaksaku agar mesti mengudap selarik kalimat bijak gubahan pujangga nada anyar, "NOAH." Andai engkau berpikir, lama sudah aku tak menggurat berlarik-larik cerita pada lembaran ini. Dipasal apa? Sebab banyak prahara yang tampak sekonyong-konyong membekap aku tiada pernah aku undang. Beragam prahara bak menyurutkan semangat

Epilog Rantau 1 Muara

Di langit pagi, di atas Samudra Atlantik... Alhamdulillah, hari ini telah aku tunaikan teladan dan petuah para pengembara besar dunia seperti Imam Syafii, Ibnu Batutah dan Marco Polo. Bertualang sejauh mata memandang, mengayuh sejauh lautan terbentang, dan berguru sejauh alam terkembang. Aku ajarkan badanku untuk berani berjalan melintas daratan dan lautan, mencicip rupa-rupa musim, mengenal ragam manusia. Aku bujuk jiwaku untuk tidak pernah kenyang berguru dan terus memahami tanda-tanda yang bertebaran di bawah tudung langit.  Akulah si perantau ragawi. Akulah si pengembara rohani. Akulah si pencari yang terus menderapkan langkah, berjalan dan berjalan terus, karena aku yakin suatu saat akan sampai. Sejauh mana pun aku mengembara, keseluruhan hidup pada hakikatnya adalah perantauan. Suatu saat aku akan kembali berjalan pulang ke asal. Kembali ke yang satu, yang esensial, yang awal. Yaitu menghamba dan mengabdi. Kepada Sang Pencipta. Hari ini pula, di atas pesawat yang menerba

Terhampa, hati di sore hari Minggu

Gambar
Penerbangan Frankfurt-Singapura, menjelang hari menemukan akhir. Dingin yang kian senja kian menawan, masih aku tahan dengan kembang-kempisnya pelupuk mata seiring dengan melintasnya pesawat tepat dalam ketinggian 33.000 kaki di atas perairan Teluk Benggala, India tatkala masih aku meniti perjalanan membelah tudung langit yang bermula dari ujung landasan di Bandara Internasional Frankfurt dan bersegera menemui sang epilog tepat di ujung landasan Bandara Internasional Changi, Singapura. Terkantuk-kantuklah aku sejak tiga jam terakhir penerbangan bersama Lufthansa LH 778, bak ingin lebih tinggi lagi terbang walau telah terbang tinggi kini. Aku tatap lagi pemandangan di luar kaca jendela pesawat, awan berduyun-duyun sudah menuju pelukan senja tepat di sore hari Minggu. Terhampalah hati menampak pemandangan di senja penuh sedih ini.  "Männer und Frauen, das ist euer flug-kapit än sprachen. Jetzt wir haben noch fliegen in das höhe-level von 33.000 füß  über Benggala Bucht

Kota mati, bersauh aku padanya

Gambar
  Sumber gambar:  7-themes.com Alkisah, semburat cahaya senja yang hadir hari ini aku tampak bak hadir membawa keheningan yang melebihi keheningan senja lain sepanjang hayatku belakangan ini. Di salah satu sudut kota, aku putuskan sudah agar aku dapat menyendiri dalam perenungan lebih jauh mengenai heningnya hati yang tampak bak kota mati tempat aku bersauh padanya usai meniti perjalanan entahlah itu lepas hadir agar murid-murid dapat berguru atau pengembaraan jarak jauh dengan ditemani kawan-kawan terbaikku. Dan pada epilog, aku tampak keheningan senja kian erat mendekap hati pula tubuh yang telah didekap lelah terlebih dahulu. Ingatan ini hampa, hanya mengingat lagi sosok-sosok manusia yang pernah menemaniku pada cerita. Kini mereka lenyap kembali, tiada tentu rimba hati berbicara lebih jauh.  Aku mengutip lagi salah satu lagu gubahan para kurcaci tampan pada hari yang cerah.                                                                                              

Dan, tetap aku di sini

Gambar
  Sumber gambar:  Hipwee Gemericik air sungai, dalam fraksi sepersekian detik menari-nari memecah lorong kesunyian yang tercipta di bayang-bayang taman langit senja hari ini. Semilir angin melambai sedemikian cepat, pertanda semilir angin sepenuh jiwa berpihak pada langit senja. Dan di ruang waktu yang bersamaan jua, aku terduduk bersandar ke sebilah batang pohon yang tertancap sekian tegaknya melingkupi segelintir ilalang kecil yang menari bergoyang. Hampa sesosok tunggal tak pernah merenungi senja ditemani kawan-kawan terbaik lagi sampai hari ini pun lepas anjangsana bulan lalu. Beberapa minggu sebelum berpisah dengan tahun lama.  Dan, tetap aku disini. Tiada pernah beranjak mengarungi bumi menuju sudut lainnya. Padang rumput Eropa tak lain tak bukan adalah tempat terbaik bagiku 'tuk beristirahat melepas penat dikarena hembusan anginnya yang tampak begitu sempurna ketimbang padang rumput di kota satelit. Mulanya sudah kubayangkan andai padang rumput kota satelit terluk

Prahara laut Januari

Tercetusnya api di tengah sumbu kapal laut hanya satu hari berselang selepas miliyaran anak manusia dengan begitu gembiranya menyambut tahun baru lepas mengucap selamat tinggal pada tahun terdahulu, spontan menghentak ruang hati banyak orang. Berkisahnya api yang dengan amat sangat lahap menggelung badan Kapal Motor (KM) Zuhro teruntuk jalur pelayaran Muara Angke-Pulau Tidung segera menghiasi kelopak mata banyak anak manusia dikarena kapal tersebut tengah pergi berlayar sambil ia mengangkut 247 penumpang yang sebagian dapat menyelamatkan diri, dan sisanya mesti ikhlas digelung oleh betapa garangnya bara api. Dan entah, apa wujudnya nasib sebagian anak manusia yang masih belum dapat ditampak lagi.  Kisah bersalut berita sedih tersebut rupanya tak menjatuhkan diri sesosok guru muda yang tiada pernah jemu menyapa kisah masa lalunya. Di senjakala ini, aku merelakan jiwa digelung belaian senja nan indah sambil pandanganku mengarah pada laut sejauh mata memandang, di Pantai Parangtritis

Sabda Taman Langit

Gambar
Taman langit seakan mengorek lagi celah teruntuk jiwa-jiwa yang telah sepi ketika hari yang cerah tiba. Mentari menggurat sinar kian benderang bagai sembur api pencetus semangat yang takkan padam hingga berapapun usia terhitung jumlahnya. Aku memeluk lagi kehangatan sinar matahari pagi, seorang diri sementara dalam ketidakpastian mengenai kehadiran teman-teman terbaik yang masih akan bisa menyamai kisah tahun kemarin. Walau sejatinya ingin aku meniti kisah dalam pelukan latar dan arah navigasi jalan cerita yang baru. Namun kehampaan niat kepalang sudah menutup harapan. Masih dibalut kesendirian, aku merelakan hampa memeluk.  Terdengar alangkah nyaringnya suara anak-anak burung Kutilang yang tersesat pagu tatkala fajar menyingsing kendati belum tinggi memang. Anak-anak Kutilang tadi rupanya masih menanti fajar bertakhta di payung langit bumi dan entah harap apa yang mereka junjung tinggi. Dan berkicaunya anak-anak Kutilang tadi, menyeret lagi ingatanku pada awal mula guratan ki