Dan, tetap aku di sini

 
Sumber gambar: Hipwee

Gemericik air sungai, dalam fraksi sepersekian detik menari-nari memecah lorong kesunyian yang tercipta di bayang-bayang taman langit senja hari ini. Semilir angin melambai sedemikian cepat, pertanda semilir angin sepenuh jiwa berpihak pada langit senja. Dan di ruang waktu yang bersamaan jua, aku terduduk bersandar ke sebilah batang pohon yang tertancap sekian tegaknya melingkupi segelintir ilalang kecil yang menari bergoyang. Hampa sesosok tunggal tak pernah merenungi senja ditemani kawan-kawan terbaik lagi sampai hari ini pun lepas anjangsana bulan lalu. Beberapa minggu sebelum berpisah dengan tahun lama. 

Dan, tetap aku disini. Tiada pernah beranjak mengarungi bumi menuju sudut lainnya. Padang rumput Eropa tak lain tak bukan adalah tempat terbaik bagiku 'tuk beristirahat melepas penat dikarena hembusan anginnya yang tampak begitu sempurna ketimbang padang rumput di kota satelit. Mulanya sudah kubayangkan andai padang rumput kota satelit terlukis amat sangat indah hingga ia tak pernah jemu mendorong semangatku agar bekerja sebagai guru dan sesekali dipeluk payung langit fajar, aku hadir membelai rambut hitam nan panjang Stevie kala kujamah murung di wajahnya. Dan bila paras cantik Stevie tak melukis murung, tawa tentu akan pecah sudah menggetarkan sunyi sampai mengusir sekawanan anak-anak gelatik tersusul kutilang. Kugelung senyum tipis mengenang angan-angan bersamanya, mencakup saat ketika ia malu-malu disebab cinta. 

Aku mematut kisah tanya kini. Masih yang sama seperti kemarin hari. 

Akankah Stevie aku temui? Andai ia benar-benar ada memang, segera aku sambut dirinya hangat-hangat. Lantas dimanakah ia berdiri? Sekolah tempat lazimnya sebab ia menyemat gelar "murid" pada tubuhnya sendiri. Kemudian, termangu-mangulah aku menjawab tanya yang selalu aku ulangi setiap waktu sambil terus meniti upaya mencari jawab terbaik. Malah, sejatinya aku tengah digelung bingung menemukan goresan baru pada setiap tulisan indahku. Lamanya, setahun sudah aku mengisi lembaran-lembaran cerita dengan hal serupa pada kisah terdahulu. Kuulangi selalu cerita mengenai kebersamaan dengan kawan-kawanku tercinta hingga di awal masa ini, sudilah aku tak tahu latar cerita yang bagaimana lagi yang dapat aku tulis. 

Bersandar kembali teruntuk sebilah batang pohon. Aku bagai telah khilaf lepas mengingat pertanyaan di atas tadi seiring dengan kian kencangnya semilir angin mendorong wajahku agar semakin kuyu di atas semakin lelahnya tubuh. Mulai aku bosan berinteraksi dengan mereka walau suara gemerisik dedaunan hijau terlalu senyap dihayati daun telinga, lantaran belum musimnya untuk jatuh berguguran di sekeliling tubuh. Biarlah tak mengapa. Tak akan di hati kembali bersemi andai diriku masih tergelung dilema latar cerita pun tak ingin hatiku beralih dari sosok Stevie. Dan, tetap aku disini mengenang kembali sosok gadis remaja 13 tahun penyemangat hidupku tadi seraya memasang harap agar dirinya benar-benar hadir. 

Tetap aku disini, sahabat-sahabat tercinta. Biar hidup menemukan waktunya agar aku berdiri tak sepenuhnya dalam pilu, kala ku melintasi jalan yang sebatas cerita belaka. Kuingin engkau merenggut lenganku, resapi deritaku disebab harap pula ingin yang acap kali jauh dari perihnya hidup. Dan kulihat seberkas titik jauh di balik awan, agar kupeluk di balik hujan sambil kubertahan di titik itu. Kusadur lagi bait-bait puisi pemilik nada gubahan para kurcaci tampan di hari yang cerah seiring dengan hadirnya ribuan warna melalui lensa kehidupan yang aku kantongi tiap saat.

                                                                         ****

Kemudian, bak menerima dorongan kuat, bersegeralah aku merenggut keputusan 'tuk mengawali perantauan. Aku bangkit dari sandaran pada sebilah batang pohon dalam buai senja hari ini, menyusuri sepanjang sisi jalanan sepi yang sesekali diselingi suara gerombolan sapi yang belum sudi digiring kembali ke peternakan oleh tuan gembala. Langkah ini aku ayunkan sedemikian jauh, menabuh daun-daun hijau di aspal jalanan pun sekali-dua kali memecah keheningan air sungai kecil nan bersih demi membasuh pori-pori kulit. Terus aku melangkah sejalan bersama jumpaku terhadap derak kincir angin. Jika itu dilihat lebih jauh lagi, sang kincir angin sejatinya telah disantap oleh puluhan tahun usia. Jauh lebih uzur ketimbang aku. Tetapi derak sang kincir angin tua pun, turut menyeretku pada ingatan mengenai terengah-engahnya nafas Stevie lepas kuajari dirinya di kelas.

Pada epilognya pun, aku sampai di atas selempang jembatan kayu yang turut menua pula tanpa ada beda dari kincir angin. Bilaku injak bilahan-bilahan kayunya, mereka akan berderak bak merintih sebagai pertanda agar mereka tak boleh lagi dilintasi makhluk sesosok pun di atas. Pada bantaran jembatan, kudapati segelintir besi pembentang secercah ruang kecil teruntuk anak-anak manusia baik gadis atau bujang. Ruang kecil tadi, menerjemahkan isi pikiranku tentang spekulasi andai jembatan ini dahulunya ialah jembatan kereta api. Baru aku menyadari itu, dan maknanya, sepanjang perjalanan rantau dari sandaran pohon tadi aku melintasi jalur kereta api tiada jejak terlihat. Mungkinkah hujan datang menghapus jejak sang jalur kereta api? Entah.

Masih di tengah selempang jembatan kereta api nan uzur, mulai aku memberanikan diri mendongakkan wajah pada gemericik air sungai di bawahnya. Agak jauh dan dalam, jelas. Sukar aku mengorek celah teruntuk riak air sungai walau banyak memori yang aku lihat di sana. Lagi, aku gelung senyum teruntuk hadirnya memori di air sungai. Bayang-bayang si gadis bunga turut memantul jelas pada jernihnya air menambah gelungan senyumku lagi. Ah, bisa saja engkau menarik senyumku agar selalu tergelung, duhai gadis bunga nan cantik. Bilamana saat ini aku hadir bersama si gadis bunga dan aku puji kecantikan parasnya, sepenuh jiwa aku yakin dirinya tersipu malu-malu demikian jua dengan Maureen, Gloria dan Stevie. Aku menaruh rindu pada mereka.

Rindu? Hampir saja, terjungkal jauh tubuhku dari tepi bantar kayu jembatan kereta yang tak memasang kayu pelindung tubuh. Dan, masih di jembatan uzur ini aku memandangi hamparan padang rumput di sekitar walau hampir merapuh sudah. Sama, tetap seperti tadi. Lelambaian semilir angin menerpa kian sangar bak hendak menggelungku habis. Namun hanya meresapi yang aku tunaikan sambil meneruskan langkah, seorang diri menyusuri setengah badan jembatan kayu nan uzur. Lalu, dalam sekejap sesosok pria lanjut usia mencegat langkah di tepi utara jembatan hanya terpaut jarak 400 meter dari tepi selatan. "Menuju kemana engkau akan pergi, duhai anak muda?" Tanya pria itu ramah, sambil tak pernah lupa melempar senyum. "Hanya berjalan pulanglah aku walau rindu pada empat gadis penyemangat hidup yang tak pernah lagi aku lihat." Imbuh diriku.

"Bukan perkara besar, nak. Merindu kepada anak-anak gadis sudahlah ditasbihkan sebagai sifat pokok anak-anak bujang. Dahulu, demikian pun aku. Selalu aku menyimpan rindu bagi keelokan paras anak-anak gadis." Tutur si pria lanjut usia. Lalu, ketika kutanyai dirinya tentang riwayat jalur kereta api ini, tak banyak yang ia ceritakan. Paling jauh pun, hanya ketika jalur ini bertemu dengan ajalnya belasan tahun silam lepas tiada lagi kereta api yang melintas. Hanya segelintir jembatan usang yang bertahan masih, sebagai saksi hingga hari ini. Aku menatap lagi betapa reyotnya jembatan kayu ini. Bisu tanpa suara selalu untuk selamanya termasuk ketika aku tinggal usai menyampaikan pamit bersalut terima kasih pada si pria lanjut usia.

Kian jauh aku berjalan, kian hampa langkah menyamai hati. Buaian para gadis tak cukup meluluhkan hampa ini. Sekarang, bimbang rupanya aku meratapi sejumlah titik yang dapat disandari dalam istirahat. Terus langkah kaki berlanjut menyusuri jalur kereta mati tanpa melepas jejak setitikpun sambil hatiku terus berbicara pada alam dan terbesit jua setitik rindu yang aku tambatkan di dermaga hati anak-anak gadis bagai bahtera cinta.

Hingga akhirnya, aku mengambil niat untuk tetap menaruh cinta di sini, dalam pelukan ruang hati. Dan sudah jelas cinta tertambat pada ruang hati. Sahabat-sahabat, mesti aku tuai ucap kata khusus untuk kalian bilamana di ujung kisah ini, sekali lagi di sini (hati para gadis) seraya kusentuh lukisan mereka di atas kertas, cinta tetap aku tanam sekuat jiwa mengayuh rasa yang tiada ternilai oleh apapun dan, sekali lagi, kukatakan bila aku tetap di sini.  Lalu sebagai hadiah persembahan, kusampaikan "Kidung Mesra," puisi bernada gubahan sang pujangga nada Katon Bagaskara.

Kidung Mesra

Kutulis, sebaris kata, walau sederhana
Tertuju, untukmu nona yang mengusik jiwa
Senyummu bunga, di musim cerah
Matamu surya, memancar ramah

Ingin selami, samudera hatimu
Temukan mutiara, tiada tara
Lalu terlena, rebah didasarnya

Ingin masuki, puri di hatimu
Hangatkan ruangnya dengan cinta
Dalam irama, kita berdansa
Dan terbuai

Kidung mesra...

Kususun serangkai nada, walaupun biasa
Terlantun, bagimu nona, yang menyentuh jiwa
Senyummu bunga, di musim cerah
Matamu surya, memancar ramah

Ingin selami samudera hatimu
Temukan mutiara tiada tara
Lalu terlena, rebah didasarnya

Ingin masuki puri di hatimu
Hangatkan ruangnya dengan cinta
Dalam irama, kita berdansa

Senyummu bunga, di musim cerah
Matamu surya, memancar ramah

Ingin selami puri di hatimu
Hangatkan ruangnya dengan cinta
Dalam irama kita berdansa
Dan terbuai

Kidung mesra... Milik kita...

Tertulis, kisah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan.

Bandung, 4 Januari 2017
Pukul 11.09 WIB

- Herr Aldi Van Yogya - 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi