Prahara laut Januari

Tercetusnya api di tengah sumbu kapal laut hanya satu hari berselang selepas miliyaran anak manusia dengan begitu gembiranya menyambut tahun baru lepas mengucap selamat tinggal pada tahun terdahulu, spontan menghentak ruang hati banyak orang. Berkisahnya api yang dengan amat sangat lahap menggelung badan Kapal Motor (KM) Zuhro teruntuk jalur pelayaran Muara Angke-Pulau Tidung segera menghiasi kelopak mata banyak anak manusia dikarena kapal tersebut tengah pergi berlayar sambil ia mengangkut 247 penumpang yang sebagian dapat menyelamatkan diri, dan sisanya mesti ikhlas digelung oleh betapa garangnya bara api. Dan entah, apa wujudnya nasib sebagian anak manusia yang masih belum dapat ditampak lagi. 

Kisah bersalut berita sedih tersebut rupanya tak menjatuhkan diri sesosok guru muda yang tiada pernah jemu menyapa kisah masa lalunya. Di senjakala ini, aku merelakan jiwa digelung belaian senja nan indah sambil pandanganku mengarah pada laut sejauh mata memandang, di Pantai Parangtritis (Yogyakarta) tentu sudah. Tepi Garis Samudera Hindia, silahkan kalian tasbihkan sebagai sisi puitisnya suatu bahasa. Semilir angin Parangtritis dengan begitu kencangnya menerpa-nerpa tubuh bersama syal kotak-kotak yang sejak tadi tetap berkibar-kibar sedang baju kotak-kotak biarlah terkena sedikit butiran pasir pantai. Masih merindu aku pada sosok empat dara cantik yang menjadi pengeliling sejatiku. Berapa ratus sudah, kisah yang aku hadirkan sosok mereka. 

Kulihat sekali lagi, matahari kian larut pada pelukan ufuk barat namun masih jelas terenggut kelopak mata dari tepi garis pantai yang sejatinya menghadap sisi selatan bumi. Menandakan akhir yang indah dari suatu hari, namun pula mendorong anganku mengingat lagi dua kisah prahara laut di bulan Januari. Tiada hadir empat dara cantik, padahal ingin kuceritakan kisah prahara laut ini teruntuk mereka berempat. 

Dan haruslah aku sudi menikmati kesendirian di tepi garis Samudera Hindia ini. Sebelum mengawali sendiri kisah prahara laut di bulan Januari. 

                                                                         ****

Dermaga Tanjung Priok, 24 Januari 1981. 

Mematut nama "Ujungpandang" (hari ini telah bernama Makassar), di bawah kendali Kapten Kapal Abdul Rivai (kelahiran Bengkulu 23 Agustus 1936), KMP Tampomas melepaskan diri dari sandarannya agar dapat pergi berlayar cukup jauh mengarungi bentangan laut sejak pukul 19.00 WIB, barangkali lepas Adzan Isya berkumandang. Mestinya kapal ini membelah laut pada rentang waktu dua hari dua malam dan ia hendak memenuhi niatnya bersauh di tepi laut Ujungpandang hari Senin tertanggal 26 Januari 1981 sekira pukul 10.00 WIB tiada memerlukan waktu lama selepas pekat malam memudar oleh sapaan fajar. Kubaca lagi, sesosok pemandu kapal telah mentasbihkan rusak pada salah satu mesin sebelum melepas sandaran. 

Melebihi 1000 penumpang pula tak sampai 100 awak kapal bersama ratusan kendaraan bermotor yang mematut gelar penumpang bisu. Pada detik-detik pertama pelayaran, tiada sesuatu hal penuh arti disamping awan senja nan memukau teruntuk datarnya pemandangan laut Jawa. Tetapi perlu diakui, sangat besar memang ombak Bulan Januari ketimbang lain bulan sepanjang tahun. Wajarlah menggelung ombak setinggi 7-10 meter bersama 15 knot kecepatan angin dan dalam KMP Tampomas II direncanakan sudahsudah penampilan Ida Farida, salah satu penyanyi ternama tanah air. Namun beragam tanda-tanda aneh nampak diawali dari seseorang bernama Ferry yang mendendangkan lagu "Salam Perpisahan" sebelum ia lenyap tak tentu rimba. 

Fajar dan pekat malam 25 Januari mempertontonkan situasi tak sama. Malam 25 Januari, bahan bakar kapal terindikasi bocor pada segelintir titik pun semburan-semburan rokok asal ventilasi. Mengundang api untuk dicoba padamnya, tetapi gagal walau mengenakan tabung portabel hingga api menjalar sampai sisi lain kapal pun turut terjamah kobaran api. Melompatlah segelintir manusia menyatukan tubuh dengan laut. Menanti separuhnya dalam panik. Dan kuketahui betapa egoisnya sejumlah ABK yang justru menyelamatkan diri sambil mengerahkan perahu kecil bagi mereka sendiri. Sungguh pelarian tiada belas kasihan. 

Prahara ini bertepi jua di telinga Kapten Agus K. Sumirat sang nahkoda KM Sangihe disebab Kapten Sumirat ialah kawan satu angkatan Kapten Abdul Rivai semasa mereka berdua hadir berguru ilmu laut pada Akademi Ilmu Pelayaran, lulus tahun 1959. Kala itu KM Sangihe sendiri tengah membelah laut dimula dari Pare-pare hingga Surabaya demi menguatkan mesin. Dipikir J. Bilalu, Mualim 1 KM Sangihe, kepulan asap KM Tampomas II dihembus kobaran api milik sumur minyak lepas Pantai Pertamina dan pesan morse "SOS" dilayangkan Markonis KM Sangihe Abubakar pukul 08.15 hingga diekori tiga kapal lain (Ilmamui, Tanker Istana VI, Adhiguna Karunia). Empat jam, waktu yang cukup teruntuk mencapai Tampomas. 

Hujan deras menghantam perairan laut Jawa tertanggal 26 Januari usai fajar menyingsing. Si jago merah mengawali amarahnya dengan menggelung ruang mesin tempat akan adanya bahan bakar yang tak terlindungi sampai fajar keesokan harinya, si jago merah telah benar-benar kalut. Ruang mesin terjajah air laut ditemani ruang propeller pun generator yang mendorong kapal memeluk 45 derajat kemiringan. 

Pada ujungnya, KMP Tampomas II menarik keputusan agar menyerah dari kekalutan si jago merah dengan menenggelamkan diri ke dasar Laut Jawa selama-lamanya pula mengikuti 288 raga tanpa jiwa pada dek bawah. 

Sahabat-sahabat, pada ujung cerita tentang api di tengah air mata manusia dan laut, aku bolehkan kalian mengacungkan dua jempol teruntuk sosok Kapten Abdul Rivai. Nahkoda ini tercakup manusia yang paling terakhir meninggalkan kapal sebagaimana wasiat awam bagi para pelaut ulung lepas ia mengirim pesan tak sampai pada kawannya sendiri melalui salah seorang awak Tampomas yang dapat menyebrang. 

Terdapat 753 manusia berhasil selamat. Jasad Kapten Abdul Rivai yang sudi mengorbankan nyawanya sendiri ditampak oleh KM Sonne bersama 28 jasad lainnya sedang Markonis KM Tampomas II Odang Kusdinar tertampak selamat didampingi 62 penumpang pada sekoci dekat Pulau Duang-duang, 240 km sisi timur titik tenggelamnya KM Tampomas II. 

Kelainan ruang geladak kendaraan jua kuatnya guncangan gelombang laut memungkinkan percikan api menyebar. Tiada sistem pendeteksi asap menurut Masinis III Tampomas II Wishardi Hamzah. Tiada hasil penuh arti, sebab semua kesalahan dialamatkan pada awak kapal walau terkesan ditutup-tutupi sehingga ada suara teruntuk pengusutan secara lebih serius. 

                                                                          ****
Cerita tadi aku putuskan berakhir di sini walau tak sampai pada jiwa tiga dara cantik dan aku bersegera pergi meninggalkan Pantai Parangtritis. Masih tetap sendiri. 

Tertulis, kisah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan. 

Bandung, 2 Januari 2017
Pukul 14.08 WIB

- Herr Aldi Van Yogya -

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi