Bergelunglah prahara

 

Engkau adalah segelintir dari beribu anak manusia yang diterjunkan ke muka bumi melalui cinta ayah dan ibumu untuk mencipta bahagia walau mesti diiringi prahara yang bergelung sedemikian erat pada hidupmu. Engkau adalah anak-anak panah yang selalu diperintah agar membidik cinta-kasih dalam bahagia, walau akan ada kalanya engkau membidik lain sasaran yang menjalarkan prahara. Namun tak mengapa itu terjadi sebab engkau memang dicipta di muka bumi untuk mereguk prahara sebab itulah tujuan hayatmu sejatinya. Andai engkau tak mereguk prahara lagi, takkan engkau hidup kembali disebab tiadanya tujuan tentang hayat. 

Bergelungnya prahara di Bulan Januari memaksaku agar mesti mengudap selarik kalimat bijak gubahan pujangga nada anyar, "NOAH." Andai engkau berpikir, lama sudah aku tak menggurat berlarik-larik cerita pada lembaran ini. Dipasal apa? Sebab banyak prahara yang tampak sekonyong-konyong membekap aku tiada pernah aku undang. Beragam prahara bak menyurutkan semangat dan cinta yang kualami belakangan ini, mencakup rasa cinta teruntuk si gadis bunga jua kagumku akan keelokan garis wajah Gloria dan Maureen, dua anak dara yang hadir menjadi penyemangat relung hatiku. Kuulangi, perihal tadi diawali prahara. Prahara yang barangkali takkan pernah selesai. 

Di senjakala ini sambil melangkahi dengan pasti hamparan ilalang menari ditumbuhi sekadar pepohonan entah dalam jarak seberapa, aku mencoba memutar angan kembali pada serabutan akar prahara yang dahulu membelit hati. Aku terus melangkahi ilalang menari ini hingga langkahku dengan pasti terhenti pada sepetak telaga buatan persis dengan telaga yang aku jumpai tatkala mengembara jauh di Belanda pada cerita tentang senja tak sampai di Garis Selat Sunda. Tiada bedanya, telaga ini memantul bayangan kubah langit menarik pesona banyak orang agar menganjangsanainya. Kuingat betul kala meratapi air telaga akan bayang-bayang wajah para anak gadis yang terpana pada keindahan di sana. Dan kini, aku tak melihat mereka.

Namun, tiba-tiba tanpa aku tahu dari mana mereka datang, aku mendengar suara gemericik rumput diinjak kaki seseorang pun suaranya bila ku mendengar suaranya, aku sepenuh jiwa yakin andai pemilik suara tersebut ialah para anak gadis. Terperanjat aku dari tepian telaga seiring dengan kian mendekatnya sosok mereka. Dan ketika tiga dara itu benar-benar muncul, aku sapa mereka segera dengan penuh senyum. Gloria tergelak paling kencang disusul Maureen yang mengguncang-guncang raganya sendiri dan Si gadis bunga yang cukup menggelung senyum paling terakhir, tempat cintaku bersemayam di sana biar lebih bersemi di lubuk hati. 

Mumpung aku dianjangsanai tiga dara cantik, tiada kembali berpikir panjang-panjang segera aku kisahkan bagaimana hidupku digelung prahara akut bulan Januari 2017. 

                                                                      ****

Akar prahara ini bermula di sore hari Minggu tertanggal 9 Januari 2017, kala aku menjejak cerita tentang semester 2 di Kelas 12 sudah. Pada tiga anak dara di selingkarku, berkisahlah aku tentang pandangan mata yang secara tak dijanjikan sanggup menjamah kehadiran si gadis bunga di Toko Buku Toga Mas bersama sang ibunda tercinta. Walau aku menjamah sosok gadis pujaan hatiku dalam fraksi sepersekian detik tanpa diselingi jumpa bersalut bincang, dapat kulihat dengan sorot kelopak mata akan sosok si gadis bunga yang pergi tanpa membalut kepalanya dengan kain kerudung sebagaimana kesehariannya yang aku tunaikan bersama-sama di sekolah. Dan perbedaan gaya si gadis bunga tadi, berhasil membuncah detak jantung agar berdetak-detak lebih kencang dari biasa hampir sepanjang kunjungan senjaku di Toga Mas. Perjalanan senja tersebut diakhiri dengan aku yang memutuskan membayari buku tentang rentetan kisah hidup YB Mangunwijaya (penulis tersohor) dan kisah perantauan seorang WNI di Jerman. 

Kuberanikan diri mengisahkan tatapan mataku pada Ali alias Abah keesokan fajarnya di sekolah. Begitu mendengar aku bersaksi mengenai bilahan rambut si gadis bunga, bujang berkulit putih tersebut berkisah tentang perihal serupa padaku. Pula Bu Yanti sang guru sejarah yang rupanya melihatku di Toga Mas. 

Lantas prahara apalagi yang membekapku lagi? Jawabnya serentetan ujian yang akan aku jumpai semester ini melingkupi ujian-ujian penebah mimpi yang aku lukis selama ini. Baru aku hadapi try out SBMPTN bersama kesukarannya yang telah menjatuhkanku pada kekalutan pembakar emosi. Sungguh sudah memanggang diri terlebih lagi kala ku membicarakan prahara ini bersama segelintir ahli hingga aku merasa benar-benar jatuh disebab tingkat kesukaran ujian seiring dengan diujinya tingkat kepercayaanku jua kecintaan teruntuk Presiden Joko Widodo.

Dan prahara lain masih membekapku. Dulu, kini jua nanti. Sukar aku tuturkan lebih lebar. Hari ini pun, aku masih perlu menatap sejenjang prahara yang tiada pernah kunanti dahulu.

                                                                       ****

Kecipak-kecipak, bunyi nyaring yang tercipta riak air di bawah kubah langit biru nilam memecah sunyi di ujung prahara yang aku kisahkan pada tiga anak dara di sekelilingku. Termenung kening mereka, tiada pernah aku tahu basahkah mata mereka. Kurasa aku semakin sukar menggurat kisah di sini disebab aku perlu lebih segar ingatan tuk mencipta lain kisah yang lebih indah. Kukatakan, mulai atau telah aku jemu dengan gaya penulisan yang demikian selalu sejak dulu. Harus aku pergi sejenak hingga nanti mendapat inspirasi terindah bagi tulisan ini.

Tertulis, kisah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan.

Bandung, 21 Januari 2017
Pukul 04.55 WIB

- Herr Aldi Van Yogya -

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi