Sabda Taman Langit


Taman langit seakan mengorek lagi celah teruntuk jiwa-jiwa yang telah sepi ketika hari yang cerah tiba. Mentari menggurat sinar kian benderang bagai sembur api pencetus semangat yang takkan padam hingga berapapun usia terhitung jumlahnya. Aku memeluk lagi kehangatan sinar matahari pagi, seorang diri sementara dalam ketidakpastian mengenai kehadiran teman-teman terbaik yang masih akan bisa menyamai kisah tahun kemarin. Walau sejatinya ingin aku meniti kisah dalam pelukan latar dan arah navigasi jalan cerita yang baru. Namun kehampaan niat kepalang sudah menutup harapan. Masih dibalut kesendirian, aku merelakan hampa memeluk. 

Terdengar alangkah nyaringnya suara anak-anak burung Kutilang yang tersesat pagu tatkala fajar menyingsing kendati belum tinggi memang. Anak-anak Kutilang tadi rupanya masih menanti fajar bertakhta di payung langit bumi dan entah harap apa yang mereka junjung tinggi. Dan berkicaunya anak-anak Kutilang tadi, menyeret lagi ingatanku pada awal mula guratan kisah bersama Stevie yang sekali lagi aku imbuhkan gelar berupa murid kesayanganku satu tahun silam. Beratus-ratus kisah sudah, aku tulis ketika diriku masih memegang teguh impian-impianku dalam yakin tingkat dewa. Dialah satu dari sekian banyak anak dara cantik yang selalu aku pagut seorang diri, sampai hadir suatu saat dimana aku terbuai lebih dalam pada kecantikan tiga sosok anak dara lain yang hadir memasuki relung hidupku. 

Si gadis bunga disusul Maureen. Dan Gloria yang paling terakhir. Selalu aku menghadirkan kisah mengenai hadirnya mereka ketika aku tiada pernah jemu dipeluk semburat warna jingga langit senja, di tengah-tengah pengembaraan jauh melintasi segaris jalanan senyap milik tanah negeri Belanda yang terhampar sekian jauh. Padahal aku Guru Bahasa Jerman. Andaikata mereka hadir, beribu kata telah aku beri titah agar mereka berbaris menemaniku pergi menyelami celah-celah di lekukan hati mereka, merenggut berbutir-butir pasir cinta sebelum rebah pada permukaan pasir. Andai istana berdiri tegak di sana, indah dindingnya oleh kecantikan mereka. Pada kisah pun, kucipta sepasang jejak tak jauh dari tulisan pujangga penuh pesona. Kemudian luluhlah aku. 

Masih ditemani anak-anak Kutilang yang tersesat pagu sambil mereka mengerahkan upaya menembus belenggu jeruji sangkar, kembali aku mengingat larik mengenai gubahan-gubahan cerita dari Tuan Pujangga Kahlil Gibran. Hanya sekilas aku membaca, namun setidaknya hal tersebut telah mengirimiku sedikit inspirasi agar dapat mencipta suatu karya tulis nan indah dan terbuktilah hal itu dewasa ini. Segelintir kata aku kutip sudah sampai itu terbawa hanyut dalam setiap gubahan hasil karya tulisku. Barangkali akan kudapati sejumlah anak manusia terkagum-kagum akan hasil karya tulisku bilamana mereka sudi membacanya. Namun, tetap aku tak memaksa mereka membaca andai mereka tak ingin menunaikannya jua. 

Demikian sabda taman langit yang aku terima dalam perenungan tentang kesendirian ini. 

Bingung, bertamu pada celah pikiranku untuk sesaat. Tiada kutahu, hal apa yang mesti aku tulis lagi menyambung larik di atas. Sunyi yang jelas menemaniku dalam kesendirian ketika diriku menemukan kesimpulan bulat di ujung pena: Mempertanyakan lagi arah mimpi yang telah aku bangun. 

Ketika jiwaku turut merenggut keputusan bulat agar sejenak bersauh di pundak taman langit, pada suara pikiran mulai aku mempertanyakan lagi arah mimpi-mimpiku dewasa ini. Masih kuingat dengan jelas, pada pelukan suatu senja sesuai dengan impianku, aku mencoba sejenak bersauh pada suatu kota satelit impianku sepanjang masa remaja tiada jauh dari tempatku tinggal. Setahun sudah, aku membangun mimpi agar dapat mendedikasikan seluruh ilmu mengenai kata-kata indah dalam Bahasa Jerman pada seluruh muridku tercinta, mencakup Stevie diselingi sapaan teruntuk semilir angin bagi terhamparnya padang rumput bergoyang di bawah senja nan indah. Kuarungi seluruh jalan di antara hamparan rumput-rumput bergoyang, mencari mimpi yang sepertinya telah ditebarkan di sana. 

Tiada sesuatu hal istimewa yang aku rengkuh di tempat ini. Bangunan sekolah yang dahulu telah aku bayangkan berdiri tiada jauh dari jembatan penghubung dua sisi jalanan, tak aku jumpa pula kaca jendela ruang kelas yang akan selalu aku buka di pagi hari sesaat sebelum menepikan makna-makna indah Bahasa Jerman bagi Stevie pula kawan-kawannya yang kutampak bak anak-anak kutilang setiap fajar. Atau, dapatlah aku memulai anjangsana bersama Stevie di pagi hari sambil aku membelai rambut hitam nan panjangnya pada pelukan padang ilalang menari. Di sini aku terus bertanya pun bertanya, dari segelintir bangunan sekolah di kota satelit itu, pada sekolah mana aku akan mengajar? Lantas akankah aku bertemu Stevie nanti? Benar-benar adakah sosok Stevie dalam hidupku? Akankah ia hadir. 

Mengulangi pertanyaan yang sama, tiada pernah aku temukan jawaban terbaik darinya. 

Mestilah aku menunaikan persiapan langkah menjumpai murid-murid di sekolah sejak hari ini. Aku masih menanyakan kesempatan tentang jumpa bersama Stevie nanti. Dan kini, aku pula turut menyadari aku tak dapat menutup kemungkinan bila kuharus mengajar tanpa pernah bertemu dengan sosok Stevie nanti. Hanya anak-anak gadis lain yang akan bertemu denganku. Namun kendati demikian, aku tetap menyerahkan seluruh hal di atas pada Sang Pencipta yang selalu bersemayam di atas tudung langit serta kubiarkan taman langit menelurkan sabdanya kelak. Semoga sabda taman langit hadir menuntun hari yang sangat indah. 

Tertulis, kisah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan. 

Bandung, 2 Januari 2017
Pukul 11.03 WIB

- Herr Aldi Van Yogya - 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi