Terhampa, hati di sore hari Minggu



Penerbangan Frankfurt-Singapura, menjelang hari menemukan akhir.


Dingin yang kian senja kian menawan, masih aku tahan dengan kembang-kempisnya pelupuk mata seiring dengan melintasnya pesawat tepat dalam ketinggian 33.000 kaki di atas perairan Teluk Benggala, India tatkala masih aku meniti perjalanan membelah tudung langit yang bermula dari ujung landasan di Bandara Internasional Frankfurt dan bersegera menemui sang epilog tepat di ujung landasan Bandara Internasional Changi, Singapura. Terkantuk-kantuklah aku sejak tiga jam terakhir penerbangan bersama Lufthansa LH 778, bak ingin lebih tinggi lagi terbang walau telah terbang tinggi kini. Aku tatap lagi pemandangan di luar kaca jendela pesawat, awan berduyun-duyun sudah menuju pelukan senja tepat di sore hari Minggu. Terhampalah hati menampak pemandangan di senja penuh sedih ini. 

"Männer und Frauen, das ist euer flug-kapitän sprachen. Jetzt wir haben noch fliegen in das höhe-level von 33.000 füß über Benggala Bucht. Wir haben zeit über 1 uhr zurück für landung im Singapur Changi Internazionalen Flughafen. Hoffentlich Sie können genießen das flugzeit endung und danke schön für eure aufsamerkeit." (Bapak dan ibu, di sini kapten anda berbicara. Saat ini kita sedang terbang pada ketinggian 33.000 kaki di atas Teluk Benggala. Kita memiliki waktu sekitar satu jam lagi untuk mendarat di Bandara Internasional Changi Singapura. Semoga anda dapat menikmati sisa waktu penerbangan dan terima kasih atas perhatian anda). 

Aku, mestilah menyalangkan pelupuk mata selepas pengumuman pilot menggema di segala penjuru kabin. Kapten Dorfel Gilbert sang pilot 55 tahun asli Jerman, telah menemaniku pergi membelah payung langit selama 16 jam lamanya bersama sesosok gadis yang tiada pernah beranjak pindah pada kursi lain di ruang kabin. Gloria, salah satu gadis yang sudi menemaniku melayang jauh hingga ke Negeri Singa yang langkah tinggal sejengkal lagi mencapai tanah air. Dan dapat aku tuturkan, seyogyanya ingin ku beranjak melayang ke Singapura di jatuhnya hari Kamis ataulah Jumat Malam titik bahagiaku merumpun perlahan. Namun, apa boleh buat aku tak dapat melayang di titik merumpunnya bahagia dan oleh karenanya, haruslah aku mengudara di jatuhnya hari Sabtu Malam agar berakhir di sore hari Minggu. Bahagia yang telah memudar. 

Kulihat ke sebelah kanan kursi, di sana Gloria tengah mengumpulkan segenap upaya untuk tersadar kembali dari desiran nafas alam mimpi. Mata kirinya perlahan diusap agar rambut hitam nan pendeknya yang kusut sudah dapat digerai menawan. Amboi, elok nian kecantikan parasnya membuai wajah lelah senjakala ini. Puji aku dalam hati, takut Gloria tersipu malu-malu. Dan sambil membidik matahari yang terlihat bak sebutir kelereng jauh di ufuk barat, aku menatap sedikit kecantikan Gloria hingga dirinya melihat wajahku. Kepalang terlihat, segera aku ajak dirinya bicara. "Bahagiakah dirimu, dapat mengembara ke Singapura senja ini?" Tanyaku padanya. "Lelah, tapi tetaplah senang." Gloria memberi jawab singkat sebelum aku diberi ajakan agar berbincang lebih jauh. 

"Herr Aldi, apa pasalnya engkau melukis wajah murung pada senjakala ini? Bukankah ini senjakala yang indah tuk dinikmati sepasang dara dan bujang?" Tanyanya bak dapat membaca isi pikiranku. "Minggu sore hari ialah hari pengundang murung khusus teruntukku, Gloria. Banyak sudah beban yang membekap jalan pikiranku di waktu itu. Tiada ingin aku membekap banyak beban tersebut, apalagi pergulatan pikiran-hati bersama angka-angka nan rumit, atau sebutlah mereka dengan 'Matematika'. Menyamai Stevie sang murid kesayanganku andai demikian. Lama sudah aku ingin membuangnya jauh-jauh." Aku berbicara lebih panjang ketimbang Gloria yang tengah meneguk sebotol air mineral. Kemudian ia menganggukkan kepala. 

"Turut demikian pula aku, Herr Aldi. Aku membenci kesukaran matematika sejak lama. Ingin aku mengamalkan petuah agar kita selalu menunaikan apa yang kita suka sebelum kita tanpa pernah merasa menunaikan sesuatu hal kembali sepanjang hayat dan andai boleh kutahu, dapatkah engkau bercerita tentang kesukaran angka-angka itu?" Aku terlonjak begitu Gloria bicara demikian walau hati masih dirasa sedemikian hampa pada sore hari Minggu ini. 

                                                                          ****

Presiden Joko Widodo pun sahabat-sahabatnya di balik dinding istana, tak pernah aku taruh rasa benci akut pada hati mereka masing-masing. Hal-hal indah yang aku peluk dengan cinta dalam diriku tak pernah aku taruh rasa benci, kecuali pelajaran Matematika. Inilah titik terberat yang pernah aku lalui bersama kesukarannya sendiri. Dan SMA di antara serentetan kisah masa remaja ialah puncak akan benci jua kalutku pada kesulitan angka-angka. Berulang kali bak anak manusia uring-uringan nan kalang kabut diburu langkahnya oleh lokomotif yang berlari terbirit-birit, aku menuturkan entah pada sosok manusia mana aku katakan, ingin aku mendalami ilmu Bahasa Jerman secara lebih dalam dan andai tak mendalami Bahasa Jerman, ingin aku mendalami lagi ilmu Hubungan Internasional. 

Ilmu itu sengaja aku tasbihkan sebagai arah perjalanan hidup di masa mendatang disebab akan tiada atau sedikitnya celah angka-angka sulit terpecah. Kelemahan yang sukar aku hadirkan sebagai kekuatan. Barangkali lepas nanti aku mendalami salah satu dari keduanya, hidupku akan lebih indah ketimbang saat ini kendati upaya pemecahan angka-angka tetaplah aku butuh dalam keseharian hidup. Namun selalu aku berusaha menepis kenyataan itu. Selalu aku uring-uringan dalam menuturkan keinginan agar dapat mengerjakan hal apa yang aku suka dan aku cinta seraya aku membanggakan sesuatu-sesuatu favoritku biar itu belum tentu dibanggakan lain manusia.

Bahasa Jerman, contohlah. Bagiku kata-kata milik negeri Panser sangat mudah diserap ruang pikiran hingga aku jatuh cinta padanya di samping si gadis bunga dan dapat aku membanggakan kemudahan akan diserapnya Bahasa Jerman, tetapi lain manusia tak seluruhnya mengantongi pendapat senada. Banyak di antara mereka yang telah lama jatuh cinta pada beribu angka-angka sampai bahasa disukarkan sudah oleh mereka mencakup mendiang kakek. Insinyur kelahiran 1926 itu, begitu mudah memahami rumus Fisika-Kimia sedang sosok ibuku tercinta tak pernah memahaminya bak buah yang terjatuh jaur dari tangkai pohonnya. Perkara tadi, jelas mendorong kita agar tak sudi membenci sesuatu hal yang turut kita benci.

Lantas beribu baris angka tetap akan digunakan selama alunan nafas berdesir. Dalam suatu kesempatan, pernah aku terjerumus pada kekalutan disebab sukarnya angka-angka mengenai harga di hamparan ilmu akuntansi. Masih pagi kuingat, aku mengenakan seragam putih abu-abu khas masa SMA. Karena saking pusingnya, aku terdiam tiada kekuatan sampai kawan-kawanku mengajak diriku bergabung dengannya. "Ayolah Aldi, nanti dirimu akan menyiapkan anggaran bagi rakyat." Ajak mereka yang telah mengetahui niatku menduduki kursi kepala negara. Tetap aku kalut pada kesukaran, diawali hari itu, selanjutnya sampai saat ini. Barangkali selalu untuk selamanya.

Kekalutan lain pernah aku luapkan teruntuk papan tulis di kelas 10 tepat saat aku didera kesulitan matematika tingkat tinggi. Saking kalutnya, air mata aku biarkan meleleh dengan melintasi garis wajah dan diakhiri dengan tindakan di luar batasku, membenturkan kepala ke arah papan tulis dan tindakan tersebut dikenang kawan-kawanku sampai saat ini.

Dan terakhir, bagaimana dengan upaya membaca takaran ilmu yang aku timba dengan menyeluruh? Tetaplah berjalan seperti dahulu, hanya kini ada pundi-pundi ilmu yang dapat dipilih. Aku menarik kesimpulan 'tuk memilih ilmu tentang ragam suara manusia pada upaya membaca takaran ilmu nanti, serta akan aku hapus secara permanen tiada jejak membekas lepas aku menduduki kursi kepala negara pada masa mendatang sebagai pelimpahan rasa kalut mengenai kesukaran di masa lulu.

Sifat kalut meracuni diriku agar menghindar dari kesulitan yang sejatinya dibutuhkan dalam hayat.

Begitu pula bersama terhampanya hati di sore hari Minggu.

                                                                            ****

Perlahan-lahan tetapi amat sangat pasti, dataran Singapura mempertontonkan raganya dari balik awan. Negeri kecil nan indah membatasi langkah dengan tanah air, tempat ribuan ragam manusia dari segala penjuru Bumi berdatangan entah demi mengawali kehidupan baru atau sebatas meneguk kesenangan tak terkhilafkan masa. Kapten Dorfel merendahkan pesawatnya mencapai ujung landasan Bandara Changi dan dalam seketika, kurasa roda pesawat menjejak landasan sudah tatkala senja kian terlukis sangat jelas di negeri Singa. Perlahan-lahan, pesawat raksasa menepi di pintu garbarata bandara serta ia membiarkan para penumpangnya melingkupi aku dan Gloria berduyun-duyun turun menangkap senja teruntuk Negeri Singa. "Vielen dank, Kapitän Dorfel." (Terima kasih, Kapten Dorfel). Tuturku sesaat sebelum melangkahi pintu pesawat.

Lelahku perlahan-lahan menguap seusai mendarat di Bandara Changi ditambah dengan senyum di paras cantik Gloria. Ia dapat meringankan bebanku pula, tuturku dalam hati sepanjang perjalanan menuju loket imigrasi pula area ku mencomot tas koper dan larut pada pelukan Negeri Singa setelahnya.

Aku tak dapat memilih kesukaranku semasa remaja dahulu.

Tertulis, kisah indah searing Guru Bahasa Jerman di masa depan.

Bandung, 8 Januari 2017
Pukul 19.13 WIB


- Herr Aldi Van Yogya -

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi