Burung-burung Manyar (YB Mangunwijaya)

 
sumber gambar: www.goodreads.com

Tetapi dengan kebanggaan. Anak kolong dan kaum ksatria hanya hidup dari kebanggaan. Bukan dari uang, tetapi karena telah berbuat berani. Mempertaruhkan nyawa demi sumpah, demi sasaran yang sulit dicapai, demi tujuan yang melegakan banyak orang. Akan kubuktikan, bahwa darah perwira masih mengalir di dalam urat-uratku, dan bahwa keindoan Mamiku adalah infuse darah baru bagi bangsa Inlander yang mengalami situasi serba baru sesudah revolusi politik dan revolusi bersenjata dulu itu. (Burung-burung Manyar, YB Mangunwijaya.)

Roman Burung-burung Manyar mengisahkan Setadewa alias Teto, seorang anak kolong yang mengaku anak seorang Letnan KNIL Garnisun divisi II Magelang. Ia lulusan Akademi Breda di Negeri Belanda sana sedangkan maminya adalah seorang wanita cantik berkulit putih langsep mulus. Semuanya tampak lengkap menemani perjalanan masa kecil Teto. Kehadiran seorang gadis kecil bernama Atik pun turut memperindah masa kecil Teto yang kemudian menjadi teman bermain dari gadis tersebut. Semasa kecil, Atik dikenal sebagai seorang gadis penyuka burung seperti Manyar, Srigunting, Emprit, Ketilang, Gelatik dan Gereja serta masa kecil Atik pun tak kalah bahagia dengan Teto. 

Seiring waktu berjalan, Koninklijke Nederland Indisch Leger (KNIL) mengalami pelemahan kekuatan tatkala Jepang datang demi menginvasi tanah air. Papi Teto pulang ke rumah tatkala surya sudah terbenam tepat setelah ia dilepas dari tahanan militer Perang Jepang. Tentu saja Mami tak sanggup menahan perasaannya. Akan tetapi di mata Teto, papi justru terlihat menjadi lebih tua mendadak. Ia lebih pendiam dan menolak halus tawaran tuk mengungsi. Karena kekalahan Belanda terhadap Jepang, maka Teto pun memendam sifat anti-Jepang dalam dirinya terlebih saat ia menempuh SMT (Sekolah Menengah Tinggi) di Kota Semarang. 

Kemudian, Teto mengambil sebuah keputusan untuk pergi ke Jakarta dengan sebuah kereta api atau lebih tepatnya menuju Jalan Kramat. Di alamat ini ia bertemu dengan seorang gadis bernama Atik dan nyonya rumah bernama Bu Antana. Darinya, ia dipertemukan dengan mami yang mengatakan bahwa papi sudah masuk perangkap Jepang sehingga Teto merasa ada babak baru dalam hidupnya tuk mengisi kedudukan sang ayah. Mami sejatinya diberi ultimatum oleh Kepala Kenpeitai yang berupa pilihan yakni, papi mati atau mami menjadi gundik. Mami memilih yang akhir serta Teto bersumpah mengikuti jejak ayahnya yang tak lain dan tak bukan adalah menjadi KNIL, membebaskan negeri indah ini. 

Perang pun dimulai. Dulu Teto masuk NICA walau itu keliru. Teto memilih Belanda saat semua harus pihak-memihak. Meski demikian, bayangan Atik selalu muncul dalam dirinya dan membuat Teto merasa ada konflik batin dengan dirinya sendiri ditambah perdebatan panas antara dirinya dan Mayor Verbruggen. Hingga di suatu pagi tanggal 19 Desember, seorang pria tengah beristirahat di dekat mobil tua. Lalu serangan pesawat tempur menggelegar sampai membuat dua petani di desa itu lari tunggang-langgang seraya menyelamatkan seorang gadis yang sedang bersama seorang lelaki terkulai. Zaman revolusi memang sulit dan anak-anak desa malah melambaikan tangan kepada pesawat tempur yang terbang rendah di atas desa. Perang pun terus berlanjut dan berlanjut meski Atik harus rela kehilangan ayah kandungnya tercinta. 

Zaman pun berganti, waktu membawa Teto pada perkenalan dengan seorang duta besar asing bernama John Brindley. Ia datang ke kaki Gunung Merapi bersama istri beserta dua orang putrinya. Ia tampak asyik berbincang dengan Teto dan ia sudah lama tidak bertemu dengan Atik. Hingga akhirnya pada suatu hari, Atik akan mempertanggungjawabkan seluruh isi tesisnya demi memperoleh gelar doktor ilmu Biologi di hadapan para senat juga tamu-tamu undangan. 

Usai itu, Atik rupanya dapat berjumpa kembali dengan Teto teman sepermainannya sejak kecil meski saat ini Atik telah bersuami merangkap ibu dari tiga anak. Masih terbayang dalam benak Bu Antana mengapa bukan Teto yang mengisi kedudukan menantu laki-laki bagi dirinya. Akhirnya pada suatu hari, Atik bersama suaminya pergi mengangkasa demi memenuhi harapan orang tuanya: naik haji. Akan tetapi alam seperti telah berkata lain. Pesawat haji yang ditumpangi oleh Atik dan suaminya seperti telah terjamah oleh tangan tuhan di hari itu dengan cara pesawat yang menabrak puncak bukit di wilayah Kolombo, Sri Lanka hingga Teto merasa terpanggil tuk menjadi ayah angkat dari tiga anak Atik. Ingin rasanya mempersunting seorang wanita, akan tetapi Bu Antana mengatakan bahwa ia sanggup menjadi ibu sekaligus nenek dari mereka. Barangkali Teto masih belum berani mengorbankan citra Atik sebagai citra terkahir sekaligus yang terindah. 

Ingin rasanya bertanya pada burung-burung Manyar, namun sekarang ia sudah jarang melihat mereka...

Tulisan indah seorang guru Bahasa Jerman di masa depan,

Bandung, Jumat, 20 Mei 2016
Pukul 05.21 WIB.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi