Daun-daun berguguran untuk serdadu burung Manyar di balik awan

 

Hujan masih setia menemani senja tanpa kehadiran sinar Mentari seiring dengan bungkamnya senandung indah milik serdadu Burung Manyar. Di saat itu, seorang guru muda tengah asyik menerbangkan angan sampai jauh ke awan seperti seorang kapten pilot. Ia mengingat-ingat masa sendu tanpa seorang gadis bunga di tengah perjalanan masa remajanya. Sampai-sampai ia harus melamun meski kehadiran seorang gadis 13 tahun memecah kesunyian dalam sejenak. 

Tanpa diminta ia bertanya "Herr Aldi lagi mikirin apa? Kok sampe ngelamun gitu sih?" Ujarnya di tengah rintik hujan deras. "Eh Stevie, ini bapak lagi inget satu momen waktu nengok temen cewek di rumah sakit. Ini pas bapak kelas 11." Rasa penasaran Stevie si "Burung Manyar" remaja tidak berhenti sampai di situ sebab ia masih mengeluarkan suara indahnya seraya memintaku bercerita tentang momen yang aku beri julukan "Daun berguguran demi serdadu Burung Manyar di balik awan."

Entah sejak kapan suasana kelasku terasa berbeda. Biasanya ada belasan orang belajar bersama dalam satu kelas, namun kali ini hanya setengahnya yang hadir. Sedangkan sisanya seperti tak sudi hadir karena tubuhnya digerogoti penyakit tertentu. Jumlah 7-8 orang itu sudah paling banyak di kelasku, akan tetapi semakin hari aku merasa jumlah murid berkurang termasuk salah seorang gadis remaja yang sudah setahun aku cintai sejak di Tanah Dataran Tinggi Dieng. Aku sangat jarang melihatnya jatuh sakit sampai harus izin beristirahat di tengah jam sekolah. 

Kepada Stevie sang murid kesayanganku, aku berkisah bahwa di hari Senin siang itu tatkala jam pelajaran Sosiologi tengah berlangsung dengan agenda formatif alias ulangan harian, aku melihat gadis pujaan hatiku mengacungkan tangan kurusnya demi mendapatkan izin beristirahat di UKS (Unit Kesehatan Sekolah) dari gurunya. Melihat raut wajahnya yang sudah agak pucat hari itu, sang gurunya memberi lampu hijau pada si gadis bunga, demikian julukan dariku sesuai dengan arti namanya dalam Bahasa Arab. 

Ia pun pergi dari kelas meskipun hanya sementara. Sepertinya sangat singkat, setelah pergi selama sekitar 20-30 menit dirinya kembali ke kelas demi mengikuti ulangan harian bersama kami. Syukur, Alhamdulillah aku dapat menyelesaikannya dengan lancar begitu pula sang gadis pujaan hati. Barangkali ia masih mencoba untuk menguatkan dirinya. 

Hari Selasa pun tiba. Usai Shalat Dhuha ditambah dengan mendengarkan khutbah bersama-sama di aula sekolah, Pak Iman sang Guru Geografi segera memulai jam pelajaran dan bila tak salah beliau membahas seputar persiapan ulangan di lain hari. Seingatku, aku duduk hanya dengan jarak 2-3 bangku dari tempat sang gadis pujaan hati duduk. Mungkin ia tampak semakin pucat sehingga dirinya kembali meminta izin untuk beristirahat di UKS kepada Pak Iman sang guru idola sebagian gadis-gadis kelas. Dirinya pun pergi usai mendapatkan lampu hijau, namun bedanya setelah mendapatkan lampu hijau dari Guru Geografi ia tak kembali bergabung di ruang kelas. 

Ketika pergantian siang ke sore hari di waktu Ashar tiba, guru kelasku Bu Intan mengabarkan pada semuanya bahwa si gadis pujaan hatiku sudah pulang lebih dulu tadi siang usai tubuhnya memiliki suhu 38 derajat celcius seperti dibakar oleh api oven. "Tuh dipegang sama Aldi," "Tengokin di." Ujar beberapa siswa perempuan di ruang kelas. Aku hanya terdiam mendengar itu semua. Hari demi hari terus berganti meskipun tiada berita terbaru tentang sang gadis pujaan hati. Paling banter pula hanya kalimat "masih sakit" yang diucapkan oleh Bu Intan saat sesi opening di pagi hari. Di sinilah aku menyebut perjalanan waktu dengan julukan "daun-daun berguguran." 

Sungguh, semua seperti sudah diatur oleh sang pencipta. Tatkala fajar kembali menyingsing di hari Senin pagi tepat ketika diriku tengah membayangkan diri menjadi seorang kapten pilot yang bertugas mendaratkan pesawat di atas landasan pacu, aku merasa seperti terhempas oleh guncangan pesawat Boeing 777-300ER/Airbus A380 yang timbul tatkala pendaratan tengah dilakukan. Namun guncangan batin kali ini terasa lebih kencang dari guncangan pesawat. Aku mendengar berita terbaru dari Bu Intan terkait si gadis bunga. Guncangan pasca-mendarat terjadi sangat kencang saat aku mendengar si gadis bunga harus terbaring di sebuah kamar perawatan milik salah satu rumah sakit di kota ini. Asumsi atau spekulasiku seperti mewartakan tubuh gadis bungaku diserang oleh serdadu-serdadu kuman dibawah komando suatu penyakit. 

Belum ada rencana menjenguk memang, sebab di hari itu kami harus menyelesaikan salah satu tugas besar yang akan dipresentasikan sebagai bentuk pertanggungjawaban selama dua hari kemudian. Aku mendapat giliran ke-6 di hari pertama dan Alhamdulillah aku sanggup menyelesaikan presentasiku dengan baik. Presentasi diakhiri dengan proses revisi laporan. Sore harinya, barulah Bu Intan membocorkan rencana menjenguk gadis bungaku di esok hari tepat setelah pulang sekolah. Tentu saja aku merasa bersemangat menyambut rencana itu dan selalu memastikan diri ikut menjenguk ke rumah sakit. Sebelum berangkat, tentu aku sudah minta izin kepada orang tuaku dengan balasan "boleh pergi dan hati-hati di jalan." 

Hari itu Rabu sore pukul 15.55 WIB, aku berangkat menuju rumah sakit tempat si gadis bunga dirawat. Dengan menuruti petunjuk di layar telepon seluler, aku bersama Bu Intan, Bu Tia, Dinda dan Reyna mencoba mencari kamar tempat si gadis bunga beristirahat. Akhirnya kami menemukan kamarnya meskipun harus membiarkan tim perempuan masuk terlebih dahulu karena sesuatu hal. Seraya tim perempuan berada di dalam ruangan, aku menunggu di luar bersama Sulthan, Ali alias Abah dan Angga sambil bercanda-bercanda. 

Hanya berselang beberapa menit, aku sudah diperbolehkan masuk diikuti oleh Sulthan, Ali dan Angga. Kini aku dapat melihat dengan mata kepala sendiri seorang gadis bunga yang tengah terduduk di atas kasur. Tubuhnya dibalut oleh selimut berwarna biru langit lengkap dengan kerudung biru donker di kepalanya. Sedangkan tangan kirinya "ditusuk" oleh selang infus. Aku pun berbincang-bincang dengan sang gadis bunga dan tak lupa memberi titipan dari salah seorang temanku. Karena terinspirasi dari temanku, maka aku pun membuat tulisan dengan isi doa agar gadis bunga itu cepat sembuh seperti sedia kala. 

Hari itu terasa agak lucu pula karena aku iseng berbicara Bahasa Jerman di dekat sang gadis bunga sampai ibunya tertawa. Namun tak lama kemudian, sebagian teman-temanku datang dengan tujuan yang sama: Menjenguk sang gadis bunga. Kami pun berbincang-bincang akrab di ruang perawatan. Hanya sesaat sebelum pulang, aku berbicara kepada si gadis bunga meskipun hanya menyadur dari lagu "Dibalik awan" milik band NOAH.

Kita enggak selalu berdiri
Kadang hidup itu memilukan
Jalan yang kita lewati kadang hanya sekedar cerita
Kita harus selalu menggenggam tangan atau saling membantu demi merasakan penderitaan

Apa yang kita kasih enggak selalu jadi kehidupan
Apa yang kita mau enggak selalu jadi kehidupan

Sekarang kita ada di balik awan, sekarang kita ada di balik hujan
Tempat kita diam, tempat  bertahan kita  ada dibalik hujan

Semoga kamu cepat sembuh terus besok semoga kamu lebih sehat

Dengan mata kepala sendiri aku melihat teman-temanku merekam kata-kata yang diucapkan tadi direkam oleh mereka persis seperti pembicaraan seorang kepala negara seiring dengan terbitnya senyum di wajah sang gadis bunga. Jujur saja, rasa bimbang sempat menggelayutiku usai berpamitan pada ibunya si gadis bunga demi pulang lebih dulu. Rasanya waktu yang aku dapatkan demi menatap wajah si gadis bunga terlalu sebentar. Namun setelah berpikir-pikir, ada baiknya aku pulang lebih dulu karena pulang terlalu larut juga tidak baik meskipun harus berjibaku dengan kemacetan lalu lintas sebagai imbas dari libur panjang keesokan harinya.

Beres bercerita, kini Stevie tampak mengerti seluruh isi ceritaku. Aku pun hanya diam meratapi kesunyian senja yang diramaikan oleh guyuran hujan tanpa tahu harus bercerita apa lagi. Di akhir cerita, aku merasa ingin bercerita sekaligus bertanya pada serdadu Burung-burung Manyar, namun saat ini aku tak sanggup mendengar kicauan-kicauan indahnya... 


Tertulis, kisah indah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan

Bandung, 4 Mei 2016 
Pukul 21.17 WIB
-Herr Aldi Van Yogya-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi