Postingan

Menampilkan postingan dari 2017

Malam sunyi di Legok Kondang

Gambar
Syair sedih ialah kawanku kini Bait sunyi sahabat sejatiku petang ini Merepih senyap di batas hari Menyapih senja pada sendunya alam gunung Tetap bimbang menemani Tetap kekosongan hati mengisi Nyanyian burung-burung bergema kencang Pekik tonggeret sepertinya Mengirim lantun pengisi senyap Aku disini termenung memagut senja Termangu aku seorang diri Melihat keramaian semu Keramaian semu? Ya, sesuatu yang amat semu.  Berapa hari ini sudah Perang bathin berkecamuk dalam diri Dan yang terpasti Samar-samar tentang lumbung ilmu baru Ganggu pikiran benak Malam sunyi hadir jua Koloni jangkrik bernyanyi merdu Temaram pelita lampu mengerlip Untuk hati yang kosong Itu karena si gadis bunga Jelas biar hati ini memagut harap Teruntuk si gadis bunga yang mestinya turut menderap langkah Meniti lagi kisah di Legok Kondang Setitik surga kecil di selatan sudut kota Pada kisah yang terakhir kalinya bersama Dan kumerasakan jalar sunyi

Anak-anakmu (Kahlil Gibran)

Gambar
  Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan pikiranmu Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh mereka tapi bukan jiwa mereka, Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok, yang tak pernah dapat engkau kunjungi meskipun dalam mimpi Engkau bisa menjadi seperti mereka, tapi jangan coba menjadikan mereka sepertimu Karena hidup tidak berjalan mundur dan tidak pula berada di masa lalu Engkau adalah busur-busur tempat anak-anakmu menjadi anak-anak panah yang hidup diluncurkan Sang pemanah telah membidik arah keabadian, dan ia meregangkanmu dengan kekuatannya sehingga anak-anak panah itu dapat meluncur dengan cepat dan jauh. Jadikanlah tarikan tangan sang pemanah itu sebagai kegembiraan. Sebab ketika ia mencintai anak

Bimbangnya Petang Minggu

Gambar
Sumber:  keyword-suggestions.com Petang minggu, kupikir ialah waktu tersedih Waktu tersedih pabila ku mengingat esok Setitik hari yang mengawali pekan Termenung  aku di beranda rumah Mengusap peluh menderu nafas Bersepoi-sepoi angin petang melambai sunyi Bahagia, senang, tersalut gembira Lenyap sudah ditelan deru angin petang Hari esok mesti sudah aku beranjak Kembali menyapa hiruk-pikuk sekolah Lenguh kertas mencipta kecipak riak di sana Beban tugas ialah pemberat utama hati-pikiran Entah berapa kali petang minggu yang kulintasi sudah Tiada satupun manusia yang sanggup menghitungnya, bahkan seorang ahli matematika sekalipun Dan aku menemukan cerita yang berbeda kini Di fajar menjelang tengah hari Aku pergi mendaki Jalan Ciumbuleuit Aku teramat berhasrat mengincar bangku Kampus Unpar Yang tiada lain tiada bukan ialah lumbung bulir-bulir ilmu baruku nanti Gagal kugapai kesempatan emas Pertarungan nan sengit mesti kutempuh Dua be

Dara dua kepala negara

Gambar
  Sumber gambar:  www.lanlinglaurel.com 1.  Penghujung Maret menutup larik cerita Berduyun-duyun menanti senyum April Tiga puluh hari penuh cerita Dalam pikir yang pasti tertulis Tak terlupa perjalanan waktu. Istana Bogor, berkemilau memukau hati Diteduhi rerimbunan pohon kala bercericitnya burung-burung Dimiringkannya ranting penuh dedaunan Menembus sinar matahari Malu-malu menyapa fajar pada pagu istana. Pria kurus nan sederhana, hampir merenta wajah tetapi Menggulung lengan kemeja putih sedikit di bawah sikut Ratapan matanya seakan membelah angin Terawang dia bak mendarat di petakan kolam Kala ikan, kecebong hingga katak ataulah kodok Menabuh riak air bersama-sama Dua pelayan istana tersaruk-saruk mengayuh tapak Hadirkan bunyi ketipak-ketipuk lantai istana Fraksi sepersekian detik baru mereka terjaga Lengan menggenggam lembar kertas nan tipis Wajib hukumnya di baca tuan kepala negara 2.  "Engkau melangkah tersaruk-

Lembah pikiran

Gambar
  Sumber gambar:  feelgrafix.com Pikirmu bisa menghanyutkanmu pada bahagia, Pikirmu sanggup menenggelamkanmu dalam sedih, Dan dengan pikirmu, engkau boleh hilang kesadaran Pabila hadirnya ialah batas tipis antara mimpi dan nyata Bak sebilah jembatan pendek antara mimpi dan nyata Di batas hari ini tatkala mentari menarik cahayanya sudah dan ia menguburnya dalam-dalam di ufuk barat titik dirinya berpihak pada awal mula senja digurat, seorang diri saja aku tercenung dalam naung sebilah batang pohon bersama dedaunan hijau segar nan anggun meratapi kerlip bintang malam yang mengedip malu-malu bersama nona rembulan yang mular menjentik jemarinya di atas bunga menguncup rapat jua beningnya sepetak telaga bening yang memantul bayangan kubah langit biru nilam. Aduhai sedemikian elok pabila engkau memandanginya. Dan siapa yang tiada tergoda dipeluk lukisan alam ini? Nona rembulan aku pandangi sepenuh sunyi merangkul. Ini malam, ia memantul wajah penuhnya menerangi seisi mu

Hujan tak sampai di Persimpangan Benteng Vredeburg

Hujan tak sampai di Persimpangan Benteng Vredeburg Tentang cinta, pertemanan, persahabatan dan kebersamaan.             Jelas sudah, relung hatiku berharap rintik air hujan luruh di persimpangan Benteng Vredeburg, Yogyakarta tepat saat aku menyelami makna perjumaan secara lebih jauh dengannya. Aku ingin menampak luruhnya hujan bersama hadirnya seorang gadis berparas cantik yang selalu mendorong semangat untuk satu-satunya palung jiwaku ini. Ingin kusebut namanya, namun aku malu ‘tuk menyebutnya meski kutahu siapa dia lebih dari dua belan belakangan ini.             Tiada Stevie, sosok gadis remaja pula anak didik kesayanganku dalam bunga mimpi, jua tiada sosok gadis pengagum kupluk bau-abu pda cerita. Lalu, siapa sosok dara cantik yang hadir tak jauh dariku? Jawbnya, cukuplah Si gadis bunga. Kala ini dia dapat turut mengembara ke Yogyakarta bersamaku dalam suatu kisah indah.             Alkisah, ini hanya Sembilan bulan terpaut jarak, memang. Awal tahun 2016 aku lewati

Kakek penanti hujan

Di sudut timur kota, senja beranjak sunyi telah Gerimis hujan menggelitik tanah Mengiring langkah muda beranjak pulang Kepada peluk hangat relung atap Berapa hari sudah, entah ku menyirat rindu tentang pulang di titik pertama senja menyapa. Dahulu bisa kutunaikan pulang di titik sapa pertama senja. Namun, kini, cerita menyulap segala agar ia berubah. Tugas memeran jiwa samar di atas kemegahan panggung bermandikan lampu sorot, menuntutku 'tuk selalu menyambangi rumah kawan setiap Sabtu tiba. Kendati yang pertama, dihabiskan di sekolah masih. Dan ingat bagaimana ketika ku mengawali pemeranan jiwa samar hanya bersebelahan dengan hingar-bingar dara jua bujang yang disebab sepakan bola futsal dari satu sudut lapang ke lain sudut lapang. Janji diikat pukul sepuluh tepat kemarin. Tapi ikat janji perkara mudah dilepas. Pukul sepuluh lewat, datang kawan-kawan entah alasan apa.  Ingat bagaimana ketika telapak menyapa lagi lantai rumah kawan di ufuk timur kota. Aku mengunjungin

Surat di Epilog Januari (2)

Gambar
Sumber gambar: http://www.ebay.com.my/  Bandung, 28 Januari 2017 Terlampir bagimu sahabat-sahabat Yang menghias jiwa nan sunyi.  Assalamu'allaikum Wr. Wb.  Kututurkan sekali lagi, apa kabar sahabat-sahabat tercinta nun jauh di tanah rantau sana? Pasti akan selalu dinanti kabar baik yang tercipta dari kisah kalian. Bila dipikir lagi, rupanya lama sudah aku tak bertatap wajah dengan kalian dan jumpa terakhir yang pernah kita tunaikan sepertinya tertinggal jauh di penghujung tahun lalu. Banyak cerita sudah yang aku kisahkan pada kalian. Dan kini hanya dapat melalui lembaran-lembaran surat aku mewartakan kisah yang aku rasakan sendiri. Tanpa banyak bertutur lagi, langsung aku kisahkan seluruh kenanganku di epilog Januari.                                                                           **** Tiada pernah dirasa Januari mencapai penghujungnya sudah. Januari ialah bulan yang amat kukagumi sejak menyongsong masa remaja dan pastinya ada cerita yang ters

Surat di Epilog Januari

Gambar
  Sumber gambar:  Identity Evropa Bandung, 24 Januari 2017 Untuk sahabat-sahabatku, anak bujang & gadis Nun jauh di rantau sana Assalamu'allaikum Wr. Wb.  Kuucap apa kabar teruntuk kalian semua nun jauh di rantau sana. Harapnya agar kalian dibekap suasana-suasana indah yang mencipta nuansa baik teruntuk kalian pula aku.  Teruntuk saat ini, aku mengantongi sudah cerita selingkaran Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla. Jelas aku tahu, sebagian dari kalian jelas tak mengambil bagian agar mendorong mimpi indah dua pria ini disebab kalian lebih memilih 'tuk memandang para pemimpin tersebut dari lain sisi. Tapi tak mengapalah, melalui surat yang aku tulis saat aku dibekap kesendirian ini aku harap kalian dapat menikmati cerita tentang mereka pun semoga ini dapat ditasbihkan sebagai cerminan hidup nan baik.  "Lempar panahlah dan berkuda, namun kalian memanah lebih kusukai daripada berkuda." - Hadits Riwayat Imam Muslim.

Ranah 3 Warna (Kutipan chapter "Pulang Kampung," hal.467-469)

Anak-anakku... Akan tiba masa ketika kalian dihadang badai dalam hidup. Bisa badai dari luar diri kalian, bisa badai di dalam diri kalian. Hadapilah dengan tabah dan sabar, jangan lari. Badai pasti akan berlalu. Anak-anakku... Badai paling dahsyat dalam sejarah manusia adalah badai jiwa, badai rohani, badai hati. Inilah badai dalam perjalanan menemukan dirinya yang sejati. Inilah badai yang bisa membongkar dan mengempaskan iman, logika, kepercayaan diri, dan tujuan hidup. Akibat badai ini bisa lebih hebat dari badai ragawi. Menangilah badai rohani dengan iman dan sabar, kalian akan menjinakkan dunia akhirat. Anak-anakku... Bila badai datang. Hadapi dengan iman dan sabar. Laut tenang ada untuk dinikmati dan disyukuri. Sebaliknya laut badai ada untuk ditaklukkan, bukan ditangisi. Bukankah karakter pelaut andal ditatah oleh badai yang silih berganti ketika melintas lautan tak bertepi? (Tulisan tangan Kiai Rais kepada santri-santri Pondok Madani di buku angkatan milik Alif.)

Bergelunglah prahara

Gambar
  Engkau adalah segelintir dari beribu anak manusia yang diterjunkan ke muka bumi melalui cinta ayah dan ibumu untuk mencipta bahagia walau mesti diiringi prahara yang bergelung sedemikian erat pada hidupmu. Engkau adalah anak-anak panah yang selalu diperintah agar membidik cinta-kasih dalam bahagia, walau akan ada kalanya engkau membidik lain sasaran yang menjalarkan prahara. Namun tak mengapa itu terjadi sebab engkau memang dicipta di muka bumi untuk mereguk prahara sebab itulah tujuan hayatmu sejatinya. Andai engkau tak mereguk prahara lagi, takkan engkau hidup kembali disebab tiadanya tujuan tentang hayat.  Bergelungnya prahara di Bulan Januari memaksaku agar mesti mengudap selarik kalimat bijak gubahan pujangga nada anyar, "NOAH." Andai engkau berpikir, lama sudah aku tak menggurat berlarik-larik cerita pada lembaran ini. Dipasal apa? Sebab banyak prahara yang tampak sekonyong-konyong membekap aku tiada pernah aku undang. Beragam prahara bak menyurutkan semangat

Epilog Rantau 1 Muara

Di langit pagi, di atas Samudra Atlantik... Alhamdulillah, hari ini telah aku tunaikan teladan dan petuah para pengembara besar dunia seperti Imam Syafii, Ibnu Batutah dan Marco Polo. Bertualang sejauh mata memandang, mengayuh sejauh lautan terbentang, dan berguru sejauh alam terkembang. Aku ajarkan badanku untuk berani berjalan melintas daratan dan lautan, mencicip rupa-rupa musim, mengenal ragam manusia. Aku bujuk jiwaku untuk tidak pernah kenyang berguru dan terus memahami tanda-tanda yang bertebaran di bawah tudung langit.  Akulah si perantau ragawi. Akulah si pengembara rohani. Akulah si pencari yang terus menderapkan langkah, berjalan dan berjalan terus, karena aku yakin suatu saat akan sampai. Sejauh mana pun aku mengembara, keseluruhan hidup pada hakikatnya adalah perantauan. Suatu saat aku akan kembali berjalan pulang ke asal. Kembali ke yang satu, yang esensial, yang awal. Yaitu menghamba dan mengabdi. Kepada Sang Pencipta. Hari ini pula, di atas pesawat yang menerba

Terhampa, hati di sore hari Minggu

Gambar
Penerbangan Frankfurt-Singapura, menjelang hari menemukan akhir. Dingin yang kian senja kian menawan, masih aku tahan dengan kembang-kempisnya pelupuk mata seiring dengan melintasnya pesawat tepat dalam ketinggian 33.000 kaki di atas perairan Teluk Benggala, India tatkala masih aku meniti perjalanan membelah tudung langit yang bermula dari ujung landasan di Bandara Internasional Frankfurt dan bersegera menemui sang epilog tepat di ujung landasan Bandara Internasional Changi, Singapura. Terkantuk-kantuklah aku sejak tiga jam terakhir penerbangan bersama Lufthansa LH 778, bak ingin lebih tinggi lagi terbang walau telah terbang tinggi kini. Aku tatap lagi pemandangan di luar kaca jendela pesawat, awan berduyun-duyun sudah menuju pelukan senja tepat di sore hari Minggu. Terhampalah hati menampak pemandangan di senja penuh sedih ini.  "Männer und Frauen, das ist euer flug-kapit än sprachen. Jetzt wir haben noch fliegen in das höhe-level von 33.000 füß  über Benggala Bucht

Kota mati, bersauh aku padanya

Gambar
  Sumber gambar:  7-themes.com Alkisah, semburat cahaya senja yang hadir hari ini aku tampak bak hadir membawa keheningan yang melebihi keheningan senja lain sepanjang hayatku belakangan ini. Di salah satu sudut kota, aku putuskan sudah agar aku dapat menyendiri dalam perenungan lebih jauh mengenai heningnya hati yang tampak bak kota mati tempat aku bersauh padanya usai meniti perjalanan entahlah itu lepas hadir agar murid-murid dapat berguru atau pengembaraan jarak jauh dengan ditemani kawan-kawan terbaikku. Dan pada epilog, aku tampak keheningan senja kian erat mendekap hati pula tubuh yang telah didekap lelah terlebih dahulu. Ingatan ini hampa, hanya mengingat lagi sosok-sosok manusia yang pernah menemaniku pada cerita. Kini mereka lenyap kembali, tiada tentu rimba hati berbicara lebih jauh.  Aku mengutip lagi salah satu lagu gubahan para kurcaci tampan pada hari yang cerah.