Belajar pada masjid, tukang parkir & tukang bakso (renungan seorang guru muda)

 

Langit senja pun tampak bersahabat menaungi langkah seorang guru muda menuju ke sebuah masjid besar tak jauh dari sekolah tempatnya mengajar. Angin sore pula turut bersepoi-sepoi menerjang rerumputan yang bergoyang tepat di sebelahnya. Sang guru muda terus melangkahkan kakinya hingga ia tiba di sebuah masjid besar. Bagai memiliki lampu alami, sinar keemasan mentari di kala senja menembus langit-langit dan dinding masjid. Tak lupa ia mengambil air wudhu, ia pun segera masuk tempat shalat dan menempati barisan paling depan tepat di belakang mihrab bagi sang imam tuk memimpin shalat. 

Ketika aku tiba, baru ada beberapa jamaah yang menempati shaf sebab jamaah lainnya masih mengambil air wudhu sedangkan sebagian lainnya tengah khusyuk menunaikan shalat sunnah qabla Ashar. Selanjutnya beberapa orang murid laki-lakiku hinggap di sebelah seraya mereka menyalami telapak tanganku hingga Adzan Ashar berkumandang merdu, satu per satu jamaah datang memasuki masjid. Meski adzan sudah berkumandang, tetapi separuh dari mereka tetap ada yang menunaikan ibadah shalat sunnah seraya menunggu habisnya jeda waktu dari adzan ke iqomah selama tujuh menit.  Tidak shalat sunnah, aku hanya berdiam diri menikmati pemandangan lepas di depan mihrab. Ah, sungguh sangat indah pemandangan dari dalam masjid besar ini. 

Tanpa terasa, iqomah pertanda waktu shalat akan segera dimulai telah berkumandang dan seluruh jamaah di masjid segera beranjak dari duduk. Yang baru selesai berwudhu mempercepat langkahnya demi mendapatkan shaf shalat. "Barisan harap diluruskan dan shaf dirapatkan sebelum shalat dimulai sebagai salah satu bentuk kesempurnaan amal ibadah shalat berjamaah." Ujar sang imam yang mengenakan peci hitam serta sebuah jas dan celana sewarna. Aku masih sempat memperhatikan shaf jamaah. Hanya tiga shaf, itu sudah jumlah terbanyak di kala waktu shalat tiba. Hampir setiap hari aku bertandang ke masjid ini, jamaah tidak pernah membuat masjid penuh sesak kecuali di waktu shalat Jumat. Itu pun hanya dipenuhi oleh jamaah laki-laki. Lalu aku shalat Ashar bersama jamaah lain selama lima menit. 

Beres shalat Ashar berjamaah, pandanganku tertuju ke halaman masjid atau lebih tepatnya seorang tukang parkir di tempat parkir masjid. Seperti biasa, setiap hari ia bertugas dengan mengenakan baju seragam jingga sambil mengatur keluar-masuknya mobil. Tentu ia sangat berjasa, tetapi sayangnya kerap kali dipandang sebelah mata oleh banyak orang termasuk murid-muridku, barang kali. Padahal di samping itu, ada satu pelajaran yang dapat dipetik darinya. 

Coba lihat dirinya. Ia memiliki mobil yang sangat banyak setiap hari tetapi ia tak pernah sombong karena mobil-mobil tersebut. Mengapa? Sebab saat mobilnya pergi diambil oleh pemiliknya, ia tak pernah merasa marah, kesal atau sakit hati. Malah ia akan membuka jalan lebar bagi mobil tersebut untuk pergi bersama pemiliknya. Lalu saat mobil baru datang, ia pula tak pernah merasa sombong sampai mobilnya berganti-ganti. Semua itu dilakukkannya sebab ia tahu bahwa mobil-mobil di area parkir tersebut adalah sebuah amanah alias titipan dari pemiliknya. Bila kita masih sombong dengan apa yang kita miliki, mengapa kita tak segera belajar dari tukang parkir? 

Tepat saatku mengalihkan pandangan dari aksi sang juru parkir, aku melihat seorang gadis 13 tahun tampak asyik mengobrol dengan seorang tukang bakso. Rambut hitam nan panjangnya berderai-derai ditiup oleh angin sore dan tentu saja dirinya menarik rasa ingin tahuku. Tanpa pikir panjang, aku pun melangkah ke arah sang gadis dengan si tukang bakso tersebut. Dari percakapan Stevie dengan si tukang bakso, aku merasa diberi sebuah pelajaran olehnya. Meski hanya berprofesi sebagai tukang bakso, tetapi ia memiliki niat beribadah haji dari uang hasil penjualannya sendiri. Di sisi lain, ia pula berencana akan menyekolahkan anak-anaknya hingga jenjang perkuliahan serta akan selalu bersedekah setiap hari, berapapun jumlahnya. 

Kini aku pun mengerti semua itu dan aku sendiri tidak hanya seorang guru yang bertugas mengajarkan materi akademis pada murid-muridku, tetapi aku pula memiliki kesempatan untuk berguru pada kehidupan akan makna-makna indahnya. 

Semoga bermanfaat. 

Tertulis, kisah indah seorang guru bahasa Jerman di masa depan.

Bandung, 9 Juni 2016
Pukul 16.45 WIB. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi