Belajar sabar pada tiga ranah tiga warna

 
Tanpa pernah kusangka-sangka, aku masih memegang kewajiban untuk selalu belajar pada sebuah seni bernafas dan bergerak bernama kehidupan meski telah disematkan status Guru Bahasa Jerman. Aku tahu, status Guru Bahasa Jerman dalam diriku hanyalah sebuah amanah alias titipan yang dapat kupelajari tentang makna rendah diri, sabar dan ikhlas. Di lain sisi, aku kembali meluangkan waktu bercerita tentang sebuah pelajaran kesabaran kepada murid-muridku. Kali ini Stevie hinggap di sebelahku dengan membawa dua orang teman perempuan dan tiga orang teman lelakinya. Dengan duduk beralas tanah, berdinding rumput-rumput yang bergoyang dan beratap langit Bumi aku memulai cerita tentang perjalanan seorang pemuda asal Maninjau yang ditunjuki jalan merantau ke Bandung, Amman (Yordania) dan Saint Raymond (Kanada). 

Tamat dari PM alias Pondok Madani di Ponorogo, Jawa Timur tak membuat mimpi Alif demi menjadi seorang insiyur pesawat terbang seperti BJ. Habibie pudar. Sambil membawa semangat yang membara berapi-api, ia pulang kampung ke Bayur yang tak lain dan tak bukan adalah sebuah desa tepat di pinggir Danau Maninjau, Sumatera Barat. Ia menceritakan semua mimpi besarnya tersebut kepada Randai sahabatnya yang sudah lebih dulu masuk jurusan Teknik Penerbangan ITB sesuai dengan mimpinya. Namun di saat pulang kampung ini, Alif secara tiba-tiba diragukan kemampuannya oleh Randai untuk lulus UMPTN (Ujian masuk perguruan tinggi negeri/SBMPTN di waktu itu) karena ia tak memiliki selembar ijazah SMA. 

Alif pun tersadar dan mau tidak mau, ia harus mengikuti ujian persamaan tingkat SMA agar bisa mendapat ijazah untuk bisa masuk perguruan tinggi negeri. Ikhtiar dengan mantra "MAN JADDA WAJADA" ia mulai sambil membaca buku-buku pelajaran SMA pinjaman dari temannya. Sulit memang bagi seorang lulusan pesantren untuk memahami semua pelajaran tiga tahun SMA dalam waktu singkat. Namun meski hanya seorang lulusan pesantren yang diremehkan sebagian orang seperti Tim Dinamit asal Denmark, Alif bisa melewati ujian persamaan SMA dan UMPTN. Sebuah rezeki besar hinggap di hadapannya: Masuk Jurusan Hubungan Internasional Unpad, Bandung, Jawa Barat. 

Dengan sepenuh hati ia berangkat ke Bandung dan tinggal bersama Randai dalam satu rumah kos. Di Bandung pula, ia melewati hari-hari pertama kuliah bersama Wira, Agam dan Memet sebagai tiga orang teman barunya hingga perhatian Alif tertuju pada seorang gadis sebayanya dengan julukan: Raisa si tetangga berkilau. Tak sampai di situ, Alif harus mulai merasakan masa-masa sulit yang dimulai dari kematian ayahnya, biaya hidupnya yang menipis, profesi sampingan yang sangat berat hingga ia jatuh sakit selama satu bulan. Rupanya Alif sadar jika mantra "Man jadda wajada" tidak cukup sakti dalam menghadapi badai hidup dan dalam sakitnya ia mendengar mantra "Man Shabara Zhafira," yang artinya siapapun yang bersabar maka dia akan menang. 

Alhamdulillah, secercah harapan kembali muncul menggulung badai nestapa hidup Alif di Bandung. Walau harus digojlok habis-habisan oleh Bang Togar si senior sekaligus penulis muda, Alif menjadi semakin sering mengirimi artikel ke media massa dan rezeki besar kembali dijangkau oleh tangannya: Mengikuti pertukuran ke Yordania dan Kanada. Takdir lalu menerbangkan Alif dari Bandung yang bertanah humus ke tanah gersang Yordania bersama beberapa orang teman barunya. Semua petualangan ia nikmati di tanah kelahiran para nabi dan rasul ini sebelum ia melompat lebih jauh melintasi langit Benua Eropa dan Samudra Atlantik ke Saint Raymond, Quebec, Kanada untuk tinggal dan bekerja di Kanada bersama kedua orang tua angkatnya, Mado dan Ferdinand.

Mau minta apa lagi? Di Kanada tanah tempat pohon Maple ini tumbuh Alif merasa jatuh cinta pada Raisa dan ia menuliskan sebuah surat yang tak pernah tersampaikan beberapa tahun kemudian sebab Randai lebih siap menjadi pasangan hidup bagi Raisa. Kendati demikian, Alif tetap sabar dan ikhlas hingga ia kembali pulang kampung ke Saint Raymond bersama istrinya tercinta. 

Di puncak tertinggi Saint Raymond, Mont-Laura Alif menuliskan setangkup kata-kata: 

Hidupku selama ini membuat aku insaf untuk menjinakkan badai hidup, "mantra" man jadda wajada saja ternyata tidak cukup sakti. Antara sungguh-sungguh dan sukses itu tidak bersebelahan, tapi ada jarak. Jarak ini bisa hanya satu sentimeter, tapi bisa juga ribuan kilometer. Jarak ini bisa ditempuh dalam hitungan detik, tapi juga bisa puluhan tahun. 

Jarak antara sungguh-sungguh dan sukses hanya bisa diisi sabar. Sabar yang aktif, sabar yang gigih, sabar yang tidak menyerah, sabar yang penuh dari pangkal sampai ujung yang paling ujung. Sabar yang bisa membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, bahkan seakan-akan itu sebuah keajaiban dan keberuntungan. Padahal keberuntungan adalah hasil kerja keras, doa dan sabar yang berlebih-lebih. 

Bagaimanapun tingginya impian, dia tetap wajib dibela habis-habisan walau hidup sudah digelung oleh nestapa akut. Hanya dengan sungguh-sungguhlah jalan sukses terbuka. Tapi hanya dengan sabarlah takdir itu terkuak dengan nyata. Dan Tuhan selalu memilihkan yang terbaik dan paling kita butuhkan. Itulah hadiah Tuhan buat hati yang kukuh dan sabar.

Sabar itu awalnya terasa pahit, tetapi akhirnya lebih manis daripada madu. Dan alhamdulillah, aku sudah mereguk madu itu. Man Shabara Zhafira, Siapa yang bersabar akan beruntung. 

AF, di puncak Saint-Raymond. 

(Dikutip dari Novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi, halaman 468-469)

Selesai bercerita, aku berusaha menanamkan kisah tersebut dalam hati Stevie, Chelsea, Hanum, Fikri, Wilson dan Geri. Mereka berenam tidak hanya menjadi murid yang aku didik secara akademis, tetapi sejatinya mereka adalah guru yang mengajarkan makna-makna indah kehidupan bagiku. Terkadang aku merasa kurang sabar dalam mendidik mereka, tetapi kini aku sudah berhasil lebih sabar. Alhamdulillah. Masa sukar pun telah jauh terlewati, dan kini saatnya menikmati masa-masa indah bersama keenam muridku ini. 

Man Shabara Zhafira, siapa yang bersabar dia akan beruntung...


Tertulis, kisah indah seorang guru Bahasa Jerman.

Herr Aldi Van Yogya
Bandung, 24 Juni 2016
Pukul 14.25 WIB 

Sumber gambar: 
http://www.infobdg.com/v2/bandung-kota-paris-van-java/, 
http://www.mushtaqtravel.co.uk/blog/amman-jordan, 
http://mapio.net/s/25843792/?page=2. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi