Kisah 11 Tahun lalu


 
Sumber: www.hdwallpaper.com 

Sejatinya aku masih ingin menanti masa ujian berakhir, namun belakangan ini aku sadar bahwa hasrat dan keinginan rupanya bisa bicara dan mereka pula memaksaku untuk segera kembali menulis lembaran-lembaran cerita setelah lama tak ada lembaran cerita yang tertulis. Beruntung aku memiliki masa jeda pada sisa waktu ujian yang cukup panjang sehingga awal masa jeda ini bisa ku gunakan untuk kembali bercerita tentang sebuah peristiwa 11 tahun lalu. 

Alkisah, nun jauh di kala senja menyinari langit dan tanah Negeri Kincir Angin alias Belanda, seorang guru muda terlihat sedang mengemudikan sebuah mobil VW buatan tahun 1970-1980an. Kuno memang, akan tetapi bagi sang guru muda hal itu bukan menjadi masalah sebab ia menyukai hal-hal berbau klasik. Ia terus mengemudikan mobil seorang diri tanpa ada teman di sebelahnya dengan melintasi hamparan padang rumput hijau berwarna kekuning-kuningan karena disiram oleh sinar matahari. 

Perlahan tetapi pasti, aku merasa dibelenggu oleh rasa lelah karena terus-terusan mengemudi dari Rotterdam si kota pelabuhan menuju Amsterdam. Aku memang hanya seorang Guru Bahasa Jerman, akan tetapi aku merasa Tanah Belanda terlihat lebih indah tuk didaulat menjadi latar sepenggal atau bahkan setangkup cerita. Mobil VW kuno yang aku kemudikan sejak tadi terus melambat hingga akhirnya berhenti di pinggir jalan tentunya. Mesin mobil aku padamkan agar aku bisa menikmati suara alam yang dilengkapi dengan hembusan angin senja. Tak lupa hamparan rumput-rumput yang bergoyang turut melengkapi. 

Sejenak, aku terdiam di pinggir padang rumput demi mengingat penggalan-penggalan kisah lamaku dulu. Baju kotak-kotak kesayanganku hari itu tertiup oleh angin senja meski masih menempel pada ragaku. Dasi abu-abu yang membebat leherku pun ikut melambai-lambai pada sebuah truk trailer pengaduk semen serta sebuah truk tangki yang kebetulan melintas di belakang seolah aku kenal dengan sang pengemudi. Aku menikmati kesendirian berbalut kesunyian di kala senja hingga seorang gadis 13 tahun datang untuk duduk tepat di sebelahku. 

"Herr Aldi, dulu waktu masih kecil pernah tinggal di Australia ya? Terus berapa lama di sana?" Ujar sang gadis remaja padaku. Rambut panjangnya turut melambai-lambai teritup oleh angin. Lalu, tanpa pikir panjang aku segera menyahut senandung Stevie si burung Manyar remaja meski saat remaja aku lebih membayangkan diriku tinggal di Belanda. "Betul, dulu bapak tinggal selama empat tahun di sana. Berangkat awal tahun 2001 terus balik ke Bandung tahun 2002, setelahnya baru balik lagi ke Australia sampai tahun 2005." Paras cantik nan manis milik Stevie tak menerbitkan senyum pertanda ia mengerti isi ucapanku sebab aku senasib dengannya.

Usai terdiam sejenak dan membiarkan alam bersuara, Stevie segera memintaku tuk bercerita tentang perjalanan pulang dari Australia.

Jujur saja, aku lupa persisnya hari itu hari apa akan tetapi yang jelas hari itu tanggal 3 Juni 2005 saat fajar menyingsing di langit negeri Kanguru. Teman-teman ibuku selama masa studi S3 di Australian National University (ANU) telah siap menjemput kami di sebuah apartemen tak jauh dari Kampus ANU. Mereka datang dengan membawa mobil milik masing-masing demi mengantar diriku, ayah dan ibuku pulang ke Indonesia. Usai barang-barang disiapkan dan dimasukkan, kami berangkat. Aku lupa ayahku pergi menumpang mobil siapa, namun hari itu aku menumpang mobil Om Bambang bersama ibu menuju Bandara Canberra.

Tiba di Bandara Canberra, tidak lupa check in dilakukan meskipun aku agak lupa urutan kejadian di bandara hari itu. Sebelum memasuki pesawat Qantas tujuan Kota Sydney, aku masih sempat menanti di ruang tunggu seraya bercengkrama ria dan berfoto-foto dengan kawan-kawan seperjalanan di Tanah Negeri Kangguru. Masih jelas dalam ingatanku, saat itu aku berangkat ke Indonesia bersama Tante Yohana, salah seorang teman ibuku yang berasal dari Papua dan akan pulang di waktu yang sama.

Hanya sesaat sebelum memasuki pesawat yang sepertinya berukuran kecil untuk penerbangan jarak dekat, teman-teman seperjalanan di Australia segera berpamitan kepada kami lalu pulang ke rumahnya masing-masing. Panggilan pun berkumandang lewat pengeras suara tentunya, kami segera memasuki pesawat Qantas tujuan Kota Sydney demi menempuh penerbangan dalam jarak dekat. Sangat dekat untuk ditempuh dengan menggunakan pesawat terbang,

Tiba di Bandara Internasional Kingsford Smith Sydney, aku berpindah dari pesawat menuju sebuah bus bandara agar bisa menunggu sekaligus melakukan transfer penerbangan di Sydney selama beberapa jam. Ketika hari sudah beranjak sore, dengan menggunakan sebuah bus aku diangkut ke terminal bersama ayah dan ibu beserta penumpang-penumpang lainnya demi menunggu keberangkatan untuk yang kedua kalinya. Terus terang, aku masih ingat kemana arah pandanganku saat itu. Kala menanti pesawat Qantas tujuan Jakarta, aku masih sempat menatap Sydney Tower di tengah barisan gedung-gedung pencakar langit milik Sydney untuk yang terakhir kalinya.

Panggilan pun berkumandang, inilah saat terakhirku melihat daratan Australia. Aku memasuki sebuah pesawat berukuran besar yang sepertinya adalah Boeing 747-400 dan di dalamnya persiapan oleh awak kabin tengah berlangsung. Aku duduk tepat di sebelah ibuku, dekat dengan sayap kanan pesawat terbang. Selanjutnya, begitu awak pengawas udara memberi lampu hijau pada sang komandan pesawat alias Kapten Pilot beserta sang first officer atau ko-pilot, kedua telapak kaki mereka segera menekan pedal gas yang membuat pesawat berlari di atas permukaan landasan pacu.

Setelah jemari tangan sang pilot berhasil menarik tuas kemudi pesawat, dari atas aku bisa melihat laut yang bertetangga dengan daratan Australia. Kini mereka berwarna jingga karena tersiram oleh sinar mentari. Barangkali ini menjadi salam perpisahan dari alam daratan negeri kangguru bagi seorang lelaki kecil yang akan segera mengawali kisah baru seraya merajut serta menggenggam mimpi di negara asalnya pada waktu esok. Mengudara selama 7-8 jam dengan berputar ke arah laut selatan Australia lalu berbelok ke barat laut, aku diberikan majalah "The Wiggles" sebuah band penyanyi lagu anak-anak asal Negeri Kangguru serta sejumlah makanan kecil dari awak kabin. "Oh iya tuh, nanti bisa dibuka di Bandung." Ujar ibuku saat melihat jemariku menggenggam majalah The Wiggels.

Ketika hari telah beranjak malam, di televisi pesawat ditayangkan serial komedi Mr. Bean sang pelawak asal Inggris. Ulahnya yang lucu membuat penumpang pesawat tertawa sebelum akhirnya mendarat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta tak lama berselang. Kami tidak pulang sendiri, melainkan nenek dan tanteku sudah lebih dulu menanti di Bandara Soekarno-Hatta demi menjemput aku meskipun saat itu aku masih malu-malu. Setelah sampai di rumah nenek, aku beristirahat seraya memutar kembali ingatan sebelum berangkat ke negeri kangguru. Esok harinya aku sudah memulai lembaran kisah baru meski masih dibelenggu oleh rasa jet lag karena belum dapat beradaptasi dengan sempurna.

"Hmmm, kayak gitu perjalanan Herr Aldi waktu pulang dari Australia." Stevie kini dapat memahami apa isi ceritaku tentang sebuah peristiwa belasan tahun silam. Aku pula terdiam sesaat. "Eh, by the way Australia ngajarin tentang apa nih buat Herr Aldi?" Ia kembali bertanya. "Buat bapak, Australia itu udah ngajarin tentang masa kecil yang rame, nyenengin & indah. Banyak kisah ceria yang bapak dapat di sana." Tak puas dengan pertanyaannya tersebut, Stevie kembali berkomentar tentang perjalanan masa remajaku dulu.

Dengan senang hati aku berkisah bahwa takdir telah menuntunku untuk bisa mengembara ke Tanah Dataran Tinggi Dieng 10 tahun berselang dan Tanah Kalimantan Timur 11 tahun selanjutnya. Di tempat dengan ketinggian 2.100 meter di atas permukaan laut ini, aku merasakan makna indah dari pertemanan, persahabatan, kebersamaan dan cinta. Sementara di Tanah Kalimantan aku merasakan makna dari kesabaran dan keikhlasan sebab di hari itu tak semua kawan-kawanku ikut. Berbicara tentang cinta membuat Stevie tampak ingin menggodaku. Akan tetapi aku berhasil menangkis godaannya sambil bertanya terkait dengan siapa kamu merasa jatuh cinta. Paras cantik nan manisnya menerbitkan senyum tersipu pertanda malu serta warna merah kini terlukis di wajahnya.

Ah, sungguh cerita yang sangat indah di Negeri Belanda, tempat serdadu-serdadu kincir angin berdiri tegak ditemani oleh serdadu burung-burung Manyar beserta lelambaian rumput-rumput yang bergoyang.

Bandung, 3 Juni 2016

Pukul 14.25 WIB
Tertulis, kisah indah seorang guru Bahasa Jerman di masa depan.
-Herr Aldi Van Yogya-

*Tulisan ini dibuat untuk mengingat kembali perjalanan pulang dari Negeri Kangguru 11 Tahun silam (3 Juni 2005-3 Juni 2016). 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi