Hari yang cerah untuk bunga yang layu

Tanpa pernah dinanti hari terakhir pun tiba di depan pandangan mata. Hari yang cerah memang, tetapi hanya untuk bunga yang layu. Siapa bunga yang layu itu? Jawabannya, tentulah aku. Menghadapi hari-hari terakhir di tahun pertama mengajar sebagai guru Bahasa Jerman, aku menghabiskannya dengan mengisi rapor sebagai persembahan istimewa para murid-muridku di sekolah dan tepat setelah pembagian rapor, aku akan segera terbang jauh ke tanah Jerman demi tinggal di sana selama dua minggu. Alhasil, spekulasi murid-muridku membuat mereka sedih tak terkecuali Stevie si gadis manyar 13 tahun. Suaranya yang begitu indah mengingatkanku pada senandung serdadu burung-burung Manyar di atas rerumputan fajar dan senja sana. 

Jenuh secara tiba-tiba merundung diriku yang tengah terduduk di balik meja guru karena sudah berjam-jam mengisi lembaran rapor narasi di komputer alias belum dicetak. Pandangan mataku menatap seisi kelas lengkap dengan meja-kursi tempat muridku mendalami pelajaran Bahasa Jerman. Sunyi-senyap. Tiada seorang diripun selain aku di balik meja kerja. Arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanan kembali kutatap untuk kesekian kalinya, begitu pula dengan kalender. Hanya dua hari lagi aku berada di ruang kelas ini bersama murid-muridku dan entah sisanya bagaimana. Masihkah aku bersama mereka? Lalu di kelas mana aku akan belajar-mengajar? Pertanyaan itu hinggap silih berganti, bertubi-tubi. 

"Wir vermissen Sie, Herr Aldi..." Suara beberapa orang gadis 13 tahun memecah keheningan dalam sekejap. Sontak, aku berpaling dari jendela kelas demi menatap wajah murid-murid perempuanku dengan terkejut sebab mereka telah menitikkan air mata. Stevie pun tak ketinggalan melumuri paras cantiknya dengan air mata yang berlinang sehingga membuatku bingung. Was gesachen? Warum? Apa yang terjadi? Kenapa? Belum sempat aku bertanya, Stevie sudah memaparkan penyebab dirinya berlinangan air mata menghadapi hari terakhir bersamaku. Kini aku mengerti apa maksud gadis 13 tahun tersebut dan segera menyeka air mata dari paras cantiknya. 

Kawan-kawan sebaya Stevie turut ku bersihkan dari air mata sambil mempersilahkan mereka berdiri melingkari meja kerjaku. Disini aku memaparkan seluruh rencanaku berangkat ke Jerman setelah pembagian rapor. "Stevie & semuanya, nanti setelah kalian bagi rapor Insha Allah bapak bakalan berangkat ke Jerman terus tinggal di sana dua minggu buat nyusul mama bapak yang lagi dinas di sana. Nanti di awal tahun ajaran baru, bapak udah masuk lagi bareng kalian." Dalam sekejap tangis gadis-gadis belia ini lenyap bagai ditelan Bumi. Satu per satu, perlahan tapi pasti senyum mulai terbit di wajah mereka. Aku pun tersenyum melihat perubahan ekspresi paras cantik mereka. "Ach Herr Aldi, ich denke Sie möchten ferting unterrichten Deutsch hier. Aber Sie sind nur bleiben in Deutschland für zwei wochen. Oke, vielen dank und sehr gut!!!" (Ah Herr Aldi, aku pikir anda akan berhenti mengajar Bahasa Jerman di sini. Tapi anda hanya tinggal di Jerman selama dua minggu. Oke, terima kasih banyak & sangat baik!!!)

Hari berikutnya aku isi dengan penyelesaian draf rapor narasi agar bisa dijadikan hadiah istimewa untuk semua murid-muridku termasuk Stevie. Alangkah senangnya membayangkan Stevie memiliki nilai tertinggi dalam mata pelajaran Bahasa Jerman. 

Berbeda dengan pembagian rapor pada semester satu lalu, pembagian rapor di semester dua ini suasana tampak jelas sangat berbeda sebab di kalangan guru, sebagian akan berhenti bekerja alias resign bila diartikan dalam bahasa gaul. Guru yang akan berhenti mengajar tahun ini cukup banyak tetapi hal itu tidak berlaku bagiku dan Frau Dewi serta guru-guru lain yang sudah lama ku kenal sejak remaja sebab kami tidak tahu kemana tujuan kami seandainya resign. Maka oleh karena itu, aku hanya bisa menatap hampa kepergian dari sebagian guru di sekolah ini. Murid-muridku pun begitu. "Oke, enggak kerasa hari ini jadi hari terakhir kita bareng disini. Pastiin barang-barang kalian enggak ada yang ketinggalan disini, terus selebihnya bapak minta maaf kalo ada salah sama kalian." Sesi pembagian rapor secara resmi aku akhiri meski harus berperasaan bimbang, antara senang dan sedih. Senang karena semua beban selama satu tahun telah lepas, tetapi sedih karena harus rela melepas beberapa orang sahabat guru dan murid-murid yang sudah kuanggap sebagai adik sendiri. 

"Herr Aldi, aku enggak pernah nyangka herr bisa terbang sejauh itu. Buah enggak jauh dari pohonnya, nasib kita ternyata sama herr. Bisa terbang jauh ke Jerman." Ujar Stevie di teras Bandara Soekarno-Hatta, sore keesokan harinya. Aku hanya tersenyum mendengar ucapan Stevie, tak tahu harus berkata apa. Tak jauh dariku tampak teman-teman Stevie tengah bercengkrama ria entah mengenai apa. "Herr Aldi kayak jadi kakak buat Stevie. Makasih udah bersedia ngajar buat Stevie setahun ini." Ujar Mama Stevie hanya sesaat sebelum panggilan bagi seluruh penumpang pesawat tujuan Jerman. Begitu dipanggil, aku segera menyeret koper hitam meninggalkan rombongan murid-muridku di balik kaca besar Bandara Soekarno-Hatta. "Aufwiedersehen Herr Aldi!!!"  Mereka berteriak seraya melambaikan tangan padaku dari balik kaca bandara. Aku terus berjalan menuju garbarata hingga memasuki badan sebuah pesawat nan lebar. 

Sinar mentari senja pun merambat memasuki kabin pesawat meski harus menembus kaca jendela. Aku hanya terdiam sejak pesawat mengudara dari Bandara Soekarno-Hatta tadi. Dari balik kaca jendela, aku memandangi area Bandara Soekarno-Hatta dengan harapan masih bisa melihat wajah murid-muridku untuk yang terakhir kalinya sebelum sampai di Jerman. Walau tak terlihat, tetapi aku yakin di bawah sana mereka masih berusaha menangkap wajahku yang semakin lama semakin kecil tak terlihat. Begitu pula dengan mereka. Semakin jauh pesawat mengudara sambil menembus awan mengarungi langit, Stevie dan teman-temannya semakin mengecil semakin jauh dari pandangan mata. 

Jemariku merogoh tas laptop dan mendapati foto Stevie di dalamnya. Aku menggenggam erat dengan jempol dan jari telunjukku sambil mengucapkan "You are my best student and thank you for a wonderful day with yourself, Stevie." Pesawat lalu terbang semakin tinggi menembus hamparan awan. 


Tertulis, kisah indah seorang guru Bahasa Jerman di masa depan. 

Bandung, 21 Juni 2016
Pukul 14.25 WIB. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi