Surat di penghujung Bulan Juni

 
sumber gambar: wallpaperhdbase.com

Kala itu saat hari telah beranjak senja di langit Negeri Belanda tanpa tahu alasan mengapa seorang Guru Bahasa Jerman selalu menjadikan negeri kincir angin sebagai latar bilamana ia menuliskan cerita indahnya dalam lembaran-lembaran kisah, sang guru tengah asyik mengemudikan sebuah mobil VW Kuno dari Kota Maastricht nun jauh di ujung tenggara sana menuju Amsterdam. Tatapan matanya selalu mengarah ke jalan raya nan sunyi tanpa ada kendaraan lain kecuali sebuah truk trailer pengangkut peti kemas diikuti truk pengaduk semen di belakangnya. Sesekali, sang guru muda meluangkan waktunya barang tiga detik melihat orang-orang yang terduduk di sebelah kiri dan belakangnya. 

Lelah segera merubung jiwa ragaku usai menyetir berjam-jam dari Maastricht di perbatasan dengan tanah Kerajaan Belgia dan momen tersebut mengingatkanku pada waktu kala aku mengembara ke Tanah Kalimantan beberapa tahun silam. Perjalanan dari Balikpapan ke Samarinda memakan waktu selama tiga jam sedangkan perjalanan Maastricht-Amsterdam memakan waktu enam jam melalui jalur darat. "Ya udah, sok berhenti dulu aja Herr Aldi. Hitung-hitung ngadem dulu di luar. Pemandangannya bagus banget, bikin mata seger." Ujar Akbar dari jok belakang di baris kedua. Di sebelahnya seorang gadis 23 tahun baru saja terbangun begitu mendengar ucapan Akbar yang aku balas sejurus kemudian. Semenjak berangkat dari Maastricht, aku melihat si gadis bunga tertidur lelap di atas kursi mobil. Barangkali ia kelelahan. Tepat saatku berhenti, kedua truk trailer di belakang tadi pergi meninggalkan kami di tengah padang rumput. 

"Ugh, seger banget!!!" Sorak si gadis bunga begitu melihat pemandangan berupa padang rumput yang terhampar di depan mata. Ia pun duduk dan menarik nafas dalam-dalam demi menikmati pemandangan indah Negeri Belanda, mantan negara penjajah tanah air yang dahulu aku kenal hanya dari kelicikan serta kebengisannya semasa pendudukan. Tetapi melihat keindahan alamnya saat ini, diriku merasa jatuh cinta dengan negeri van oranje ini terlebih lagi kehadiran dua orang gadis tepat di sebelahku. "Herr Aldi, punten ini surat dari siapa?" Tanpa kusangka-sangka jemari tangan Maureen merogoh selembar kertas putih di atas rumput saat jemari tangan kanannya tengah mengurut paha kanannya. "Ehm, ini surat dari Bu Yeye yang dikasih waktu dulu mau naik kelas 12. Sengaja dikasih surat ini coz Bu Yeye pas jaman segitu mo resign." Kini Maureen si gadis berkupluk abu-abu itu telah mengerti ucapanku diikuti Ariq dan Abang yang tengah mengangguk-angguk di sebelah meski tak sempat bertanya. 

Tanpa kehadiran Stevie si murid kesayanganku, maka empat lembar halaman buku diary menjadi temanku bercerita. Meski sudah lama terjadi, tetapi aku tetap menuliskan sepenggal rangkaian peristiwa di penghujung kelas 11 pada Bulan Mei dan Juni 2016. Lembaran halaman tersebut kembali aku baca dengan seksama di bawah naungan senja pada langit Negeri Belanda ini. 

---------------------------$$$$$$----------------------------

Hari itu yang sudah aku lupa namanya, tetapi yang jelas di saat matahari telah tergelincir ratusan derajat dalam perjalanan menuju ufuk barat tempatnya mengucap selamat tinggal. Kami murid kelas 11 IPS diberi waktu khusus bersama Bu Yeye di ruang kelas lain. Tiada kursi tiada meja, kami duduk ngampar bin lesehan di atas karpet merah. TENTUNYA BUKAN UNTUK MENGOREK LUKA LAMA, tetapi masih terngiang dalam benakku ucapan tutur kata Bu Yeye hari itu yang mengatakan bahwa di hari terakhir UKK, beliau telah meminta pada Bu Intan agar menempatkan dirinya bersama kelas 11 IPS tepat di jam terakhir. Sejurus kemudian, Bu Yeye bercerita tentang keadaan mertuanya di Tanah Cirebon saat ini. Setengah tahun silam, ayah mertuanya baru saja meninggal dunia sehingga sang ibu mertua merasa sangat kesepian karena seorang diri. Lantas jadwal tidur Bu Yeye menjadi terganggu karena teringat akan ibu mertuanya tersebut. 

Sebuah pilihan hinggap tepat di depan matanya: Tetap bertahan di tempat yang sama dengan kami atau mengucapkan selamat tinggal. Berat tentunya. Namun beliau lebih memilih bertahan karena berhenti di tengah jalan akan menjadi sangat sulit bagi orang lain sehingga beliau memutuskan untuk bertahan sementara. Putri semata wayangnya yang semula sudah didaftarkan sekolah di sini pun dibatalkan rencananya untuk menempuh pendidikan pertama sebab rupanya beberapa bulan terakhir ini, Bu Yeye masih sering bolak-balik ke Cirebon. Dari kata-katanya, aku menjadi tahu jika beliau akan resign di akhir tahun ajaran ini sebab baginya, bekerja memang bisa sampai kapanpun sedangkan menemani orang tua baik orang tua kandung atau mertua kita tak tahu sampai kapan. Dari situ, dapat ditafsirkan beliau sudah mengambil keputusan bulat untuk resign yang disambut oleh tangis semua anak kecuali aku. Hari itu aku merasa tak ada hasrat menangis dalam diriku. 

Tangis pun memudar bagai ditelan oleh langit senja, kini waktu diisi dengan guyonan sekaligus candaan tentang nostalgia akan masa-masa indah di kelas 10 dulu. Ahhh, membayangkan momen-momen indah di kelas 10 membuatku merasa sangat senang dan bahagia. Lalu aku keluar ruangan sekitar pukul 15.20 WIB demi menunaikan ibadah Shalat Ashar. Tak lupa ku ucapkan terima kasih pada Bu Yeye sebelum pulang. 

Waktu berlalu, tibalah hari yang sangat berat bagiku: UKK. Sejak sebelum UKK mulai, aku selalu bergumam "UKK pasti berlalu" seperti judul lagu ditambah dengan slogan "Menanti hari yang cerah untuk jiwa yang galau" hasil menyadur lagu Noah dalam album "Hari yang cerah." Kendati demikian, aku berhasil melewatinya dengan baik hingga tiba minggu suksesi Pemilihan SAMBA dan pembagian rapor. Syukur Alhamdulillah, nilai mata pelajaran di dalam rapor tertera dengan cukup memuaskan untuk selanjutnya menjalani kegiatan buka puasa bersama angkatan sebagai kegiatan pembuka libur panjang. 

------------------------------$$$$$$--------------------------------

Matahari telah bergeser ratusan derajat ke ufuk barat, aku menjerembapkan diri dalam kepungan buku-buku di Toko Gramedia. Sempat galau memang, kendati akhirnya aku tetap membayar buku "Ranah 3 Warna" yang ceritanya sangat ramai bagiku sebelum melanjutkan perjalanan ke BEC. Usai berkontak-kontakan dengan si gadis bunga, aku segera mencari restoran cepat saji Richeese di foodcourt dan setelah berusaha mencarinya, aku melihat segerombolan anak muda duduk di satu titik. Si gadis bunga melambaikan tangan padaku laksana bunga baru mekar di antara rumput-rumput ilalang yang bergoyang sampai aku duduk di kursi. 

Tanpa kusangka-sangka, buku Ranah 3 Warna-ku menjadi rebutan Akbar, Si gadis bunga dan Rani yang penasaran akan tema buku tersebut. Akbar dengan niatnya bercanda beberapa kali berusaha menyingkirkan buku itu setiap kali jemariku hendak mengambilnya. Lalu kami larut dalam guyonan-guyonan senja. Secara tiba-tiba pikiranku buncah tatkala melihat KTP milik si gadis bunga. Usianya memang sudah menginjak 17 tahun dan wajib memiliki KTP sepertiku. Tetapi aku masih belum mengurusi KTP sehingga semangatku untuk membuat kartu tersebut seperti terpacu dari dalam terlebih lagi saatku melihat si gadis bunga tidak memakai kerudung untuk yang pertama kalinya walau secara tak langsung, dengan jujur dan berterus terang. Pulang berbuka puasa, aku menyempatkan diri melayat ke rumah salah satu teman ibuku yang ibunya baru meninggal dunia kala itu. 

Esok harinya tatkala aku tengah bersiap mengurusi KTP, semuanya harus tertunda sebab sang Ketua RW tengah pergi dari rumahnya. Tetapi hal tersebut dapat diatasi hari berikutnya kala aku mendapatkan tanda tangan dari sang Ketua RW lengkap dengan tanda tangan sang lurah dua hari berselang. Merasa semuanya lengkap maka peluangku memiliki KTP pertama menyusul si gadis bunga hanya tinggal selangkah lagi. Man Shabara Zhafira, itulah pepatah yang sekiranya dapat menjadi tempatku bersandar karena bahan untuk KTP-ku masih belum tersedia dan baru akan selesai di Bulan Agustus setelah data-data identitas direkam di Kantor Kecamatan. 

-------------------------------$$$$$$--------------------------------

Buku agenda ini tanpa kusadari telah selesai aku baca dengan seksama. Begitu aku selesai membaca, buku ini secara bergantian dilihat isinya oleh Ariq, Abang, Maureen, Akbar, Si gadis bunga dan Ragil di tanah Belanda. Sambil menunggu Maureen yang mendapat giliran terakhir membaca buku agendaku, aku turut membaca selembar surat yang ditulis oleh Bu Yeye saat aku akan naik kelas 12 dengan seksama: 

Assalamu'allaikum...

Hai Aldi... Aldi yang baik hati, maafkan ibu ga bisa nemenin Aldi sampai lulus SMA. Insha Allah doa ibu akan menemani Aldi. 

Ibu masih inget, Aldi pernah kasih surat yang isinya curhatan Aldi. Suratnya masih Ibu simpan lho ^_^. Ibu kangen dapat surat dari Aldi ^_^. 

Di kelas 12, Aldi harus makin rajin ibadah, berlatih & belajar. Kalo ketemu dengan kesulitan atau hal yang tidak sesuai dengan harapan Aldi, Aldi harus tetap tenang. Insha Allah dibalik kesulitan ada Hadiah terindah dari Allah. Di, walau kita jauh, ibu harap Aldi masih mau berbagai cerita dengan Ibu. 

Sukses selalu ya, Di...

Salam untuk keluarga ^_^ 


                                                                                                                         With Love, 


                                                                                                                             Mutti
                                                                                                                   Yeni Setianingsih 

Sejumput memori indah kembali beterbangan dalam angan dan benakku tepat saat paras senja dari sebuah hari yang cerah dan indah semakin terlihat jelas. Merasa ada energi memasuki jiwa ragaku, perjalanan kembali aku lanjutkan Amsterdam sesaat usai menstarter mesin mobil VW. Di sebelahku Ariq dan Maureen duduk bersebelahan, sedangkan yang lainnya duduk manis di belakang menikmati suasana senja kala angin bertiup menembus celah kaca jendela. 

Terima kasih dan sampai jumpa di kisah indah lainnya, sahabat-sahabat....

Tertulis, kisah indah seorang guru Bahasa Jerman di masa depan. 

Herr Aldi Van Yogya
Bandung, 27 Juni 2016
Pukul 14.25 WIB.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi