Menyulut sumbu lentera jiwa (Senja di persimpangan Jalan Ciumbuleuit)

 
sumber: blog.hdwallsource.com

Lentera jiwa pun masih meredup hingga selembar kisah kembali ku torehkan di tempat ini usai sang surya bersembunyi di ufuk barat dan menyapa dari ufuk timur keesokan harinya. Rasa percaya diriku goyah dalam seketika tatkala kalender akademik sebuah perguruan tinggi negeri idamanku mewartakan libur akhir tahun hanya berlangsung saat tanggal merah hingga akhirnya timbul niat untuk berputar haluan menuju Kampus Unpar. Tetapi putaran haluan tersebut pula ikut membuatku gamang, bingung dan bimbang seorang diri di tengah rumput yang bergoyang. 

Sinar keemasan matahari di kala senja memandikan seluruh rumput ilalang yang tinggi serta sesosok manusia muda yang tengah bernaung di bawahnya. Selepas Shalat Ashar ia terus merenung dan merenung seorang diri seraya alam dibiarkan bersuara sepuas hati mereka hingga seorang gadis 13 tahun hinggap di sebelahku tanpa diminta sambil ia membawa kicauan emasnya seperti serdadu Burung Manyar remaja. Tetapi kendati demikian, aku merasa lebih terdorong untuk bercerita tentang masa redup dari lentera jiwa dalam batinku saat remaja dulu. Aku memang sudah pernah mengisahkannya, tetapi di kisah pertama aku tak memiliki niat berkisah tentang Stevie. Ah, sudahlah. Lupakan kisah pertama. 

Alkisah hari itu hari Jumat di minggu pertama bulan suci Ramadhan tepat saat seluruh umat muslim berpuasa. Seorang pemuda 17 tahun tampak kesulitan menerbitkan senyum bahagia di raut wajahnya, padahal tepat sehari sebelumnya UKK alias Ulangan Kenaikan Kelas baru saja selesai alias cukup sampai di situ. Angannya jatuh pada dua pilihan tak menentu yang membuat dirinya terlihat gamang seorang diri. Tak lain tak bukan, rasa gamang tersebut muncul karena perbedaan sistem belajar di UPI dan Unpar yang terletak pada jadwal libur. Ia pun berpikir sebanyak dua kali terkait jenjang pendidikan lanjutannya nanti. Terkait itu, aku tak segan bercurhat pada bapak dan ibu. Mereka memperbolehkanku mengambil itu seraya memantapkan pilihan sedangkan bapak dan ibu hanya tinggal menyiapkan biaya masuk. 

Saat menjemput ibu di kampus Unpar sore harinya, aku melihat ruas jalan Ciumbuleuit yang berkontur bukit sebagai "calon jalan utamaku" bila nanti berkuliah di Unpar sesuai dengan niat lamaku sebelum menanam keinginan menempuh studi di jurusan Pendidikan Bahasa Jerman dan saat menuruni Jalan Ciumbuleuit, aku tak lupa mengutarakan niatku menjadi mahasiswa jurusan Hubungan Internasional Unpar karena faktor kedekatan lingkungan kampus yang telah lama kukenal. Tetapi ibu justru berceloteh bahwa untuk urusan mendaftarkan diri sebagai calon mahasiswa yang menjadi penentu utama adalah minat, bukan faktor seberapa jauh jarak tempat kuliah dari rumah, Sabtu libur atau tidak, lalu berapa lama libur panjang lebaran dan akhir tahun. Itu sama saja menambah kegamanganku alias tak mampu membendung masalah batin selama ini. 

Inginku ceritakan pada serdadu Burung Manyar. Tetapi sayangnya kini mereka enggan tuk mengepakan sayap di langit-langit...


Bandung, 10 Juni 2016
Pukul 20.16 WIB.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi