Sekuntum bunga di atas awan (bayang-bayang angan seorang guru muda)

 

Kembali membuka lembaran-lembaran cerita indah usai menjerembapkan diri dalam sepenggal masa penuh kebimbangan batin, aku mulai menceritakan mimpi-mimpi masa kecilku pada Stevie sang murid kesayanganku. Hanya gadis 13 tahun tersebut yang selalu aku kisahkan dalam lembaran-lembaran indah ini tanpa tahu apa sebabnya. Tetapi sudahlah, lupakan alasan aku memilih Stevie. Kini cobalah tuk fokus pada kombinasi kisah impian masa kecilku dengan rasa jatuh cinta pada seorang gadis. 

"Kenapa enggak jadi pilot aja Herr Aldi? Terus waktu dulu udah pingin jadi guru, masih suka kebayang-bayang jadi pilot?" Pertanyaan Stevie menyerobot dari balik bibir tempat senyum manisnya mengembang setiap hari. Lalu aku bercerita "Betul banget Stev, dulu waktu bapak masih kelas 1-3 SD pernah punya cita-cita jadi pilot soalnya jaman segitu bapak pas pertama kali kontrol ke dokter gigi. Tapi gara-gara bapak suka males ke dokter gigi waktu kecil, akhirnya cita-cita pilot jadi motivasi buat bapak." Sejurus kemudian Stevie mengangguk mengerti apa isi jalan pikiranku. Tanpa banyak berpikir, ia kembali bertanya alasan mengapa diriku masih kerap membayangkan diri menjadi seorang kapten pilot saat remaja, terlebih saat mendalami masa indah di SMA dulu. 

Lalu, aku pun memulai cerita sedikit demi sedikit...

Jalan pikiran dalam benakku selalu berubah-ubah terkait angan-angan menjadi seorang pilot. Dahulu terbayang terbang bersama seorang first officer (ko-pilot) perempuan muda yang tampak cantik di mataku. Tak lain dan tak bukan dia adalah salah satu adik kelasku saat sekolah dulu. Dalam anganku, terbayang ia membantuku memegang kendali pesawat dari balik kaca ruang kokpit pesawat Boeing 777-300ER. Berangkat menjelang tengah malam dari Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta, telapak kakiku menginjak pedal gas pesawat di atas landasan dan jemariku menarik tuas kemudi pesawat agar dapat mengudara selama 15 jam melewati pancaran sinar mentari pagi di awang-awang tanah Eropa dalam perjalanan ke Bandara Schiphol, Amsterdam, Belanda. 

Kisah di atas pun goyah dengan kehadiran seorang gadis muda tak jauh dariku. Hal itu membuatku sangat senang sebab di tengah belenggu kabut pagi milik Tanah Dataran Tinggi Dieng, batinku tersulut oleh perasaan jatuh cinta pada sang gadis sehingga aku memasukkan dirinya dalam angan-angan sebagai seorang penerbang pesawat Boeing 777-300ER. Kisah tersebut membuatku sanggup membayang-bayangkan bagaimana diriku menjalankan pesawat hingga ketinggian puluhan ribu kaki di udara sambil melayani penumpang di kabin. Terlebih lagi, sebagian penumpangku adalah orang-orang terdekat seperti bapak-ibuku sendiri, bapak-ibu sang gadis, teman-teman semasa sekolah, dan lain-lain. 

Berbulan-bulan lamanya hingga kisah kembali goyah. Membayangkan pesawat Airbus A380-800 yang memiliki badan sangat besar dan lebar, aku sangat terobsesi untuk menjadi seorang penerbang Airbus A380-800 bersama dua gadis dalam satu ruang kokpit. 

Malam harinya di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, dengan mengenakan baju dinas pilot rapi aku melangkah dari gerbang masuk terminal hingga garbarata diiringi oleh sang gadis bunga dan sang gadis cahaya langit, sesuai arti namanya masing-masing. Beberapa orang pramugara-pramugari turut menemani di belakang tepat saatku melintas di hadapan para calon penumpangku yang tengah menanti keberangkatan sambil duduk. Teman-temanku yang begitu melihat aku berjalan menuju garbarata lebih dulu segera memanggil-manggil seraya berteriak serta guru-guru sebagai calon penumpang istimewaku turut melambai padaku. Rata-rata temanku adalah teman saat SMP & SMA, sedangkan guruku dari bangku SD hingga SMA akan ikut terbang bersamaku. 

Outside checking, ground checking, altimeter, auto-pilot, mesin dan bahan bakar telah selesai aku periksa secara menyeluruh dan kini saatnya untuk berangkat usai men-starter keempat mesin pesawat Airbus A380-800 seraya roda depan pesawat didorong mundur. Aku merasa tegang dalam perjalanan dari garbarata menuju landasan pacu sebab aku sendiri tak tahu bagaimana perasaan para penumpang istimewaku. Barangkali mereka merasa bangga, tetapi juga tegang. "Papa Kilo-Alpha Golf Foxtrot, now you're clear for take off from Runway Cengkareng to Amsterdam Schiphol. Thank you." "Yeah, we're clear now and thank you ATC Cengkareng." 

V1-Rotate-take off, begitu aku memberi aba-aba pada ko-pilot gadis bunga & cahaya langit, sang gadis bunga langsung membantuku menarik tuas kemudi pesawat sedangkan sang gadis langit yang mengenakan kupluk abu-abu di kepalanya hanya mengawasi jalannya sistem kendali pesawat sampai akhirnya tanah tak tersentuh lagi. Perlahan-lahan pemandangan nun jauh di bawah sana menghilang dari pandangan mata tepat saatku memberi aba-aba "gear up" pertanda roda pesawat harus dimasukkan ke dalam badan. Kami pun terbang mengarungi hamparan awan di tengah langit malam selama 15 jam tanpa transit. 

Ba'da Subuh keesokan harinya di awang-awang lepas pantai Alexandria, Mesir, ko-pilot gadis bunga membuka percakapan terkait ketinggian terbang padaku. 

Gadis bunga: Kapten, kira-kira kita bisa naik ke ketinggian 40.000 kaki enggak?
Aku: Wah enggak bisa nih, soalnya daerah ketinggian 40 sekarang ketutupan awan kumulonimbus + udah jadi zona merah,
Gadis bunga: Hmmm, gimana kalo kita climbing ke ketinggian 34.000 kaki aja kapten?
Aku: Enggak bisa juga, sekarang di ketinggian 34 ada pesawat presiden lagi terbang. Oh iya, konfirmasi lagi ketinggian 36-39 sekarang statusnya zona waspada tapi enggak ada pesawat di sana. Coba lihat ke depan lewat radar, ada empat pesawat A380-nya Emirates + 1 Lufthansa & 1 Air France di belakang kita." 
Gadis bunga: Oke deh, ya udah kalo gitu kita bertahan di sini aja kapten. 
Aku: Sip. 

Lalu aku keluar ruang kokpit demi menyeduh segelas cokelat panas sebagai pengganti kopi. Aku sengaja tak meminum kopi agar bisa tidur setelah sampai di Amsterdam nanti dan ketika selesai menyeduh cokelat panas, seorang pramugari memanggilku demi menjawab pertanyaan salah seorang penumpang terkait kunjungan Presiden Joko Widodo ke Amsterdam, Belanda. Pembicaraanku dengan penumpang keturunan Tionghoa tersebut tidak jauh berbeda dengan si gadis bunga di balik kaca ruang kokpit tadi, hanya saja aku menambahkan bahwa pesawat akan didaratkan olehku di Bandara Schiphol pukul 07.30 waktu setempat (syukur seandainya bisa lebih cepat) sedangkan rombongan Presiden akan mendarat pukul 07.45 waktu setempat, hanya berselang 15 menit setelah kita. Percakapanku di dengar oleh orang di kabin, sebagian dari mereka tampak berdecak kagum. 

Aku kembali ke ruang kokpit dan menjumpai sang gadis bunga masih memegang kendali dibantu oleh gadis cahaya langit dari belakang. Ada sesuatu yang terasa mengganjal ulu hatiku sesaat usai pintu kokpit ditutup rapat. Sebelum menyumpal kedua telinga dengan headset, aku langsung menyatakan seluruh isi perasaanku pada sang gadis bunga: 

Gadis bunga, itulah julukan dariku sesuai arti namamu dalam Bahasa Arab. Di mataku engkau terlihat sangat cantik dan selalu memberi warna-warna indahmu layaknya sekuntum bunga di atas awan. Aku merasa jatuh cinta denganmu saat berada di balik awan, tetapi saat ini aku merasa lebih jatuh cinta padamu saat di atas awan. Parasmu membuatku bersemangat kembali saat lesu, suaramu sanggup mengumandangkan kata-kata dalam Bahasa Inggris dengan indah serta tanganmu dapat menciptakan goresan-goresan indah di atas kertas. Wahai gadis bungaku, jujur aku sangat mencintaimu karena itu. 

Dalam hitungan detik, si gadis bunga tidak menunjukkan reaksi apapun. Tetapi, perlahan-lahan ia menampakkan senyumnya dengan malu-malu. Ia tak banyak berkata dan hanya mengucapkan terima kasih sebagai bentuk apresiasi pada ucapanku tadi. Ah, sungguh sangat indah fajar di atas langit Eropa kala itu... Pesawat Airbus A380 aku terbangkan dengan hati yang berbunga-bunga pada gadis bunga serta aku daratkan secara perlahan-lahan hingga akhirnya menyentuh landasan bernama Polderbaan di Bandara Schiphol, Amsterdam-Belanda. Belum selesai sampai di situ, aku dan si gadis bunga masih harus membelokkan serta memarkirkan pesawat di gate. Penumpang istimewaku sangat mengapresiasi usaha dan kinerja yang telah ditorehkan hari ini. 

Selepas pendaratan di bandara, aku segera menikmati hari-hari yang indah bersama sang gadis bunga juga sang gadis cahaya langit di Tanah Belanda tempat kincir angin berdiri tegak. Tetapi sebelum meninggalkan area bandara, aku masih menyempatkan diri mendatangi teman-teman beserta seluruh guruku diikuti oleh dua gadis penerbang. Mereka sangat kagum akan usaha kami bertiga dan tak lupa kami berselfie ria di halaman Bandara Schiphol, Amsterdam, Belanda tak lupa dengan mengajak kedua orang tua kami masing-masing. 

"Widiih, Herr Aldi emang jago banget ngarang cerita. By the way ceritanya bagus banget tuh." Puji Stevie sambil tersenyum. "Ach, danke Stevie." (Ah, terima kasih Stevie) ujarku tanpa banyak bicara lagi. 

Tak perlu kau takut bermimpi, sebab sejatinya mimpi adalah pendorong semangatmu...

Tertulis, kisah indah seorang guru Bahasa Jerman di masa depan, 

Herr Aldi Van Yogya,
Bandung, 22 Juni 2016
Pukul 22.20 WIB. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi