Lelaki tua di beranda depan sekolah

 
Sumber gambar: wallpapercave.com

Matahari sang penguasa langit siang pun telah bergeser ratusan derajat ke ufuk barat seiring dengan terucapnya kata "Alhamdulillah" dari balik bibir seorang guru muda yang tengah rehat melepas lelah sejenak di ruang kelas. Sinar matahari dengan sukarela bersinar sampai menembus beningnya kaca jendela kelas si pengirim udara dingin saat dibuka di pagi hari. Hampir saja sang guru muda lupa bila waktu telah menunjukkan pukul 14.55 WIB sebagai pertanda perjalanan ke masjid harus dimulai. Dari situ dirinya segera menanggalkan perlindungan sepatu hitam dan kaos kaki agar bisa diganti dengan sepasang sandal jepit. 

Riuh menjadi suasana yang tergambar jelas di halaman sekolah pada sore hari itu saat kuberjalan melewati kerumunan murid-murid dan beberapa orang guru. Tanpa disadari seorang gadis 13 tahun mengikutiku tepat di belakang punggung sampai ke gerbang sekolah. Tak sungkan ia menyapaku dan berbicara sedikit mengenai materi pelajaran Bahasa Jerman sebab ia tampak begitu bersemangat mendalami Bahasa Jerman persis seperti diriku saat remaja dulu. Ah, mengapa aku merasa sangat mirip dengan Stevie? 

Gadis berparas cantik itu sengaja kutinggalkan seorang diri di tepi gerbang sekolah karena aku masih harus melanjutkan perjalanan ke masjid agar bisa menunaikan ibadah shalat Ashar berjamaah (lebih-lebih). Syukur Alhamdulillah, jumlah jamaah yang datang ke masjid sore ini terbilang cukup banyak baik laki-laki atau perempuan dan tidak lama setelah aku mengambil air wudhu, adzan segera berkumandang pertanda waktu Ashar telah masuk. Matahari semakin condong ke barat agar arah kiblat semakin jelas oleh tatapan mata. Para jamaah Muslimin-Muslimah diberi jeda waktu selama tujuh menit waktu shalat sunnah sebelum shalat fardhu sebelum sang muadzin mengumandangkan iqomah sebagai tanda shalat akan segera dimulai.

Shaf paling depan aku tempati lebih dulu, tepatnya persis di belakang imam shalat yang seperti biasa meminta shaf menjadi lebih rapat agar ibadah shalat berjamaah terasa lebih sempurna. Tak lama berselang, sang imam mengangkat kedua telapak tangannya hingga telinga sambil mengucap takbir. Aku hanya mengikuti gerakan imam bersama jamaah lainnya sampai ibadah shalat selesai dalam waktu kurang dari 10 menit berselang.

-----------------$$$$$$$$------------------

Beres beribadah shalat, aku kembali ke sekolah lantaran barang-barang bawaanku belum dikemas sejak sebelum waktu shalat. Seperti biasa keramahan penjaga sekolah di gerbang menyambutku walau hari telah berparas senja sambil aku menatap Stevie tengah asyik berbincang-bincang bersama seorang pria lanjut usia. Ia memiliki tubuh kurus tetapi kulit putih keriput, rambut putih nan tipis serta mengenakan busana serba cokelat dari ujung kepala hingga ujung jemari kaki. Ia masih asyik berbincang sambil menatap Stevie dari balik kacamata minusnya hingga pembicaraannya berhenti di tengah jalan. "Anak muda ini siapa, Stevie?" Ujar sang pria tua kala diriku menghentikan langkah di depannya. "Opa, kenalin ini Herr Aldi, guru kelasku yang juga ngajar Bahasa Jerman." Lalu aku menjabat telapak tangan kakek Stevie yang belakangan ini aku ketahui dipanggil dengan nama Opa Wilson. Alhasil, sore ini aku menjadi dekat bin akrab dengan Opa Wilson sampai aku asyik mengobrol. Sejurus kemudian aku meminta izin kepada Opa Wilson untuk mengambil barang-barang di kelas. 

Mesin mobil Kia Pregio cokelat metalik aku starter begitu Stevie dan Opa Wilson meneriwa tawaran pulang bareng dalam satu mobil. Kendati belum jauh mobil dipacu dari sekolah menyusuri jalanan kota satelit, tanpa canggung aku mengajak Opa Wilson berbicara. Dari jawabannya, aku sanggup menerka bila Opa Wilson sengaja datang berkunjung ke rumah teman lamanya yang tidak jauh dari sekolah Stevie. Ia pergi seorang diri dengan menumpang bus kota lalu berjalan kaki seorang diri sampai ke rumah teman lamanya tersebut. Melalui kaca spion tampak jelas raut wajah Stevie yang terkejut mendengar ulah kakeknya ini. "Halah ya sekalian aja mas, mumpung lokasinya berdekatan jadi sekalian jemput Stevie. Senang banget bisa jalan-jalan sore terus sekalian ketemu sama cucu." 

Usia mudaku menjadi penyebab Opa Wilson memanggilku dengan sebutan "Mas." Andai aku mengajari Stevie saat usiaku sudah 40 tahun, wajahku akan tampak sangat bapak-bapak sehingga Opa Wilson akan memanggilku "bapak." Senyum manis yang sudah aku kulum secara tiba-tiba harus buyar tatkala hujan datang bersamaan dengan waktu Maghrib. Arus lalu lintas menjadi semakin padat seiring dengan lelah yang segera membelenggu jiwa ragaku. Tetapi aku tetap harus bersemangat karena jika mengingat cerita Opa Wilson yang pergi menggunakan bus umum seraya menembus kemacetan tadi, aku merasa seperti tersindir secara tak langsung olehnya. Mengapa jiwa raga mudaku harus dipakai mengeluh? Opa Wilson saja yang sudah tua tidak terlihat mengeluh. 

Alhamdulillah, jiwa sabarku sanggup mengalahkan kepadatan lalu lintas sore itu ditambah dengan dibukanya pagar oleh ibunda Stevie yang baru pulang kerja. "Duh, Herr Aldi meuni ngerepotin. Tapi by the way makasih banyak ya herr. Syukur Stevie bisa pulang selamat sama kakeknya tanpa janjian. Hihihi..." Sambut ibunda Stevie yang juga menyuruhku masuk rumah. Aku tak sungkan menerima tawaran sang ibu layaknya Stevie yang tak sungkan meneriwa tawaran semobil denganku. Alhasil kemeja batik hijauku sedikit basah kuyup saat memasuki halaman rumah bergaya arsitektur khas kolonial Belanda ini begitu juga dengan Stevie serta Opa Wilson.

-----------------$$$$$$$-----------------

Doa ba'da shalat Maghrib aku panjatkan di sebuah ruangan kecil tanpa isi yang aku perkirakan adalah bekas sebuah gudang. Sepotong sajadah panjang masih menemani doaku yang dipanjatkan di tengah hujan deras dalam senja terhebatku kali ini walau si gadis buga tak duduk disebelahku bahkan hingga shalat Maghrib sekalipun. Lalu aku melangkah ke ruang televisi seorang diri sampai aku menemukan Stevie telah berganti pakaian. Kali ini, ia mengenakan kaos lengan pendek berwarna hijau melon serta celana legging selutut dengan warna hitam legam. Ia tampak seperti baru selesai mandi. Sejurus kemudian Opa Wilson datang ke ruang televisi demi mengajak kami bicara. 

Kepada diriku, Opa Wilson berkisah tentang keluhan cucu-cucunya yang selalu merasa lelah padahal mereka masih sangat muda untuk kategori "mudah lelah" bagi makhluk-makhluk manusia seumur Opa Wilson. Kegiatan di sekolah terasa sangat melelahkan ditambah dengan perjalanan pergi pulang naik transportasi umum pada waktu tertentu. Di mata Opa Wilson, sudah tentu sepupu-sepupu Stevie kalah dengan sang kakek yang tadi pergi menumpang bus umum ke kota satelit. Terkadang mereka pun acap kali mengeluh karena banyaknya tugas berat sepertiku yang sampai sekarang masih gemar mengeluh walau sudah menjadi guru sesuai mimpi. 

"Opa ingin tahu seberapa beratnya hidup di dunia lewat segimana parahnya kemacetan di jalanan. Ini jadi bukti jiwa tua takkan kalah kuat dengan jiwa muda dan bagi para makhluk berjiwa muda, opa harap kalian bisa bertahan seberat apapun ujian-cobaan karena sejatinya hidup adalah ujian-cobaan, baik itu senang atau susah." -Opa Wilson-

Lelaki tua yang kujumpai di beranda depan sekolah ini seolah turut serta menyematkan gelar guru kehidupan pada dirinya sebagai tempat aku belajar secara non-akademis. Pertarungan akademis di perjalanan masa SMA dulu rupanya belum seberapa berat dibandingkan dengan pertarungan di jenjang S3 seperti pengalaman ibu Stevie dulu. Sambil mengunyah santap malam buatan ibu dan kakak perempuan Stevie, aku baru tahu bahwa orang di balik kefasihan Bahasa Jerman Stevie sebagai imbas dari masa studi S3 sang ibu di Jerman dulu adalah Opa Wilson beserta istrinya Oma Catherine. Mereka berdualah para pemberi lampu hijau bagi ibu Stevie untuk bisa berangkat kuliah S3 di Jerman yang sangat berat pula seusai cerita dari mama, panggilan akrab Stevie pada sang ibu tercinta.

Apa yang ibuku bilang ternyata benar juga. Studi S3 lebih berat dari pelajaran SMA dan kuliah S1 dulu. Membuat tesis butuh proposal belasan-puluhan lembar untuk disidangkan sebagai penentu lulus atau tidak sampai jungkir balik saat disusun. Mama Stevie mengalaminya saat Stevie masih kecil nun jauh di Jerman sana. Sedangkan ibuku mengalaminya saat aku kecil di Australia sana dan bila dihitung-hitung, sejauh ini aku termasuk golongan manusia berkehidupan enak serba cukup saatku sudah mencapai seluruh keinginanku.

Terbang ke Jerman seperti Stevie kecil sudah. Mengajar sebagai Guru Bahasa Jerman pun sudah aku lakoni. Mau minta apa lagi?

------------------$$$$$$$$------------------

Pamit kuhaturkan saat hujan deras masih betah menaungi tanah bumi tepat dengan kepulanganku setelah Shalat Isya. Sore ini telah kuhabiskan untuk belajar tentang kadar susah-senang dan berat-ringannya dinamika hidup pada kakek Stevie. Aku masih muda, memang. Tetapi usia mudaku acap kali dihabiskan dengan mengeluh tentang beratnya hidup yang sebenarnya belum seberapa bila dibandingkan dengan orang-orang yang berada jauh di bawahku. Sejatinya nasibku memang lebih baik dari mereka. Mau minta apa lagi? Mau mengeluhkan apa lagi?

Bayangan lelaki tua di beranda depan sekolah pun tak lenyap ditelan hujan di atas aspal malam itu...

Tertulis, kisah indah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan.

Bandung, 29 Juli 2016
Pukul 19.28 WIB. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi