Pucuk dicinta ulam pun tiba

 
Sumber gambar: www.lifehack.org. 

Angan kembali aku putar begitu siang memudar karena akan mengundang kegelapan malam pada ruang langit Kota Bandung seusai menuntaskan kewajiban mengajari murid-muridku mendalami lebih jauh makna kata-kata milik salah satu bahasa negara Eropa. Arloji bertali cokelat tua di pergelangan tangan mengabarkan waktu yang telah menunjukkan pukul 18.15 WIB seusai ibadah Shalat Maghrib berjamaah di masjid telah selesai ditunaikan. Alhamdulillah, aku dapat menunaikan shalat berjamaah di awal waktu dan kini waktunya bagiku untuk pulang. Barang-barang tak lupa aku kemasi hanya sesaat sebelum meninggalkan pelataran masjid besar. 

Tetapi perhatian sorot mataku terpusat pada sekelabat bayangan di ujung tangga halaman masjid. Mulanya ia duduk membelakangiku, tetapi lama-kelamaan bayangan itu berputar 180 derajat ke arah tubuhku sampai aku dapat melihat sebagian wajah si bayangan. Rasanya aku mengenal bayangan itu dan benar saja, ketika aku sampai tepat di sebelahnya aku memang benar-benar mengenal bayangan tadi yang kini sudah bukan bayangan lagi melainkan ia adalah sesosok manusia dengan golongan gadis remaja berambut panjang. Kulit putihnya bagai mengkilap di antara kegelapan malam sedang senyum manisnya tampak laksana benderang akan seberkas cahaya cinta. Dialah Stevie. Gadis 13 tahun sekaligus murid kesayanganku yang sudah lama tidak menghiasi ceritaku. 

"Hai Stevie, kita udah lama ya enggak ketemu. Kamu lagi apa disini?" Selorohku padanya. Dengan malu-malu bagai gadis baru ditembak jatuh cinta oleh seorang jejaka ia memberanikan diri menatapku. "Hai juga Herr Aldi. Yeah, kita udah lama enggak ketemu. Sekarang aku lagi jalan-jalan sendirian soalnya tadi dibolehin ortu tapi aku capek. Makanya aku duduk di depan masjid." Suara indahnya terdengar nyaring ketika aku tak mendengarnya dalam waktu lama. Keindahan di beranda depan masjid itu aku puji setinggi langit hingga membuat Stevie semakin tersipu malu. Jelas aku bisa melihat warna merah jambu merona di pipinya. 

Tak sudi melepaskan Stevie bertanya-tanya terus, aku segera memulai cerita mengenai pemuda hebat yang lahir dari balik sebuah kesukaran. 

                                                                          *****

Jumat pada Bulan Oktober 2015. Seperti biasa sebagaimana kewajibanku sebagai laki-laki Muslim, aku pergi meninggalkan kelas menuju lapangan futsal sekolah demi menunaikan ibadah Shalat Jumat berjamaah. Dengan memakai baju koko berwarna putih kertas, aku mengambil air wudhu dan menduduki lantai lapangan futsal demi mendengarkan khotbah Jumat yang dibawakan oleh Pak Arief, mantan kepala sekolahku dulu. Kini beliau bertugas di bagian Head Office sekolah sampai sekarang. Begitu adzan selesai berkumandang, pria bertubuh tambun namun berkulit putih tersebut segera memaparkan satu kisah nyata dari hasil ceramah Ustad Yusuf Mansyur, salah seorang pemuka agama terkemuka di seantero tanah air. 

Alkisah di suatu tempat, terdapat seorang pemuda sekaligus siswa Kelas 12 SMA yang hendak mengambil jurusan Teknik Pertambangan atau barangkali Perminyakan bila aku tidak salah bercerita. Tetapi, yang jelas si pemuda ini harus menempuh ujian nasional sebelum mengikuti seleksi tertulis demi mendapatkan satu bangku perkuliahan dan apa boleh buat, pemuda itu terpaksa tidak lulus mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi negeri atau jalur mandiri sekalipun. Akhirnya ia memutuskan untuk pasrah yakni dengan bekerja sebagai supir pada salah seorang juragan besi. 

Sambil ia menyupiri si juragan/pengusaha besi kemanapun ia pergi, si pemuda turut mempelajari rupa-rupa besi di sepanjang pesisir Pantura sampai si pengusaha besi menemukan sebuah ide untuk selanjutnya ditepikan pada sang istri. Usia beliau berdua memang sudah tidak muda lagi dan bila mereka telah tiada, siapa yang hendak mengendalikan roda perekonomian usaha besi mereka? Tiada orang lain kecuali si supir muda yang dirasa cocok memimpin perusahaan. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Hanya dalam waktu dua-tiga tahun sang pemuda telah menduduki jabatan pemimpin perusahaan besi yang bertugas mewawancarai para calon karyawan perusahaan yang seharusnya menjadi teman kuliah bagi dirinya bila dahulu ia masuk perguruan tinggi. 

Berdasarkan cerita di atas, aku dapat menarik kesimpulan bahwasannya kita boleh memetik sejumlah hikmah dalam di dalamnya, antara lain:

1. Ketulusan,
2. Keikhlasan,
3. Kejujuran,
4. Kesungguhan,
5. Segala sesuatu/hal yang menurut kita baik sesungguhnya belum tentu baik sedangkan yang                 menurut kita buruk pun belum tentu buruk, dan,
6. Jiwa-jiwa hebat adalah jiwa-jiwa yang lahir dari kesukaran-tantangan-air mata, bukan dari zona           nyaman yang selama ini kita rasakan. 

                                                                          *****

"Wowww, dia hebat banget Herr Aldi. Mantap jiwa!!! Aku suka ceritanya!!!" Stevie melonjak-lonjak senang ketika diriku mengakhiri cerita. Malam semakin gelap dan aku rasa ini adalah saat yang tepat untuk berbagi cerita mengenai arti-arti indah akan sepenggal kehidupan. Kutatap lagi paras cantik Stevie. Melihat dirinya setiap hari, tubuh ini bagai merasa enggan mengenal kata tua kendati Stevie akan terus tumbuh dewasa di saat aku masih harus belajar menemani seorang anak berkembang... 

Sampai jumpa pada kisah lainnya, sahabat-sahabat...

Tertulis, kisah indah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan. 

Bandung, 25 September 2016
Pukul 08.17 WIB
- Herr Aldi Van Yogya -

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi