Biar gerimis jadi cerita

 
Sumber gambar: wall-papers.info

Kuala Lumpur, Malaysia, ketika hari menjelang siang. 


Keramaian yang berlalu-lalang di terminal keberangkatan internasional Bandara Kuala Lumpur hari ini tampak tak pernah bisa mengobati kesunyian pada ruang hati seorang guru muda yang sedari tadi terus menatap lekat layar jadwal penerbangan internasional tanpa sempat memalingkan garis wajahnya sekalipun. Tak peduli pundak kirinya ditepuk seorang gadis dengan kulit sawo matang, sang guru muda terus menatap jadwal penerbangan dalam-dalam hingga serangkai pengumuman berhasil membuyarkan lamunannya. Ia baru tersadar jika panggilan terakhir untuk penumpang telah berkumandang lantang di segala penjuru.

Rupanya kumandang panggilan terakhir itu ditujukan bagi si gadis bunga yang hari ini akan melenggang jauh ke London nun jauh di Inggris sana untuk tinggal sekaligus mengikuti pameran hasil karya gambar berupa komik pengusung tema kartun Jepang. Bersama Gloria, aku celingak-celinguk ke setiap sudut bandara mencari si gadis bunga dan tanpa kusadari, si gadis bunga malah hinggap di depan batang hidungku. Ia hendak menepikan pamit padaku sebelum ia terbang bersama Pesawat Malaysia Airlines MH 004 menuju tanah tempat Ratu Elizabeth II bertakhta. Tentunya menggunakan seri pesawat Airbus A380-800, si raksasa langit pujaan hatiku sejak masa remaja dulu. 

Usai menyorotku dalam-dalam, Si gadis bunga menyegerakan diri berbicara, "Maaf aku enggak bisa nemenin Herr Aldi pulang ke Bandung tiga hari lagi. Pameran komik udah nunggu di London tapi setelah beres dua minggu lagi, Insha Allah aku langsung pulang ke Bandung sambil sekalian bawa oleh-oleh." Ujarnya datar laksana tak menanggung beban apa pun. Berbundel-bundel komik khas Jepang tertenteng rapi di ruas jemari kirinya saat aku menatapnya dalam-dalam. "Oke, enggak apa-apa. Yang penting pameran kamu bisa sukses terus semoga perjalanan lancar + selamat sampe di tujuan." Menjelang keberangkatan si gadis bunga aku merasa jadi irit bicara. Mungkin karena nelangsa harus berpisah dengannya untuk sementara waktu dan kendati demikian, aku tetap mengibaskan tangan menyuruh si gadis bunga segera naik ke pesawat udara sebelum lepas landas. 

Gloria mungkin mengetahui isi ruang hatiku. Lepas si gadis bunga pergi menjauh sampai tak terjamah kelopak mata, ia lantas mengajakku duduk untuk menyeruput kopi panas karena Negeri Jiran tempatku berpijak saat ini sudah dipeluk tirai hujan sejak Adzan Subuh berkumandang tadi pagi. Tak sungkan kuterima tawaran Gloria itu terlebih lagi ketika duduk di salah satu kursi kafe. "Kopi Moccanya dua ditemani Roti panggang ya." Pelayan pengantong logat Melayu kental tersebut berlalu meninggalkan meja sembari menenteng dua papan daftar menuku dan Gloria tadi. Untuk sejenak Gloria tak menelurkan kata-kata apapun sama seperti aku. 

Sejurus kemudian tempurung kepala aku belokkan menuju dinding kaca milik si kedai kopi. Dari balik kaca besar ini, dapat kulihat lalu-lalang pesawat di atas landasan pacu bandara juga area parkiran yang tersambung langsung dengan pintu garbarata. Pesawat di bandara ini mematut beragam warna juga ukuran, mulai dari pesawat seri terkecil sampai terbesar sekalipun mencakup Airbus A380-800. Ekor raksasanya menyembul sekaligus menjulang tinggi persis di depan kaca dinding kafe seperti hendak menyapa aku dan Gloria dalam penantian dua gelas kopi bersama dua piring roti panggang. Ah, sungguh pemandangan terindah yang pernah ada sepanjang hayat. Gumamku pada diri sendiri dalam hati. 

Tiba-tiba saku dada kananku bergetar lumayan kencang. Jemari kanan aku paksakan mencerabut telepon seluler di dalamnya dan mendapati sederet pesan singkat masuk melalui aplikasi Whatsapp. Kubaca perlahan-lahan seorang diri, "Sekarang aku udah di dalam pesawat, Herr Aldi. Waktu aku baru duduk, pilot pesawat namanya Kapten Idham Mohd Yassin kasih pengumuman biar penumpang bisa nunggu sebentar soalnya tim teknisi masih ngecek pesawat sampe sekarang. Makanya pesawat masih belum berangkat. Ini juga jadwalnya masih 10 menit lagi." Tuturnya polos membuatku mengulum senyum, "Oh iya, btw pesawat aku parkir di bawah kafe tempat Herr Aldi nongkrong sama Gloria. Tadi aku sempat lihat herr sama Gloria cari kursi dari lorong belalai gajah." Tutupnya.

Apa? Dia melihatku mencari tempat duduk bersama Gloria? Kalimat penutup si gadis bunga membuat aku terkekeh-kekeh sendiri hingga tak sadar jika pesananku sudah mendarat di meja. Begitu Gloria mengajakku menikmati pesanan, telepon seluler segera aku benamkan pada saku dada kanan sedang aroma khas Kopi Mocca terus-terusan mengerubungi lubang hidungku. Roti panggang pun tak luput aku cerabut bersamaan dengan terpakunya sorot mataku pada pesawat tunggangan si gadis bunga dalam fase awal pergerakan dari pintu garbarata menuju landasan pacu dengan sangat jelas. Tentu sangat jelas karena tempat dudukku persis menempel pada kaca. Roda depan pesawat bergerak mundur perlahan-lahan memperjauh jarak antara aku dengan si gadis bunga. 

Tetapi waktu aku menengadah payung langit, dirinya justru melukiskan raut kelabu bertangiskan hujan tiada henti. Tadi sempat turun dengan sangat deras lalu berhenti sesaat dan sekarang hadir dalam bentuk gerimis. Keberangkatan Pesawat MH 004 aku rutuki pada ulu hati. Wahai Kapten Idham Mohd Yassin, mengapa engkau tak menunggu cuaca cerah terlebih dahulu agar bisa terbang dengan aman serta tenang? Jujur aku mulai mengkhawatirkan si gadis bunga pada roti panggang di atas piring. Gerimis saat ini sudah semakin rapat ketika aku membuntuti pergerakan pesawat tunggangan si gadis bunga menggunakan sorot mata. Tepat saat jarum jam menindas angka 10 dan angka 1, Kapten Idham dibantu sang ko-pilot entah siapa namanya menekan pedal gas dalam-dalam lalu hanya dalam hitungan detik, sang raksasa langit sudah mengepakkan sayapnya kencang-kencang di atas bandara. Aku tak sadar menggoyangkan jari kanan usai mengangkasa. Namun, beruntung Gloria segera menyuruhku menghabiskan roti panggang di meja. "Sok habiskan dulu herr." Tuturnya sangat singkat.

Remah-remah roti bakar aku tinggalkan seusai membayar di hadapan kasir. 

                                                                       ******

Gagang pintu depan rumah kuno peninggalan era kolonialisme Belanda tersebut aku tancapkan sebiji kunci sekuat tenaga setelah menepi pasca menempuh perjalanan dari Kuala Lumpur bersama Gloria. Saat ini aku merasa ada yang aneh sebab meskipun sudah berkali-kali berusaha melonggarkan gagang pintu, upayaku tetap saja tak membuahkan hasil apa-apa. Kunci terus aku putar sekuat tenaga hingga akhirnya pintu ruang tamu berhasil disibakkan dalam ukuran yang sangat lebar. "Alhamdulillah, nyampe rumah juga." Kataku seakan-akan menyapa seluruh isi rumah. Jelas tak ada satupun yang dapat menjawab sapaanku karena semuanya adalah benda mati sekaligus saksi bisu akan ceritaku selama berada dalam naungan rumah kuno ini. 

Sebidang televisi antik produksi era 1970-1980an aku pandangi dalam-dalam sebagaimana benang jiwaku menatapnya begitu lekat. Layar kelabunya tak melukiskan warna apapun karena sudah sangat lama tak dinyalakan, memang. Kabelnya saja dibiarkan tergeletak entah oleh siapa serta berbutir-butir debu sudi menyelimutinya. Sebilah kemoceng aku jamah dari gantungan di ujung dinding ruang tamu nan panjang lalu selimut debu milik kabel televisi antik tadi aku buang lebar-lebar seiring dengan bersinku yang meletus-letus keras. Ahh, rasanya menampak televisi antik kembali tampil menawan seperti di masa kejayaannya dulu membuat dadaku melambung-lambung tinggi terutama ketika mencontrengi jalur perjalanan kelilng dunia yang sudah aku tempuh di peta. 

Kujumpai lagi rintik gerimis kala menampak kaca jendela ruang tamu diiringi senandung Katon Bagaskara bersama petikan gitar Lilo Radjadin dan alunan piano Adi Adrian dalam band "KLa Project" bersama lagu "Gerimis" setelah "Tak ingin kuberalih." Di musim penghujan seperti ini, naluriku merasa kedua lagu itu sangat cocok menggambarkan suasana hati di tengah musim penghujan. Aku bersenandung lagu "Gerimis" ketika diriku tengah tersiram rasa bahagia karena terus merasa jatuh cinta pada si gadis bunga sedang "Tak ingin kuberalih" kusenandungkan kala hati nelangsa dalam hujan. Segera kubaca layar telepon seluler sepenuh jiwa menghayati, dan kuterima berita dari Ibunda Stevie terkait buah hatinya. 

Perlu aku tepikan pada kalian, hari ini setelah aku pulang dari Kuala Lumpur serta tiga hari setelah si gadis bunga mengambil bagian dari para manusia di Tanah Inggris, Stevie harus meringkih sakit akan demam, pusing serta mual yang ia derita. Aku menekur-nekur pada lantai rumah ketika hati tak ingin beralih pada Stevie dan si gadis bunga dengan segudang kemampuan mengisi kehampaan ruang hati walau telah tumbuh bunga lain dengan hari yang cerah. Lirih kutatap televisi antik di beranda kayu sederhana mengingat lagi kenangan masa lalu yang akan segera luruh oleh pelukan hujan siang menjelang sore ini, tepat saat aku membiarkan gerimis melebur jadi cerita akan kenangan pahit serta kenangan manis pelengkap perjalanan hidup di bawah payung langit. 

Terima kasih telah membaca, sahabat-sahabat...

Tertulis, kisah indah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan. 

Bandung, 8 Oktober 2016
Pukul 13.55 WIB
-Herr Aldi Van Yogya-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi