Pergulatan bathin yang dimulai

 

Hujan lebat akhirnya luruh jua. Masih seperti kemarin, sorot mataku menatap televisi kuno di beranda kayu sederhana dalam-dalam sebagaimana benang-benang jiwa meratapinya sepenuh hati pada layar kelabu yang tak melukiskan warna apa-apa. Memang, karena sudah lama tak dihidupkan sampai berbutir-butir debu turut menjadi selimut. Sunyi dalam rumah kuno kian mencekam karena aku merasa serba salah andai melihat ke segala penjuru. Di dalam rumah hanya ditemani barang-barang antik sedang di luar rumah hujan lebat menyapa mengingatkanku pada peristiwa perpisahan dengan si gadis bunga di pintu gerbang masuk Negeri Jiran kemarin. Aku tak pernah tahu hal apa yang selalu mengibarkan tirai nelangsa apabila mendapati pesawat berukuran besar. 

Hati ini masih enggan berpaling kendati aku mengantongi dua dara temanku selain si gadis bunga serta satu murid kesayanganku. Perpisahan yang terjadi hanya sejengkal dari badan Pesawat Airbus A380-800 kemarin sungguh menyisakan nelangsa sekaligus duka pada palung terdalam di ruang hatiku. Mengapa? Merindukah aku pada si gadis bunga? Ya, tentu saja hal yang tadi aku tepikan itu sangat benar adanya. Kembang pujaan hatiku memang takkan selamanya berkelana ke London, tetapi bagaimanapun jua aku tetap bisa menampak kehampaan relung hati ketika kembang pujaan hatiku pergi laksana ditiup angin fajar. Langit aku tatap lagi, kini relung hatiku kian luruh karena hujan. 

Kesunyian empat hari belakangan ini menyeret langkahku pada ruang televisi persis di belakang ruang tamu. Jam dinding buatan era kolonialisme Belanda berdetak-detik menandakan pukul 07.30 WIB mengingatkanku pada jam masuk sekolah dulu. Lalu, sebutir bohlam putih dengan ukuran mencapai puluhan watt yang menancap kuat di tembok aku hidupkan agar suasana relung hatiku terasa lebih terang benderang. Di depan sorot cahaya bohlam tersebut, berlembar-lembar kertas foto aku ratapi ditemani keramaian dari rintik hujan. Ternyata sudah banyak penjuru Bumi yang aku sambangi selama bekerja sebagai Guru Bahasa Jerman dewasa ini bersama murid-murid sekaligus kawan-kawanku tentunya. 

Satu per satu foto aku ratapi hingga ruas batang jemariku berhenti pada selembar foto yang menyiratkan senyum empat gadis terdekatku. Tak lain tak bukan Gloria, Maureen, Stevie dan Si gadis bunga sudi menyiratkan kecantikan paras manis mereka pada foto ini sambil mendaulat Menara Jam Bigben serta London Tower Bridge melatari kecantikannya. Oh, ada dua foto milik empat dara cantik terdekatku rupanya. Menampak foto-foto tersebut, ingatanku kembali memutarkan film-film kehidupan yang memuat cerita selama satu tahun ini terutama ketika takdir menuntunku mengarungi langit bersama murid dan kawan menyambangi Kuala Lumpur serta London. Dulu, Kuala Lumpur dan London sudi memberi kenangan indah dalam relung hati. Namun, kini waktu bagai telah berkata lain. Usai menyiratkan kenangan indah, dua kota tersebut justru mempersunyi palung jiwa. 

Ada apa gerangan? Mengapa demikian? Pertanyaan itu, tanpa aku sadari kembali terulang menandakan pergulatan bathin yang telah dimulai tepat ketika payung langit sedang menangis bagai ia memahami suasana relung hatiku yang ikut menatap relung kamar untuk sesaat. Aku teringat akan kenangan indah menunggangi Pesawat Airbus A380-800 Malaysia Airlines bernomor penerbangan MH 002 menjelang tengah malam untuk jalur Kuala Lumpur-London. Di sampingku telah duduk banyak wajah anak-anak kecil yang sedang beranjak remaja, atau bahkan sudah remaja tulen. Dengan malu-malu mereka mencurahkan isi hatinya dalam penerbangan jarak jauh ini walau harus terbang seraya menembus kepekatan malam. 

Tetapi, lihatlah aku hari ini wahai sahabat-sahabat. Pesawat Airbus A380-800 berhasil mempersedih bayang-bayang angan sebab jarak antara aku dengan si gadis bunga telah direnggangkan sedemikian jauh. Empat hari lalu aku melihat dengan sorot mata kepala sendiri tatkala Kapten Idham sang pilot memundurkan badan pesawat persis di depan mataku. Ekornya sesekali berkibar-kibar laksana sirip ikan berenang di perairan laut nan tenang lalu empat mesinnya bergemuruh kencang memisahkan aku dan Gloria dengan si gadis bunga. Belum beres rasa sedih karena si raksasa langit, aku teringat lagi akan kenangan tentang dimulainya pergulatan bathin di masa remaja dulu. 

                                                                          *****

Oktober berdasarkan filosofinya merupakan bulan penuh ceria sebagaimana para manusia menuturkannya di muka bumi. Bagiku hal itu sangatlah benar ditandai dengan banyaknya acara-acara di luar sekolah ketika masih SMP dulu hingga bangku Kelas 10 SMA pun masih sebab pada penghujung Bulan Oktober 2014, aku menjumpai Jokowi sang politisi tanah air kebangganku secara resmi melafalkan Sumpah Jabatan Presiden Republik Indonesia. Sungguh sebuah kebanggaan terbesar yang pernah terlukis selama nafas berhembus di muka bumi. Lantas bagaimana dengan Oktober di tahun-tahun setelahnya? Tiada Oktober yang menyenangkan karena formatif bin ulangan harian masih selalu berdatangan tak mengenal waktu. 

Aku pun turut mulai khawatir akan kehadiran Ujian Nasional lengkap dengan kekhawatiran mengenai kisahku di masa mendatang. Perlu kutepikan, aku memang hanya perlu menyiapkan segalanya secara matang sedang ujungnya akan diperlihatkan Allah SWT di lain hari. Semoga pergulatan bathin ini bisa diredam oleh ketenangan bathin ketika Allah SWT memberi petunjuk jalan yang terbaik bagiku. Kubiarkan risau dalam bathin yang tengah bergulat luruh dihapus guyuran hujan sebagaimana titah empat kurcaci berjiwa sabar untuk segera menghapus jejak pada tanah di bawah tangisan tudung langit. 

                                                                          *****

Kemana kawan-kawanku selain si gadis bunga pergi? Akankah mereka hadir menemaniku dalam kesunyian hari ini? Segala penjuru rumah aku jamah menggunakan sorot kelopak mataku demi mencari mereka. Tetapi apa boleh buat, mereka hari ini tak hadir menyemarakkan sunyi yang cukup ramai oleh lagu KLa Project. Angin telah aku biarkan menyapu hari sambil sesekali diselingi sambaran petir yang menyalak sangar menghujani relung pikiran agar segera tenang. 

- Untuk Stevie, aku harap semoga engkau cepat sembuh usai kemarin jatuh sakit dalam derita...

- Untuk Si gadis bunga, aku harap kegiatanmu di London berjalan lancar & bisa segera kembali...

- Untuk kawan-kawan dekatku, kuharap kalian bisa hadir melengkapi kisahku di lain hari...

Tiga baris doa di atas aku layangkan menembus langit-langit rumah agar segera terijabah ketika hari lain tiba setelah aku menikmati kesunyian berbalut kesenduan hari ini. 

Terima kasih telah membaca, kawan-kawan...

Tertulis, kisah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan.

Bandung, 9 Oktober 2016
Pukul 06.47 WIB
-Herr Aldi Van Yogya- 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi