Gadis dalam pelukan hujan (2) a.k.a "OktoBERcerita"
Awang-awang pesisir Pantai Afrika Utara, usai fajar menyembul dari peraduan di ufuk timur.
Cukuplah aku tersenyum puas ketika menatapi belasan buah foto pada layar kamera yang disorotkan dari balik kaca jendela Pesawat Airbus A380-842 milik maskapai Air France dengan nomor penerbangan AF 995. Penerbangan dari Kota Johannesburg, Afrika Selatan menuju Paris, Perancis yang berlangsung selama 9 jam 50 menit ini sungguh sangat nikmat bagi benang-benang jiwaku sampai semalam aku terlelap di kursi pesawat bersama kawan-kawan serta murid kesayanganku. Aku merasa masih ingin terjun kepada alam mimpi, namun pesona guratan fajar berhasil membuat kelopak mataku nyalang. Hmmm, sungguh panorama tudung langit yang sangat menawan sebagaimana Allah SWT melukiskan keagungan dan kebesaran-Nya. Masya Allah...
"Ladies and gentlemen, this is your captain speaking. Now we are flying over Balearic Sea in the highness level of 23.000 feet and the local time now is five o'clock. We still have the remaining time about 40 minutes before landing at Paris-Charles De Gaulle. We hope you can enjoy the remaining journey with Air France until arrived in the destination. Thank you for your attention and good morning." Sontak, pengumuman dari pilot yang semalam aku ketahui bernama Kapten Pierre Coffin Auguste menyalangkan sorot mata seluruh penumpang pesawat termasuk tujuh manusia asal tanah air tak jauh dariku. Tak lain tak bukan mereka adalah kawan-kawanku. Kulihat dengan sorot mata kepala sendiri, mereka tampak seperti tercekat oleh guncangan kecil pesawat dan aku segera melukiskan lagak seorang pramugara pesawat sambil menepikan berita tentang sisa perjalanan menuju Amsterdam via Paris.
Apa, Amsterdam via Paris? Ya, sangat betul kali ini aku menempuh perjalanan panjang dari Afrika Selatan nun jauh di ufuk selatan Bumi menuju Negeri Kincir Angin di ufuk utara usai dua minggu kemarin puas menjamah setiap sudut negeri kelahiran mendiang Nelson Mandela. Untuk perjalanan pulang menggunakan maskapai nasional Perancis ini sudah tentu tergariskan di langit bukan tanpa alasan. Semula, usai berdiskusi panjang dengan si gadis bunga, Gloria dan Maureen kami sudah sepakat meminta jatah kursi pesawat pada Lufthansa sebab perjalanan lewat Frankfurt ke Amsterdam takkan menelan banyak waktu. Namun apa boleh buat, maskapai negeri panser tersebut tak sudi mengosongkan kabin demikian dengan KLM yang notabene bisa langsung mengantar ke Amsterdam.
Alhasil Air France sebagai satu-satunya maskapai penerbangan yang dapat mendekatkan kami pada Amsterdam aku dapuk untuk mengangkut kami ke Amsterdam. Mereka pun sudi mengangkut tujuh makhluk mongoloid dengan rambut hitam di puncak kulit sawo matang serta satu makhluk dengan warna rambut sepadan di puncak kulit putih bersih menyeberangi langit dua benua dan kembali lagi pada kisah seputar penerbangan ke Paris. "Idih, enggak kerasa udah mau nyampe Paris lagi padahal semalem tidur nyenyak banget." Ujar Maureen seraya ia menyibak kedua kelopak matanya lalu begitu ia meluruskan punggung di atas kursi, lutut kanannya segera dipeluk erat-erat. Jujur aku tak banyak bertutur kata menanggapi ucapan Maureen. Kubelokkan wajah ke kursi di sebelahnya. Di sana terdapat seorang gadis 13 tahun menggerak-gerakan tubuh kurusnya bagai kucing baru bangun tidur. Dialah Stevie yang hanya aku sambut dengan senyum manis kala ia menyibak bola mata.
Seorang pramugari muda dengan bola mata berwarna biru berjalan melintasiku sambil menyapa ramah. Sapaan tadi aku balas seraya mempraktikkan sedikit kemampuan Bahasa Perancisku. Ia berlalu sejurus kemudian sambil aku kembali ke kursi demi menampak semakin jelasnya lukisan senyum langit.
*****
Dengan diikuti Stevie pada urutan kedua, di depan batang hidungku seluruh penumpang dek atas pesawat telah merangkai antrian yang mengular serta bermuara di ujung pintu. Ketika tiba giliranku keluar, Kapten Coffin mengulum senyum manis terlebih lagi ketika melihat kecantikan Stevie. Pilot bertubuh tinggi menjulang tersebut lantas memuji kecantikan Stevie sampai gadis keturunan Tionghoa ini tersipu malu. Enggan membuang waktu lebih banyak lagi, aku terus berjalan bersama ratusan penumpang melewati loket petugas imigrasi sebelum mencomot koper di area pengambilan bagasi pesawat.
"Bonjour Aldi, Comment alles vouz?" (Halo Aldi, apa kabar?) Begitu keluar menembus pintu kaca, secara tiba-tiba seorang pemuda dengan kulit hitam menyergapku. "Bonjour Frederic, Alhamdulillah Bonnes nouvelles." (Halo Frederic, Alhamdulillah kabar baik.) Tubuh Frederic aku dekap erat dan tak sungkan ia menyambut kawan-kawanku di belakang. Gloria dan Akbar menggulung senyum bagai hendak diberi hadiah istimewa oleh Frederic, temanku yang berasal dari Perancis. Usai bicara ngalor-ngidul, Frederic kemudian memaparkan sesuatu hal pada aku yang berdiri persis di sebelah Stevie dengan sangat gamblang laksana sedang mengamalkan gaya pidato ala mendiang Presiden RI Ke-1 Ir. Soekarno. "Herr Aldi, Mobil Pregio milikmu rupanya sangat nyaman dipakai pergi berkeliling kota bahkan menjelajah sebagian kecil Perancis. Aku sangat menyukainya dan kini, sesuai dengan janjiku Mobil Pregio aku kembalikan untuk selanjutnya dibawa lagi ke Belanda. Terima kasih telah sudi menitipkannya padaku"
Untuk sesaat tiada kata yang dapat kututurkan pada Frederic. "Wow, bagus Fred." Tuturku terkesima. Siapa yang dapat menyangka mobil minibus produksi tahun 2000an tersebut dipuji Frederic dan tanpa menanti lebih lama, kedua ruas jemari Abang segera mencomot koper untuk dimasukkan ke bagasi mobil hingga penuh sesak. "Enggak ikut ke Belanda sekalian, Fred?" Akbar dan Ariq bertanya secara berbarengan saat aku sudah duduk di belakang roda kemudi mobil. "Enggak, terima kasih banyak kawan. Hari ini sampai satu pekan ke depan aku mengantongi agenda yang cukup padat mencakup acara keluarga besar ibuku yang jelas tak bisa aku tinggalkan." Tutup Frederic di ujung pertemuan. Lalu aku memacu mobil kencang-kencang menggilas tanah Perancis di pagi yang cerah.
Saat mobil sudah semakin menjauhi Bandara Charles De Gaulle, kesegaran pagi aku hirup pelan-pelan dengan ditemani segelas kopi panas hasil seduhan Gloria lengkap oleh sepotong kue bolu hasil pemberian si gadis bunga. Barangkali hari ini adalah hari yang cerah bagi delapan jiwa penyandang lelah, bathinku dalam hati sambil terus menyeruput kopi diselingi kue bolu. Belum mencapai setengah perjalanan ke Amsterdam, Ariq mulai mengkhawatirkan kekuatan ragaku mengemudikan mobil walau ia tahu seluruh penunggang mobil turut dijangkiti lelah berkepanjangan. "Kalo capek istirahat dulu aja herr." Pertanyaan Ariq malah dijawab oleh Gloria ketika aku selesai bilang "Insha Allah enggak. Ini ngantuk juga gara-gara jet lag." Perjalanan terus berlanjut sampai air muka langit melukiskan revolusi drastis.
Kulihat bentangan peta sebagian kecil Perancis dan Benelux waktu aku tahu sudah setengah perjalanan ditempuh. Saat ini aku sudah melintasi daratan tanah Belgia disambut oleh payung kelabu langit bersama lelambaian angin yang bertambah kencang. Empat gadis cantik pada jok barisan ketiga seketika memasang raut wajah tak percaya akan perubahan drastis pada cuaca tanah Eropa hari ini. Stevie saja sampai harus berusaha mendongakkan wajahnya menampak raut wajah langit. Kadang-kadang dalam hitungan menit petir mulai menyalak-nyalak sangar. Lalu-lintas kian sepi menandakan semakin mencekamnya suasana.
Memang benar adanya, guyuran hujan sudah tidak bisa dibendung lagi. Kecepatan Mobil Pregio aku kurangi bersamaan dengan melambatnya serangkai truk tangki pengangkut susu sapi nan segar di belakang yang mulanya aku perkirakan melaju cepat sampai 100 km per jam namun kini hanya 85 km per jam sama dengan mobilku. Kisah lama turut terulang kembali, aku harus mengakhiri perjalanan untuk sementara sebab serangkai kereta akan menyapa di atas sebidang perlintasan sunyi. "Tootttt..." Serangkai kereta api barang berkepala dua buah lokomotif diesel menyapu pandangan kosong sampai membuat Gloria terlonjak kaget. "Buset, aku baru nyadar ada kereta lewatlah." Lantas Akbar, Abang dan Ariq tergelak heboh mendengar ucapan Gloria menghujam daun telinga mereka.
Setelah kereta barang tadi lewat, barulah aku menancap gas menggilas perlintasan sebidang bersamaan dengan terjatuhnya secarik kertas yang dilipat kecil. Aku baru sadar, secarik kertas kecil tadi memuat cerita yang tertorehkan di awal Bulan Oktober 2016 usai aku menduduki bangku kelas 12 selama dua bulan pertama.
Untuk sesaat, aku lihat lagi empat gadis di jok belakang. Mereka telah menyandang julukan "Gadis dalam pelukan hujan" pada kesempatan yang kedua kalinya.
*****
Hari ketiga di Bulan Oktober pada sebuah siang hari selepas jam istirahat. Sesuai perjanjian dengan ayahku sejak pagi, aku menanti di gerbang sekolah dengan keperluan izin untuk mengambil kartu tanda penduduk alias KTP yang sudah terbit dan tersedia di Kantor Kecamatan Antapani dan begitu ayah tiba dengan mengendarai mobil, aku langsung meluncur menuju kantor kecamatan di Jalan AH. Nasution dalam naungan mendung kelabu yang bersegera mengerahkan rintik hujan dan begitu tiba, hujan deras sudah mengguyur Kantor Kecamatan. Alhasil aku harus melangkah sambil berpayungan dengan ayah menuju kantor kecamatan.
Di dalam bangunan berukuran relatif kecil ini aku menjumpai beberapa belas orang telah mengantri sambil duduk manis untuk beragam keperluan bin kepentingan entah apa. Pastinya ada yang hendak mengambil KTP sama sepertiku. Untuk kesempatan hari ini aku mengantongi nomor antrian 40 supaya bisa menanti beberapa saat sebelum dipanggil petugas pelayanan. Usai nomor urutku disebutkan dengan lantang melalui pengeras suara, petugas pelayanan aku sambangi dan penandatanganan tanda pengambilan serta pengecekan ulang KTP aku lakukan sekali. Alhamdulillah, tiada kekurangan apa pun yang tercantum dalam KTP-ku walau hujan masih mengguyur sangat deras dalam waktu singkat. Dalam perjalanan kembali ke sekolah, hujan deras sudah menggenangi badan Jalan AH. Nasution sehingga aku mesti menanggalkan sepatu agar tidak basah terendam air. Jalanan pun menjadi macet sepanjang perjalanan kembali ke sekolah bersama Noah & Iwan Fals dalam senandung "Yang Terlupakan" di radio mobil.
Lalu cerita apa yang terjadi di Hari Selasa? Tidak ada cerita menarik.
Rabu sebagai hari kelima di Bulan Oktober aku jalani tanpa kehadiran si gadis bunga karena dirinya harus jatuh sakit di luar sebab yang jelas pula apa jenis penyakitnya. Hal tersebut terjadi karena aku baru menghubungi si gadis bunga pada siang hari sebelum dijawab ketika waktu Maghrib telah tiba. Ternyata penyakit asma si gadis bunga sedang kambuh di Hari Rabu itu sehingga ia wajib mengasingkan dirinya selama satu hari. Aku kembali menjumpai si gadis bunga di Hari Kamis pagi. Dara bertubuh kurus dengan kaca mata ini tak tampak sudah sehat seperti sedia kala sampai menjelang siang aku harus berjibaku dengan soal formatif Matematika. Pikiranku di Hari Rabu sempat risau lantaran teringat akan surat keterangan KKM yang akan dipakai untuk pendaftaran PMDK masih belum selesai dan aku harus bolak-balik bertanya hingga menemui titik terang menjelang sore harinya.
Alhamdulillah aku diberi kemudahan dalam menjawab soal formatif Matematika. Alhasil Hari Kamis di Bulan Oktober berakhir dengan cerah ceria.
*****
"Kenapa bagian prolognya panjang banget tapi bagian ceritanya kok pendek banget, Herr Aldi?" Suara Abang menghujamku dari belakang diikuti anggukan Gloria. Senandung KLa Project pada lagu "Tak ingin Kuberalih" mesti aku redam sejenak demi menepikan jawaban pada pemuda berkaca mata tersebut. "Ehm, bagian yang di atas kan cerita juga. Prolog itu sama kayak kata pengantar yang biasanya ada di novel atau hasil karya-karya tulis ilmiah." Hujan masih turun menyapa waktu aku menyanggah tutur-kata Abang. Air mukanya sekilas tak menelurkan kata-kata entah karena dirinya bingung atau setuju dengan aku. Tetapi kendati demikian, aku mengakui bagian cerita pada lembaran kisahku ini memang acap kali tertulis dengan singkat berbeda dengan prolog.
Kemudian sorot mata aku arahkan lagi pada bayangan di kaca spion berupa serangkai truk pengangkut susu sapi tadi. Sepertinya sang supir telah menavigasikan arah serupa denganku semenjak meninggalkan Belgia tadi sedang wiper panjangnya tengah berhasrat menyapu kaca depan selebar setengah badan manusia pula. Cukuplah aku tersenyum menatap pemandangan unik yang terluksi dalam hujan kali ini, bersama empat gadis dalam pelukannya persis tutur-kataku di atas tadi. Di balik tirai hujan ini, sesekali mereka bersenandung ria di antara semarak gelak tawa sebagai pengganti kesunyian dalam kantuk karena hembusan angin. Bagiku, tawa mereka justru semakin memperjelas pesona kecantikan parasnya masing-masing dalam pelukan tirai hujan. Tak segan kumenggoda empat gadis di belakang, tak lupa jua mereka tersipu...
Lelah kubiarkan menemani di waktu perjalanan terus berlanjut sampai tujuan akhir kami di Amsterdam. Sejumput kenangan indah beterbangan lagi bersamaan dengan memori seputar perjalanan di Afrika Selatan ketika aku menyetir mobil melintasi Provinsi Zuid Holland. Di akhir kata, aku putuskan menarik kesimpulan tentang awal Oktober jadi cerita. Bagiku, sepanjang masa saat Oktober baru menyapa dengan harapan akan ceria sebagaimana orang mengatakan, momen perkenalan dengan Oktober justru mengundang kenangan pahit atau manis tak sampai. Tetapi meski demikian, aku tetap mematut harapan agar ceria tetap bisa tampak di Bulan Oktober ini.
Aku tepikan sekali lagi pada kalian, hidup dalam filosofinya adalah untuk dinikmati sebelum itu melebur jadi cerita di lain hari...
Terima kasih telah sudi menikmati kisah ini, sahabat-sahabat...
Tertulis, kisah indah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan.
Bandung, 6 Oktober 2016
Pukul 22.55 WIB
- Herr Aldi Van Yogya -
Kemudian sorot mata aku arahkan lagi pada bayangan di kaca spion berupa serangkai truk pengangkut susu sapi tadi. Sepertinya sang supir telah menavigasikan arah serupa denganku semenjak meninggalkan Belgia tadi sedang wiper panjangnya tengah berhasrat menyapu kaca depan selebar setengah badan manusia pula. Cukuplah aku tersenyum menatap pemandangan unik yang terluksi dalam hujan kali ini, bersama empat gadis dalam pelukannya persis tutur-kataku di atas tadi. Di balik tirai hujan ini, sesekali mereka bersenandung ria di antara semarak gelak tawa sebagai pengganti kesunyian dalam kantuk karena hembusan angin. Bagiku, tawa mereka justru semakin memperjelas pesona kecantikan parasnya masing-masing dalam pelukan tirai hujan. Tak segan kumenggoda empat gadis di belakang, tak lupa jua mereka tersipu...
Lelah kubiarkan menemani di waktu perjalanan terus berlanjut sampai tujuan akhir kami di Amsterdam. Sejumput kenangan indah beterbangan lagi bersamaan dengan memori seputar perjalanan di Afrika Selatan ketika aku menyetir mobil melintasi Provinsi Zuid Holland. Di akhir kata, aku putuskan menarik kesimpulan tentang awal Oktober jadi cerita. Bagiku, sepanjang masa saat Oktober baru menyapa dengan harapan akan ceria sebagaimana orang mengatakan, momen perkenalan dengan Oktober justru mengundang kenangan pahit atau manis tak sampai. Tetapi meski demikian, aku tetap mematut harapan agar ceria tetap bisa tampak di Bulan Oktober ini.
Aku tepikan sekali lagi pada kalian, hidup dalam filosofinya adalah untuk dinikmati sebelum itu melebur jadi cerita di lain hari...
Terima kasih telah sudi menikmati kisah ini, sahabat-sahabat...
Tertulis, kisah indah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan.
Bandung, 6 Oktober 2016
Pukul 22.55 WIB
- Herr Aldi Van Yogya -
Komentar
Posting Komentar