Bunga kasih tak sampai

 

Derap langkah pada hamparan ilalang menuju padang bunga aku ayunkan begitu langit fajar menyingsing dengan malu-malu. Jauh dari keramaian di pusat kota Amsterdam sana, aku menjamah kesunyian pagi ini begitu mengingat sebuah kasih yang pernah tak sampai pada hadapan si gadis bunga masih di tengah kisah-kasih akan masa remajaku. Sepintas anganku bagai berlayar melintasi dua dilema tentang kasih yang akan sampai atau takkan sampai. Jujur kukatakan, karena si gadis bungalah aku mesti merangkul jarak dua dilema menemani senjaku dalam ruang batin penuh bimbang. Aku tak tahu mana keputusan yang sekiranya diambil, tetapi anganku tampaknya masih belum sudi memberi jawaban. 

Alhasil, aku pikir diriku akan seorang diri memeluk kesunyian pagi di tengah padang bunga ini tepat pada sepanjang sisi sebuah jalan sepi. Kudengar burung-burung Gelatik jua Kutilang tak pernah jemu berkicau ria sambil sesekali dipecah oleh riak air dari sebuah telaga tak jauh dari sini. Saat kelopak mataku menampak telaga, di sana aku jumpai seorang gadis berambut panjang tengah asyik meniti lukisan pada sebidang kanvas di depan raganya sambil ia mengenakan baju terusan dengan warna hitam-putih belang-belang dan kupluk abu-abu. Tak lain tak bukan gadis itu adalah Maureen. Entah apa yang sedang ia lukis di atas kanvas, namun tiada pikir panjang lagi aku menghampiri Maureen sampai paras cantiknya menoleh ratusan derajat padaku. Kusapa gadis ini di tengah nyanyian Burung Gelatik dan Kutilang pagi. 

"Hi Maureen, kamu lagi ngelukis apa? Kok serius amat?" Sekilas aku menangkap senyum di parasnya. "Hi Herr Aldi. Aku lagi ngelukis telaga ini. Sayang banget enggak ada kincir angin ya." Ujarnya polos bagai seorang gadis kecil yang tengah belajar melukis pada bapak-ibunya. Entah apa yang harus aku tepikan pada gadis cantik ini. Namun yang jelas, aku hanya menampak seekor kupu-kupu bertengger sesaat di atas lutut Maureen karena baju terusannya menampakkan sebagian ruas kaki gadis tersebut. Di atas pangkuannya tersimpan sebidang palet berisi cat beragam warna yang sedari tadi selalu dijamah bulu di ujung kuas dan rupanya aku baru sadar, ia juga turut mengenakan sepotong rompi dari bahan jeans biru tua di badannya. Amboi, pantas saja ia sangat menawan. 

Dalam sekejap angin menerpa jiwaku dan Maureen. Lukisannya hampir tergeletak jatuh di atas rumput bersama dengan terbangnya kupluk abu-abu ke arahku. Lalu dengan tangan kiri aku menangkap kupluk itu dan menyerahkannya pada Maureen. "Owwwhhh, Dank u well." (Owwwhhh, terima kasih banyak.) Pekiknya girang kepadaku sesaat sebelum ia menunaikan kebiasaan lamanya: menjamah seluruh isi buku agendaku lepas angin menyingkapkan halaman-halamannya. Ingin aku bercerita tentang sekuntum bunga kasih tak sampai padanya, namun kawan-kawan terdekatku tak aku jumpai hari ini mencakup Stevie. Mestinya mereka turut mendengar isi ceritaku. Namun cukuplah aku bercerita pada Maureen seorang diri. Biar mereka mendengar cerita di lain hari.

                                                                        *****

Senin, Selasa, Rabu, Kamis. Demikian hari-hari yang telah aku jalani sampai Bulan Oktober melangkah setengah perjalanan di luar kehadiran si gadis bunga karena menurut komunikasi terakhir yang aku tunaikan, dirinya tengah sakit demam di Hari Senin. Aku pikir asma juga ikut membelenggu ruang nafasnya, tapi ternyata tidak kambuh. Cukup demam menyerang tubuh kurusnya hingga ia harus beristirahat beberapa hari di rumah. Maka oleh karenanya, aku membiarkan hari-hari di sekolah berlalu tanpa kehadiran si gadis bunga hingga tiba suatu saat di Hari Kamis atau hari keempat setelah aku tak bersua dengan si gadis bunga dalam rindu tingkat dewa. 

Darahku berdesir cepat, alunan detak jantung ini terasa menari lebih ligat dari biasanya. Kudengar serangkai cerita dari ibunya melalui kawan-kawan sekelasku, si gadis bunga rupanya telah larut dalam derita sejak hari Minggu dan radar dokter telah mendeteksi adanya indikasi gangguan saluran pencernaan sampai aku tiba pada sebuah kemungkinan bulat: Gejala thypus. Ini sudah yang kesekian kalinya dengan mata kepala sendiri aku menampak si gadis bunga larut dalam derita hingga beberapa hari lamanya. Kemarin-kemarin ia pula turut sakit, namun sehari-dua hari tak tampak di kelopak mataku sudah terasa sangat lama. Kali ini ia harus larut dalam derita pada ruang waktu yang lebih lama persis deritanya setengah tahun silam. Sudah pernah aku tuliskan di ruang cerita ini, sahabat.

Hari beranjak sore, matahari telah bergeser ratusan derajat hingga tepi ufuk barat. Kawan-kawanku di kelas mulai lantang mengumandangkan rencana menjenguk si gadis bunga sebagai penggoyah relung hatiku. Rencana berobat secara rutin ke dokter gigi sudah disusun sejak jauh-jauh hari, namun rupanya bentrok dengan rencana menjenguk si gadis bunga dan oleh karenanya-lah aku galau setengah mati. Mana yang harus aku pilih? Menjenguk si gadis bunga atau periksa rutin ke dokter gigi? Asumsi pada palung hati terdalam tak ketinggalan memberi masukan. Jadwal periksa ke dokter gigi dapat dilaksanakan kapanpun, sedang menjenguk si gadis bunga hanya dapat dilaksanakan sekali saat celah kesempatan terbuka kendati itu memang tak wajib ditunaikan. Ujungnya aku mencoba mengambil keputusan tuk ikut menjenguk si gadis bunga bersama teman-teman. 

Tetapi palung jiwaku bagai telah tercekat di Hari Jumat pagi itu. Saat aku bertanya kepada Rani apakah dirinya akan ikut menjenguk si gadis bunga atau tidak, gadis bertubuh tambun ini justru mengatakan bilamana acara ini hanya akan ditunaikan oleh para gadis kelas tanpa ditemani para bujang termasuk aku. Dalam kepanikan, aku meminta izin pada Pak Iskandar sang guru Geografi untuk menghubungi orangtuaku tentang perihal batalnya acara menjenguk si gadis bunga. Ayahku gagal dihubungi ketika ibuku berhasil dihubungi dan beliau hanya meminta aku agar langsung pulang ke rumah selepas sekolah beres dan berita senada aku layangkan pada ayah. Jawabannya baru datang tengah siang hari sebelum aku menunaikan Shalat Jumat. 

Satu hal yang membuat aku bahagia di tengah dilema adalah ketika jemari tanganku menerima sepucuk surat tentang kegiatan University Preparation (Unprep) Kelas 12 ke Purwokerto dan Yogyakarta awal November mendatang. Kegiatan ini sudah aku curigai sejak lama dan kini terbukti benar. Kemudian Hari Jumat sore ketika yang lainnya beranjak ke rumah si gadis bunga, aku melenggang bersama ayah dan adikku menuju dokter gigi dengan perasaan yang entah bagaimana tampaknya. Entah dilema, entah bimbang atau apa. Sukarku jelaskan karena tirai hujan sedang tertutup rapat. Namun, dilema itu kembali seolah tertiup angin di balik tirai hujan. Salah seorang kawanku sudah sampai di kediaman si gadis bunga sedang yang lainnya masih dalam perjalanan. Naluriku menulis kata-kata bernuansa puitis tercetus sumbu kala satu orang temanku menulisnya. 

"Duhai si gadis bunga... Hanya kata maaf yang dapat kutepikan padamu karena hari ini aku pula tak dapat menjumpaimu dalam derita di balik tirai hujan. Semula aku sudah menghunuskan niat tuk berjumpa denganmu senja ini, tetapi rencana lain tak bisa kutunda lagi. Di balik hujan ini aku layangkan harapan agar dirimu kembali pulih agar kudapat berjumpa denganmu di lain hari yang cerah bagi jiwa yang lelah untuk serangkai kisah yang akan lebih indah. Sampai jumpa lagi, Si gadis bunga..." ^_^ ^_^ 
Lalu aku lanjutkan dengan dua bait kalimat puitis di bawah ini:

"Cukup tulisan terpuitis yang dapat aku tepikan pada Si gadis bunga pula secarik salam untuknya saat ini ketika matahari telah mengucap selamat tinggal nun jauh di ufuk barat sana." 
Belum sempat aku mengetik lagi, Si gadis bunga telah menepikan jawaban padaku melalui seorang kawan sebagai perantara: 

"Enggak apa-apa Adhit sama Aldi, teman-teman yang enggak datang nengok enggak apa-apa, mohon doanya aja ^_^  ^_^ ^_^" - Si gadis bunga. 
 "Insha Allah doa akan tetap mengalun bagi Si gadis bunga di waktu nafas bertasbih seiring dengan doa dari alunan detak jantung pula lubuk ruang hati terdalam ^_^ ^_^ ^_^"  Lanjut diriku sebelum menutup rangkaian kata-kata. 
"Amin, semoga Allah mengabulkannya..." 
Temaram kerlap-kerlip cahaya lampu malam mencoba menaungi relung hatiku yang entah mengapa kembali menarik dilema. Keinginanku menjenguk si gadis bunga kini hanya menguap tinggi-tinggi sampai permukaan tudung langit bagai sekuntum Bunga kasih yang tak sampai kendati aku berharap akan ada hari yang lebih indah dari pertemuan dengan si gadis bunga dalam derita. Akhir kata kepada sahabat-sahabat khususnya Stevie sang murid kesayanganku, aku mendengar anjuran agar dapat membawa Si gadis bunga mendalami kisah-kisah indah dalam perjalanan masa remaja pula cerita mengenai senyum ceria pada langit Kota Purwokerto (tak jauh dari Dataran Tinggi Dieng tempatku menanamkan cinta pada si gadis bunga) dan Yogyakarta awal November nanti. Aku memiliki keinginan kuat untuk menyampaikannya pada kepakan sayap-sayap Burung Gelatik dan Kutilang, namun di ujung cerita aku sudah tak menampak pasukan dua jenis makhluk bersayap itu...

                                                                     *****

Bagai tercekat sumbu lilin pagi, aku merasa tangan Maureen mengguncang-guncang badanku pertanda perintah agar aku cepat sadar dari lamunan sunyi. Begitu aku tersadar, kutampak Maureen masih erat mencengkram buku agenda hitam kesayanganku sambil meletakkannya di lutut kanan. Sekali lagi kukatakan, kombinasi warna pakaian Maureen hari ini semakin mempercantik dirinya tanpa kehadiran kawan-kawan terdekat agar tampak lebih lengkap. Meski demikian, kisahku tentang sekuntum bunga kasih yang tak sampai aku rasa sudah cukup sampai di sini. Semoga Allah SWT dapat segera mengangkat penyakit bersalut derita dari relung jiwa si gadis bunga untuk perjumpaan manis di hari lain yang akan selalu lebih indah dari hari yang telah lalu. Amin, demikian ucapku sambil mengatupkan telapak tangan kanan dan kiri usai fajar menyingsing dari ufuk timur. 

Terima kasih telah membaca, sahabat-sahabat...

Tertulis, kisah indah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan. 

Bandung, 22 Oktober 2016
Pukul 06.17 WIB.
- Herr Aldi Van Yogya - 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi