Gadis dalam pelukan hujan
Mobil VW kuno
kesayanganku selama menyambangi daratan Belanda dalam kurun waktu dewasa ini
aku pacu dengan kecepatan tinggi menindas jalan raya Provinsi Noord Brabant
menuju Haarlem selepas mengucap selamat tinggal pada Kota Brussels dan Duo
Baarle di tanah Belgia sang tetangga negeri markas kumpeni. Tumben Belanda
disapu hujan deras, batinku sambil mengemudikan mobil ditemani kawan-kawanku di
sebelah kanan serta belakang tulang punggung. Ya, baru kali ini aku menampak
Belanda disapu hujan deras bersama kawan-kawanku dan cuaca macam ini membuat
aku tidak mungkin menepikan mobil di bahu jalan.
Bagai manusia baru
pertama kali melihat bumi disambar petir, aku bangkit dari lamunan begitu
serangkai truk tangki pengangkut susu sapi menekan klakson dari belakang
berkali-kali. Ingin aku menyingkir demi memberi ruang jalan bagi truk 12 roda
itu, namun hujan deras membelenggu keinginanku ini. Walau sudah belasan kali
mengklakson, tetapi pada ujungnya sang pengemudi truk menyerah pula. Ia memilih
mengikuti laju mobil VW kuno terlebih lagi ketika sebuah bus besar tampak
berlari maraton dari arah berlawanan. Hufffh, untung saja aku tidak menyingkir
ke sebelah kanan jalan tadi dan andai saja aku menyingkir, pastilah bus besar
yang tidak aku ketahui namanya tersebut akan langsung menghantam mobil hanya
dalam hitungan detik.
Perjalanan terus
berlanjut dengan dibuntuti truk tangki susu di belakang. Wiper besarnya
mengibas-ngibaskan kaca depan yang mengantongi ukuran sama besar pula ketika
aku melihat dari kaca spion kanan sedang empat gadis di jok belakang mobil.
Tiga diantaranya adalah gadis sebayaku sementara satunya lagi merupakan seorang
gadis usia sekolah. Dari tadi sejak meninggalkan Brussels dan Duo Baarle, aku
menampak mereka asyik berbincang-bincang dalam satu geng tanpa mengajak para
kawan laki-laki. Sepertinya mereka masih belum dapat melepaskan pesona kota Duo
Baarle dari ruang hati mereka karena perlu kusampaikan pula, Duo Baarle
merupakan sebuah kota yang terletak persis di perbatasan Belgia-Belanda serta
terbagi menjadi Baarle Hertog dan Baarle Nassau. Garis perbatasan
Belgia-Belanda terlukis jelas di tiap sudut kota mencakup trotoar. Akan
dijumpai dengan mudah garis perbatasan serta huruf B dan NL (singkatan Belgium
& Netherland) melintang pada tanahnya. Tentulah hal ini sangat unik
ditampak pula di-buahbibir-kan.
Senandung Noah dalam lagu "Menghapus Jejakmu" sebelum
"Yang Terlupakan" bersama musisi senior Iwan Fals aku paksa berhenti
secara mendadak lantaran salah satu dari empat gadis melayangkan secarik
interupsi ke arah jok depan. Di sebelah lengan kananku terduduk Abang, seorang
pemuda berambut kriting di atas tubuh tambun. "Ehm, Herr Aldi, masih
berapa lama lagi kita sampe Haarlem?" Mendengar suara penginterupsi hujan
hari ini, aku mengenali suara itu masih terdengar seperti suara seorang
anak-anak. Pandangan kualihkan pada jok belakang dan aku dapat membaca sorot
mata Stevie terkait siapa yang bertanya. Siapa lagi kalau bukan dirinya.
"Ada satu setengah jam lagi Stev. Memang kenapa, udah capek?" Ujarku padanya. "Ya herr, udah capek ditambah udara dingin lagi." Jawabnya sambil mengeluh tentang cuaca negeri kincir angin yang selalu nampak tak sudi bersahabat dewasa ini. Tiada kata yang aku lemparkan sekaligus layangkan padanya selain gulungan senyum untuk paras cantiknya. Kuakui suasana ruang mobil dalam pelukan hujan sore hari ini sangat sepi memang. Para gadis-gadis yang bernaung dalam pelukan hujan justru berbincang dengan memakai bisikan halus di kala para jejaka hanya terdiam menikmati rintik hujan. Mobil terus dipacu melawan angin dalam hujan hingga sebidang perlintasan kereta api harus mengakhiri laju mobil untuk sementara.
"Toottt...." Dua buah lokomotif diesel menerjang pandanganku sambil membunyikan klakson berisiknya. Empat gadis di sisi belakangku terlonjak kaget tatkala menampak serangkai kereta barang melintas di depan. Batok kepala Gloria hampir menyundul atap mobil sedang punggung Maureen hampir menghantam dinding kanan. Oh, rupanya mereka baru menyadari mobil menepi di ujung perlintasan kereta api dalam waktu yang agak sedikit lama disebabkan panjangnya rangkaian kereta. "Buset, aku enggak nyadarlah di depan ada kereta lewat." Tutur Maureen mengundang gelak tawa orang satu mobil mencakup para laki-laki di kursi paling belakang. Pipinya telah bersemu merah jambu ditambah dengan hampir melorotnya kupluk abu-abu dari puncak permukaan rambut panjang.
Alhamdulillah, rangkaian kereta api telah berlalu demi memberi giliran kami melintas sebagian rel. Kereta api memang boleh berhenti di satu stasiun tetapi hujan masih belum sudi mengucap selamat tinggal kala aku meneruskan perjalanan jauh antar dua negara ini. Kemudian tatkala roda depan melibas genangan air di permukaan jalan terlebih dahulu, secarik kertas menyembul dari laci dashboard mobil menuju kaca pelindung speedometer. Dengan sendirinya kertas tersebut menyingkap lipatan demi mengingatkan anganku pada sebaris puisi hasil karyaku sendiri. Jujur aku sudah lupa kapan menulis puisi itu, tetapi yang jelas seperti ini isi bait-baitnya:
"Ada satu setengah jam lagi Stev. Memang kenapa, udah capek?" Ujarku padanya. "Ya herr, udah capek ditambah udara dingin lagi." Jawabnya sambil mengeluh tentang cuaca negeri kincir angin yang selalu nampak tak sudi bersahabat dewasa ini. Tiada kata yang aku lemparkan sekaligus layangkan padanya selain gulungan senyum untuk paras cantiknya. Kuakui suasana ruang mobil dalam pelukan hujan sore hari ini sangat sepi memang. Para gadis-gadis yang bernaung dalam pelukan hujan justru berbincang dengan memakai bisikan halus di kala para jejaka hanya terdiam menikmati rintik hujan. Mobil terus dipacu melawan angin dalam hujan hingga sebidang perlintasan kereta api harus mengakhiri laju mobil untuk sementara.
"Toottt...." Dua buah lokomotif diesel menerjang pandanganku sambil membunyikan klakson berisiknya. Empat gadis di sisi belakangku terlonjak kaget tatkala menampak serangkai kereta barang melintas di depan. Batok kepala Gloria hampir menyundul atap mobil sedang punggung Maureen hampir menghantam dinding kanan. Oh, rupanya mereka baru menyadari mobil menepi di ujung perlintasan kereta api dalam waktu yang agak sedikit lama disebabkan panjangnya rangkaian kereta. "Buset, aku enggak nyadarlah di depan ada kereta lewat." Tutur Maureen mengundang gelak tawa orang satu mobil mencakup para laki-laki di kursi paling belakang. Pipinya telah bersemu merah jambu ditambah dengan hampir melorotnya kupluk abu-abu dari puncak permukaan rambut panjang.
Alhamdulillah, rangkaian kereta api telah berlalu demi memberi giliran kami melintas sebagian rel. Kereta api memang boleh berhenti di satu stasiun tetapi hujan masih belum sudi mengucap selamat tinggal kala aku meneruskan perjalanan jauh antar dua negara ini. Kemudian tatkala roda depan melibas genangan air di permukaan jalan terlebih dahulu, secarik kertas menyembul dari laci dashboard mobil menuju kaca pelindung speedometer. Dengan sendirinya kertas tersebut menyingkap lipatan demi mengingatkan anganku pada sebaris puisi hasil karyaku sendiri. Jujur aku sudah lupa kapan menulis puisi itu, tetapi yang jelas seperti ini isi bait-baitnya:
Gadis dalam
pelukan hujan
Hari telah dibasahi
rintik hujan
Bersama dingin yang
melebur jadi kawan
Tiada selimut di atas
mimpi dalam tidur
Tak terdengar suara
dengkuran halus jua
Di dalam sebuah ruang
kelas
Tirai kaca jendela aku
singkap lebar-lebar
Kujumpai ratusan titik
embun pada kaca
Hujan segera aku sapa dalam
belaian halus
Hamparan padang rumput
aku ratapi di sini
Tempatku menepikan cerita
pada murid kesayanganku
Seorang gadis pertama
yang hadir dalam pelukan hujan
Pula dalam
berangkai-rangkai cerita indahku
Saat ini telah diselimuti
jutaan embun dari hujan
Saat langit sedang
melukiskan wajah kelabu
Matahari enggan menyapa
dengan kehangatannya
Burung-burung Manyar pula
tak sudi bernyanyi
Ingatan aku putar ratusan
derajat
Mengerahkan upaya mencari
sisa-sisa kenangan
Lalu yang kutemui cukup
sebatas kehadiran tiga gadis lainnya
Usai murid kesayanganku
hadir sebagai sahabat baik
Tiga gadis yang aku
maksud tadi
Merupakan tiga dara
sepantaranku
Aku mengagumi mereka
karena kecantikan parasnya
Lengkap dengan senyum
yang terlukis manis
Hari yang cerah seperti
ucapan para kurcaci dulu
Telah pergi berlalu
meninggalkan jiwa yang sunyi
Itu memang benar, sahabat
Tetapi aku justru
menampak sisi lain hujan dalam jutaan detik
Tiga orang gadis muncul
dari balik hujan
Menyapa dan menghangatkan penjuru ruang hati
Yang selalu datang dalam pelukan hujan
Lalu aku juluki mereka gadis dalam pelukan hujan
Mobil melaju perlahan tatkala hujan terlihat telah mereda di bawah langit yang mulai terang lagi. Kaca jendela supir aku buka agak lebar demi mencicipi tiupan angin dan angin melambai-lambai kencang ketika aku menyibak kaca ini. Perjalanan terus aku lanjutkan menuju Kota Haarlem kendati cuaca seperti semula kembali datang tak sampai satu jam berselang. "Allahu Akbar!!!" Aku memekik keras tatkala menampak guratan petir menyalak keras di depan kaca mobil sebelum hujan deras kembali mengguyur. "Aaahhh!!!" Stevie turut memekik keras sampai membuat Gloria harus ikhlas dipeluk Stevie. Baru kali ini keramaian merundungi mobil.
Alhasil aku harus kembali memperlambat laju mobil begitu menampak revolusi drastis pada cuaca negeri Belanda dan harus berhenti total kala tangan seorang peternak menghentikanku di tengah jalan. Kulihat ke arah padang rumput, rupanya terdapat sejumlah pemuda berupaya sungguh-sungguh menyeret rombongan hewan ternak untuk segera berlindung di peternakan. Empat gadis yang sempat terkejut tadi tiba-tiba berubah tenang karena kehadiran hewan-hewan ternak di depan pelupuk matanya walau masih memendam rasa khawatir dalam-dalam akan semakin gelapnya payung langit sore.
Peternakan semakin lama semakin sukar dijamah ujung pelupuk mata lantaran telah digantikan oleh lalu-lalang sejumlah kendaraan besar. Di depan mobil kini terlihat serangkai truk trailer pengaduk semen yang mengundang rasa penasaran Abang. "Truk molen di Indonesia pasti yang pendek cuma punya roda tiga biji. Tapi di sini, aku baru pertama kali lihat ada truk molen gandeng." Ungkapnya polos tanpa merasa memikul beban berat. Kuanggukan batok kepala pertanda setuju dengan pendapat Abang.
"Welkom naar Haarlem." (Selamat datang di Haarlem). Sebidang papan plang lalu-lintas dalam Bahasa Belanda membentang lebar di sisi jalan menyadarkanku bila saat ini sudah menyambangi Kota Haarlem dengan guratan raut langit yang sama. Ya Allah, pantas saja lalu-lalang kendaraan menjadi lebih ramai dari jalanan sepanjang Provinsi Noord Brabant tadi. Aku hanya tersenyum-senyum sendiri menampak keberhasilanku menembus tangisan langit bersama tiga pemuda beserta empat gadis dalam pelukan hujan tadi dan begitu tiba di restoran, kuajak mereka menghangatkan diri. Empat gadis berparas ayu tadi sekarang merasa lebih hangat ketika dipeluk hujan...
Terima kasih untuk hari yang indah, sahabat-sahabat...
Tertulis, kisah indah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan.
Bandung, 2 Oktober 2016
Pukul 17.20 WIB
- Herr Aldi Van Yogya -
Menyapa dan menghangatkan penjuru ruang hati
Yang selalu datang dalam pelukan hujan
Lalu aku juluki mereka gadis dalam pelukan hujan
Mobil melaju perlahan tatkala hujan terlihat telah mereda di bawah langit yang mulai terang lagi. Kaca jendela supir aku buka agak lebar demi mencicipi tiupan angin dan angin melambai-lambai kencang ketika aku menyibak kaca ini. Perjalanan terus aku lanjutkan menuju Kota Haarlem kendati cuaca seperti semula kembali datang tak sampai satu jam berselang. "Allahu Akbar!!!" Aku memekik keras tatkala menampak guratan petir menyalak keras di depan kaca mobil sebelum hujan deras kembali mengguyur. "Aaahhh!!!" Stevie turut memekik keras sampai membuat Gloria harus ikhlas dipeluk Stevie. Baru kali ini keramaian merundungi mobil.
Alhasil aku harus kembali memperlambat laju mobil begitu menampak revolusi drastis pada cuaca negeri Belanda dan harus berhenti total kala tangan seorang peternak menghentikanku di tengah jalan. Kulihat ke arah padang rumput, rupanya terdapat sejumlah pemuda berupaya sungguh-sungguh menyeret rombongan hewan ternak untuk segera berlindung di peternakan. Empat gadis yang sempat terkejut tadi tiba-tiba berubah tenang karena kehadiran hewan-hewan ternak di depan pelupuk matanya walau masih memendam rasa khawatir dalam-dalam akan semakin gelapnya payung langit sore.
Peternakan semakin lama semakin sukar dijamah ujung pelupuk mata lantaran telah digantikan oleh lalu-lalang sejumlah kendaraan besar. Di depan mobil kini terlihat serangkai truk trailer pengaduk semen yang mengundang rasa penasaran Abang. "Truk molen di Indonesia pasti yang pendek cuma punya roda tiga biji. Tapi di sini, aku baru pertama kali lihat ada truk molen gandeng." Ungkapnya polos tanpa merasa memikul beban berat. Kuanggukan batok kepala pertanda setuju dengan pendapat Abang.
"Welkom naar Haarlem." (Selamat datang di Haarlem). Sebidang papan plang lalu-lintas dalam Bahasa Belanda membentang lebar di sisi jalan menyadarkanku bila saat ini sudah menyambangi Kota Haarlem dengan guratan raut langit yang sama. Ya Allah, pantas saja lalu-lalang kendaraan menjadi lebih ramai dari jalanan sepanjang Provinsi Noord Brabant tadi. Aku hanya tersenyum-senyum sendiri menampak keberhasilanku menembus tangisan langit bersama tiga pemuda beserta empat gadis dalam pelukan hujan tadi dan begitu tiba di restoran, kuajak mereka menghangatkan diri. Empat gadis berparas ayu tadi sekarang merasa lebih hangat ketika dipeluk hujan...
Terima kasih untuk hari yang indah, sahabat-sahabat...
Tertulis, kisah indah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan.
Bandung, 2 Oktober 2016
Pukul 17.20 WIB
- Herr Aldi Van Yogya -
Komentar
Posting Komentar