War is not the answer

 
Sumber gambar: HD Wallpaper Backgrounds

Kisah dalam lembaran yang entah keberapa aku tuliskan perlahan-lahan tepat ketika relung hatiku menangkap secarik hal yang jauh berada di luar dugaanku belakangan ini. Semula, aku memang tak berniat menuliskan kisah ini karena sanubari relung hatiku telah menyiapkan rencana akan sebuah kisah lainnya yang akan ditulis dua hari lagi. Tetapi apa boleh buat, relung hatiku memang bisa berbicara pada seluruh palung jiwa-ragaku malam ini entah dengan ditemani rembulan purnama atau tidak. Namun terlepas dari itu, kubiarkan ruas jemariku menorehkan kisah tentang pergulatan ruang batin selama setengah perjalanan Bulan Oktober ini.

"War is not the answer." Sepotong kalimat dalam Bahasa Inggris ini aku telan bulat-bulat dari setangkup novel yang mematut judul "Rantau 1 Muara" sebagai buku ketiga dari trilogi "Negeri 5 Menara" hasil karangan Ahmad Fuadi. Perlu kutepikan, "War is not the answer" merupakan kalimat yang lantang disuarakan oleh dua orang pendemonstrasi teristiqamah di dunia, mendiang Connie Piccioto dan William Thomas pada Lafayatte Square, tepat di depan Gedung Putih tempat kediaman resmi seluruh Presiden Amerika Serikat sejak tahun 1981 hingga 2016, ketika Connie Piccioto menghembuskan nafas terakhirnya. Namun mesti diketahui pula, Connie dan William dijumpai Alif (tokoh utama Novel "Rantau 1 Muara") pada kisaran relung waktu tahun 1999-2000 tatkala dirinya tengah menempuh studi S2 di Negeri Paman Sam. 

Masih bersama "Rantau 1 Muara," lalu apa yang sejatinya hendak ditepikan Connie dan William? Tentulah himbauan pada Pemerintah AS agar dirinya sendiri tak semena-mena melancarkan peperangan sebagai jawaban akan solusi suatu permasalahan. Ya, Connie dan William sangat benar. Peperangan dalam bagaimanapun bentuk jua memang takkan pernah menepikan jawaban terbaik akan suatu prahara baik itu perang amunisi senjata atau peperangan relung hati. Yang kedua masih sering aku kecamukkan kendati aku tahu itu justru memperkacau hati. Untuk apa bergulat dalam ruang batin? Adakah jawaban terbaik dari pergulatan batin ini? 

Sayang ku tak dapat berjumpa dengan Stevie, Gloria, Maureen, Si gadis bunga, Akbar, Ariq serta Abang saat ini dan ketika kuhubungi mereka, tiada jawaban berarti pula yang aku dapatkan. Jadilah aku membiarkan diriku sendiri larut pada serangkai kesendirian malam ini. Andai saja mereka bertujuh dapat hadir menemani palung jiwa malamku saat ini, pastilah prahara palung hati akan segera kutepikan pada mereka di tempat ini juga. 

                                                                          ****

Masih ingat pasti saat aku berkeluh kesah pada Ustad Harsono, salah seorang pemuka agama yang turut mengemban tugas sebagai seorang Guru Agama di sekolah tempatku mengajar Bahasa Jerman untuk Stevie dan kawan-kawan sebayanya. Masalah ini memang sudah sangat lama terjadi kuakui, tetapi untuk sesekali dirinya masih sudi singgah pada pintu hatiku. Apa masalah hati yang kukeluhkan pada Ustad Harsono? Jawabannya, tentu masalah asmaraku dengan si gadis bunga yang pernah diinterupsi sampai masalah kerusakan laptop kesayanganku ketika masih remaja dulu. Apa, masalah kerusakan laptop dikeluhkan pada Ustad Harsono? Kalian boleh tertawa lepas menampak aku mencurahkan masalah laptop pada Ustad Harsono karena kontrasnya dua hal tersebut, namun disebabkan masalah kehilanganlah aku sering galau bagai kehilangan seorang belahan jiwa. 

Secara detail, aku menceritakan kisah pahit ini kepada Ustad Harsono dengan dimulai dari bagian ketika adik perempuanku asyik menikmati tayangan sinema elektronik (sinetron) di layar monitor laptopku sambil menikmati segelas susu segar. Lalu tanpa sengaja tangannya menumpahkan susu itu ke keyboard laptop sebelum aku mematikannya agar ditelungkupkan demi mengeluarkan air susu dari dalamnya. Komputer jinjing itu aku padamkan sampai sore hari tepat saat layar sudah mati total. Tak bisa dinyalakan dan sebagai risikonya, ayahku harus membawa laptop berwarna hitam legam tersebut ke teknisi ahli di sebuah pusat perbelanjaan elektronik tak jauh dari rumah. 

Kurang dari satu minggu ditaruh di meja teknisi, aku menyambangi markasnya bersama ayah dan adik perempuanku. Dari ucapan sang teknisi aku ketahui, mesin pembangkit cahaya laptop tergenang susu dalam kadar sangat banyak dan sulit tuk dihidupkan lagi seperti sedia kala. Namun yang sedikit bisa menghiburku adalah upaya di-recover-nya data laptop oleh para teknisi sebisa mungkin. Lalu kubiarkan tim teknisi bekerja sekuat tenaga mereka sampai di pertengahan minggu dalam kecepatan tingkat dewa ini, kuterima secarik berita dari ayahku. Laptop itu rupanya sudah tak bisa dihidupkan lagi serta data-data yang terkandung di dalamnya sudah akan hilang untuk selama-lamanya. Selanjutnya, dari situlah bahkan dari sebelumnya aku telah kalut seorang diri dalam hati. 

Apa yang aku kaluti? Kalut pada siapa pula? Lebih dari satu. Pertama, aku jelas kalut pada diri sendiri karena tak membuat salinan data dalam laptop sampai membiarkan data-data itu hilang selamanya. Kedua, ingin rasanya aku kalut pada adik perempuanku sekuat tenaga. Tetapi andai aku boleh menampak lagi tentang berapa kisaran usianya, ia hanyalah seorang anak-anak usia sekolah pula seorang gadis kecil. Ia masih memendam rasa ingin tahu pada kisaran tinggi serta ia turut mengagumi sejumlah kisah drama kehidupan pada layar kaca televisi. Inginku kalut padanya, tetapi iba dalam hati ini terlanjur membelenggu. Terakhir, tentulah aku kalut pada SINETRON favorit adikku. 

Tayangan tiada kualitas baik ini sepengetahuanku telah merajai layar kaca televisi Indonesia sejak televisi swasta terlahir di era 1990-an atau menjelang reformasi 1998. Semakin teknologi pesat berkembang, semakin banyak sinetron yang menjamur tanpa menjunjung kualitas baik dan hal ini selalu aku hasut secara terang-terangan sambil ku melampiaskan emosi pula kata-kata agak kurang berkenan. Pernah ku memaki sebuah sinetron dengan terang-terangan di hadapan ayahku yang juga ikut kalut karena ulahku ini. Jelas konten acara televisi berada jauh di luar kendali diriku, tetapi bagiku, SINETRON-LAH YANG TELAH MERUSAK LAPTOPKU SECARA TIDAK LANGSUNG. BUKAN AKU MENYALAHKAN ACARA TELEVISI, TETAPI HAL YANG AKU RASAKAN MEMANG DEMIKIAN. 

                                                                           ****

"Kehilangan memang merupakan hal paling memilukan yang ada di dunia, tetapi kehilangan sejatinya takkan pernah jadi hal paling memilukan andai kita tak pernah merasa memiliki. Sebaliknyalah kita justru harus merasa dimiliki oleh Sang Pencipta selama kita hanya bertugas mengelola seluruh isi bumi pula diri kita dan suatu waktu nanti, segala titipan ini akan diambil kembali oleh Allah SWT sekehendaknya." Tutup Ustad Harsono di ujung pembicaraan saat hari telah beranjak memasuki waktu ashar. Aku menepikan kebiasaan lama ruang hatiku kepada Ustad Harsono sebelum beliau berbicara, "Belajarlah pada tukang parkir, Herr Aldi." 

Titah tentang belajar pada tukang parkir sudah pernah aku tepikan di sini, namun aku rasa sekiranya hal pendamaian hati yang harus aku lakukan. War is not the answer, kalimat itu yang dapat kugunakan untuk lebih mendamaikan lubuk hati terdalamku malam ini. 

Tertulis, kisah indah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan. 

Bandung, 18 Oktober 2016
Pukul 20.48 WIB
- Herr Aldi Van Yogya -

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi