Jarak tiga kota

 

Yogyakarta pun luruh jua oleh siraman air hujan yang menari-nari dengan lincah pada tanahnya menciptakan riak-riak kecil seiring dengan nyanyian para serdadu kodok dan jangkrik senja di sekitar pelataran Bandara Internasional Adisucipto tepat ketika seorang guru muda berdiri mantap di bawah sebidang papan petunjuk arah calon penumpang pesawat udara. Dengan langkah pasti sang guru muda menderapkan langkah kakinya menuju ruang tunggu keberangkatan internasional demi mengejar pesawat berjalur penerbangan Yogyakarta-Kuala Lumpur sore hari itu. Keramaian bandara tampak menjadi kesunyian di matanya sore hari itu. 

Wusshh... Mesin pesawat Airbus A320-200 milik Maskapai AirAsia menggerung mantap hanya sesaat setelah lepas landas dari Bandara Adisucipto. Kutampak lagi pemandangan di luar kaca jendela, cukuplah aku tersenyum puas menatap Yogya tepat berada di bawah naungan tudung langit kelabu berselimutkan rintik hujan sore. Angin bersepoi-sepoi sangat kencang menciptakan percikan embun pada kaca jendela pesawat, menghalangi ruang jarak pandang akan sorot kelopak mataku pada Kota Yogya. Aku lirik lagi ujung ransel hitam legamku, dari baliknya timbul dua lembar tiket pesawat untuk penerbangan Yogyakarta-Kuala Lumpur bersama AirAsia serta Kuala Lumpur-London bersama Malaysia Airlines. 

Malaysia Airlines? Ya, Malaysia Airlines si maskapai negara tetangga yang aku pilih sebagai teman dalam perjalanan jarak tiga kota tanpa alasan selain karena sulitnya menemukan akses langsung dari Yogya ke London dengan maskapai negara sendiri. Adapun, penerbangan langsung yang masih harus aku sambung dari Yogyakarta ke Jakarta. Itu sama saja, Herr Aldi. Sanggahku pada diri sendiri tatkala pesawat telah menjauh dari Yogya. Beres soal tiket pesawat, secarik kertas kecil aku comot dari dasar saku baju agar aku bisa mengeja isinya satu per satu dengan jelas diawali dari Langit Yogya, awang-awang Provinsi Jawa Tengah, bubungan Laut Jawa, Selat Malaka sampai terakhir mendarat di Kuala Lumpur. Ragaku sudah jelas membumbung tinggi bersama pesawat, namun angan-anganku tetap beterbangan tak tentu arah terlebih lagi saat membaca surat alias secarik kertas kecil yang aku maksud tadi. Apa maksud surat hasil tulisan tangan seorang gadis tersebut?

Begitu mencecah lantai Bandara Internasional Kuala Lumpur, aku menampak suasana yang sama dengan Bandara Adisucipto tadi sore: Sunyi bersalut ramai. Kuakui hal itu sangat benar terjadi lantaran aku kesulitan mencari-cari seorang gadis yang konon akan bersamaan menempuh penerbangan Kuala Lumpur-London malam ini. Jauh-jauh hari ia menepikan padaku sebutir janji agar saling bersua di antara keramaian Bandara Kuala Lumpur dan malam ini, tekad telah aku bulatkan untuk menangkap garis wajahnya. Tetapi apa boleh buat usai mencari dirinya laksana mencari jarum di antara padang rumput, gadis tersebut tak kunjung hinggap jua. Kemana ia pergi? Di titik mana lagi kuharus mencari dirinya? Aku gamang, tiada sesosok manusia pun dapat diajak bicara mengenai keberadaan si gadis cantik sasaranku itu. 

"Ketemu juga akhirnya, Herr Aldi!!!" Telingaku berdiri tegak mendengar seorang gadis memekik kencang membelah keramaian malam di bandara. Mataku yang sudah hampir sayu kini harus kembali nyalang lebar terlebih lagi saat menangkap raut wajah gadis yang aku incar sejak mendarat di Kuala Lumpur. "Hi Gloria!!! Alhamdulillah kita ketemu lagi di sini!!!" Pekikku tak kalah bahagia dengan Gloria yang berlari kencang sambil menggendong segepok tas ransel warna-warni ditambah headset hitam legam pada batang lehernya. Tatapan mataku terarah pada kepalanya, sebuah kupluk abu-abu turut bergoyang kencang membuntuti goyangan kepala berambut pendek selehernya. Telapak tangan kanan aku ayunkan ke udara mengajaknya menunaikan salam tos. Ia pun tersenyum bahagia tanpa beban begitu menjumpai aku di gerbang masuk utama Negeri Jiran ini. 

Kemudian aku mengajak ia berjalan lebih jauh lagi. 

"Ehm. Penerbangan dari Yogya ke KL gimana herr, lancar?" Serobotnya dalam perjalanan ke arah Gerbang C17. "Yeah, Alhamdulillah perjalanan Yogya-KL naik AirAsia lancar. Terbang KL-London naik Malaysia Airlines harus lancar juga dong." Antara sadar dan tidak aku menyeloroh sendiri sampai mengundang tawa lebar Gloria serta beberapa orang di sekitarnya terheran-heran melihat kehebohan Gloria. Enggan tertinggal pesawat menjelang tengah malam di negeri orang, aku dan Gloria mempercepat langkah menuju Gerbang C17 tempat Pesawat Airbus A380-800 sang penguasa langit menanti kami berdua lalu setelah sampai di sana, kudapati sejumlah manusia tengah asyik menanti keberangkatan akan serangkai perjalanan jauh bersama pesawat A380. Aku menjadi tidak sabar melihat ini sampai dadaku mesti goyah kala mendengar serangkai pengumuman dari lubang pengeras suara. 

"Ladies and gentle men, for all of the Malaysia Airlines MH 2's passangger to London, the flight will be delayed for 50 minutes since the estimated schedule at 23.15 o'clock to 00.05's clock caused of the technical problems and the unfriendly weather. Sorry for your inconvenience and thank you for your attention." Pengumuman itu terulang dengan rangkaian kata yang sama sedetik kemudian, lalu raut wajah Gloria melukiskan perasaan serupa denganku. Sambil berkeluh kesah ia menyambangi seorang pramugara berjas abu-abu menanyakan masalah apa yang sebenarnya terjadi. Jawaban pramugara asli Melayu tersebut hanya sebelas-dua belas dengan pengumuman tadi. 

Terlukis jelas kegelisahan Gloria selepas mendengarkan penjelasan serupa dari dua sumber yang berbeda. Untuk menghapus kegelisahannya sedikit, aku mengajak Gloria bersua ke sebuah lounge penumpang dari Malaysia Airlines di bandara untuk menyeduh sekadar minuman hangat ditemani makanan-makanan ringan. Secangkir cokelat panas diseruput Gloria ketika kami baru saja menduduki salah satu kursi lounge dan tanpa sadar, aku turut melampiaskan uneg-unegku pada gadis cantik ini. 

"Glor, akhir-akhir ini aku suka kurang bersemangat waktu kamu ada di dekat aku padahal kamu itu mukanya cantik banget terus suka bikin aku selalu semangat. Apa kamu udah punya pacar?" Tanyaku penuh selidik. 

"Buahahaha, kenapa mesti gitu Herr Aldi? Sebenarnya lebih milih siapa sih?" Ia justru balik bertanya.

"Sebenarnya si gadis bunga. Tapi akhir-akhir ini, aku sering ngerasa patah hati sama dia juga kamu Glor." Aku menjawab jujur. 

Gloria lalu mengulum senyum manisnya dan segera berbicara dalam-dalam padaku. "Jelaslah aku belum punya pacar, nikah aja enggak pernah kepikiran. Ada juga itu gosip doang herr." Aku tersenyum puas mendengar jawaban Gloria dilanjut dengan menyeruput segelas cokelat panas seperti Gloria. Jarak tiga kota ialah setentang garis yang justru layak dijadikan tempat curhat akan kegundahan relung hati, lebih-lebih lagi saat aku sadar bila perjalanan jauh ini merupakan perjalanan melintasi tiga kota di bawah kekuasaan raja-ratu. Sungguh merupakan serangkai perjalanan terunik yang pernah tergariskan mantap sepanjang hidupku di alam dunia dewasa ini.  

Sambil menikmati malam yang sedang beranjak larut dalam penantian pesawat menuju London, diam-diam anganku teringat pada setengah perjalanan Bulan Oktober yang akan selalu lahir sebagai sebuah cerita persis seperti Bulan-bulan Oktober di tahun sebelumnya. Sambil menampak guratan garis wajah Gloria, aku mengingat lagi momen-momen pahit yang mendorongku agar uring-uringan pula ketar-ketir seorang diri lantaran banyaknya ulangan harian yang datang bertubi-tubi. Aku pun galau menghadapi semua ini, padahal seharusnya aku hanya perlu mengambil nafas tenang sambil menikmati akan segala yang terjadi laksana air sungai yang mengalir dengan sangat tenang membuntuti arus kemana air tersebut akan bermuara dalam segenap ketenangan. 

Hari Selasa itu, semestinya Formatif Georgafi aku tunaikan bersama kawan-kawan pula si gadis bunga dan karena pelajaran terletak pada jam tanggung, ini membuat Pak Iskandar sang guru mesti menelurkan dua opsi: Tetap ditunaikan hari ini atau diundur sampai Hari Jumat. Entah apa yang tertuturkan dalam bunyi relung jiwaku, tetapi sebagian besar makhluk dalam ruang kelas mengutarakan niatnya agar ulangan harian ditunaikan Hari Jumat. Alhasil, formatif mengalami kemunduran empat hari sampai Jumat. Kulepaskan ulangan Akuntansi, momok keduaku selepas Matematika tertunaikan Hari Rabu dengan lancar kendati aku masih sering khawatir akan kesulitan di dalamnya. Rabu Sore adalah titik ketenangan jiwaku di tengah minggu ketar-ketir nan krisis ini. 

Kamis kubiarkan berlalu sambil membawa ketenangan bathin sesaat di tengah minggu ketar-ketir agar berlanjut dengan dengan Formatif Geografi pula Bahasa Indonesia di Hari Jumat. Menampak kehadiran mereka, relung jiwaku bagai telah terhoyak habis dihajar angin topan yang tak pernah memahami kata ampun. Inilah saat dimana kuharus mencoba lebih-lebih bersabar sampai di suatu senja dalam Hari Jumat, saat-saat krisis hampir sepanjang minggu ini berlalu laksana ditelan angin senja dari ufuk Barat. Alhamdulillah, Jazakumullah Hairan Katsiiran Ya Allah...

                                                                        *****

Cerita menemui ujungnya, kualihkan sorot kelopak mata pada Gloria yang sedari tadi belum juga menghabiskan cokelat panasnya. Ia justru sibuk mencerabut seluruh isi telepon selulernya dan tak segan aku bertanya "Ada kabar apa lagi dari Si gadis bunga?" "Biasa herr, pameran masih tetap jalan kayak biasanya. Tapi satu lagi yang paling penting. Stevie murid Herr Aldi itu, kata si gadis bunga malam ini waktu London sakit demamnya tambah tinggi sekalian muntah-muntah banyak persis laporan ibunya. Terus si gadis bunga juga bilang, tolong usahain kita berdua sampe di London secepat mungkin soalnya ada rencana Stevie dibawa ke rumah sakit besok pagi." Ucapan panjang-lebar Gloria sepintas menyulut kekhawatiran di palung jiwaku mengingat Stevie mesti jatuh sakit jauh-jauh di negeri orang. Pula rasa rinduku akan kehadiran si gadis bunga.

Namun bilaku menarik semua otot pikiran kembali, hanya dalam jangka waktu tak sampai sebulan ini aku rupanya telah menorehkan kisah paling ekstrem yang pernah terjadi sepanjang hayat. Dulu, aku menyambangi Bandara Kuala Lumpur bersama Gloria demi melepas si gadis bunga melenggang ke London sebatang kara, lalu kembali pulang ke Bandung meratapi televisi kuno di rumah, kemudian berangkat ke Yogya dan menjelang tengah malam ini aku kembali ke tempat yang sama pula sosok manusia yang sama untuk secarik tujuan: Melepas rindu pada si gadis bunga di Negeri Ratu Elizabeth jua menampak rasa sakit pada raga Stevie. Aku kembali gamang sesaat sebelum mendapati seorang gadis kecil dalam kisaran usia antara 9-10 tahun. Hampir sama dengan Stevie dalam usia 13 tahun dan artinya, gadis kecil berwajah makhluk Kaukasoid itu akan segera beranjak remaja.

Ingin kusapa gadis kecil tersebut, namun bathinku menelurkan teriakan kecil agar aku tak menyapanya lantaran aku tak pernah mengenal gadis tersebut. Alhasil kubiarkan ia menikmati dunianya sendiri dan aku tetap menikmati suasana bersama Gloria. Tetapi, perlu aku tepikan jua, gadis kecil tersebut tampak berangkat seorang diri tiada pendampingan akan kedua orang tuanya. Ia terlihat tenang-tenang saja sambil mengenakan kaos merah muda ditambah rok biru donker selutut. Tak kedinginankah dirinya? Sudahkah ia merasakan kehangatan pada jiwa-raganya? Walau tak kenal aku sibuk bertanya-tanya dalam ruang hati mengenai nasib gadis kecil tersebut.

Panggilan boarding bagi para penumpang Pesawat MH 2 tujuan London Heathrow berkumandang jua di tiap penjuru relung bandara. Dengan terburu-buru, Gloria meneguk cokelat panasnya yang sudah mulai mengalami pendinginan hebat dan bersamanya-lah aku melangkah pasti menuju pintu garbarata tadi. Kulihat lagi ke belakang, rupanya gadis kecil pemakai kaos merah muda tadi mengekor di belakang saat ruas jemarinya mencengkram boneka Beruang kecil seperti anak perempuan lazimnya. Lalu-lintas garbarata malam itu relatif sangat lengang meski pesawat harus menampung banyak penumpang barangkali hingga ratusan tubuh. Ya, memang sudah ratusan tubuh menguasai kursi pesawat sembari menanti pengumuman pertama oleh para awak kabin pesawat.

Empat buah mesin pesawat Airbus A380-800 berputar-putar mantap di ujung garis landasan dengan agenda menanti izin petugas menara pengawas udara Kuala Lumpur. Sabuk pengaman aku kencangkan demikian dengan Gloria yang matanya sudah mulai sayu dan sejurus kemudian, Kapten Alief menekan pedal gas dalam-dalam menggilas permukaan landasan untuk selanjutnya mengangkasa selama 15 jam dari Kuala Lumpur ke London. Ragaku pun bagai melayang lepas seusai Kapten Alief dibantu sang first officer mendorong pesawat lepas landas. Pekat malam kubiarkan tertembus oleh dengkuran mesin pesawat mengiringi sebuah mimpi yang sempurna.

Namun, rupanya hingga 30 menit pertama setelah lepas landas, belum semua penumpang terlelap menurut pandangan gelapku. Sebagian di antara mereka tak ragu menerima porsi santap malam hasil sajian para awak kabin sedang aku hanya mendapat sejumlah makanan ringan yang kemudian aku bagi pada Gloria. Dalam kepekatan tengah malam kutampak senyum sayunya mengembang sempurna usai menerima berbutir-butir kacang dari ruas jemari tanganku. Batang leher lalu aku tolehkan pada barisan kursi sebelah kiri dan aku menjumpai gadis bule di bandara tadi. Tiada yang berubah jauh dari penampilannya, hanya saja saat ini aku menampak ia telah melepas rok selutut yang ia kenakan tadi dengan konsekuensi kedua pahanya terlihat jelas. Ia pun tak risih celana dalamnya terlihat sangat jelas. Tetapi perlu kutepikan, aku tak mengantongi maksud berbicara tentang hal jorok atau hal-hal kurang berkenan lainnya sebab melalui sorot kelopak mata sendiri hal demikian tertampak. Aku pun tak mengantongi kendali tuk mengontrol gaya baju si gadis pula semua orang.

Sekali lagi, pekat malam kubiarkan mengiringi mimpi yang sempurna dengan sepenuh hati.

                                                                         *****

Bolehlah aku mengulum senyum penuh kepuasan sambil menjamah penuh belasan buah gambar foto akan kehadiran sinar Matahari di ufuk timur dengan malu-malu. Inilah pemandangan elok juga paling menawan yang pernah tercerabut oleh sorot bola mataku selama aku rajin bepergian dengan menunggangi pesawat terbang. Embun pagi tak ketinggalan mengguratkan lukisan indah di kaca lonjong pesawat membuatku lupa akan derita Stevie. Barangkali ia turut mengulum senyum sewaktu menampak kehadiran fajar menembus lukisan embun di kaca jendela. Tetapi dasar hati yang terdalam tetaplah menjerit karena derita yang dirasa oleh dirinya. Gloria turut mengulum senyum manis begitu menampak fajar dalam sorot kelopak mata indahnya yang merasa malu-malu begitu aku puji kecantikan berbalut kemanisannya.

Alhamdulillah, masih dalam naungan tudung langit fajar Kapten Alief mendaratkan pesawat sesuai jadwal di tepi landasan Bandara Internasional Heathrow London. Pemandangan awan telah berganti dengan pemandangan hiruk-pikuk sarang burung besi raksasa sebagaimana suasana yang tertampak jelas dari kabin pesawat. Lampu utamanya telah dihidupkan awak pesawat menyalangkan sorot mata para penumpang mencakup gadis kecil di sebelah aku dan Gloria. Sejak sebelum mendarat, ia telah memakai lagi rok selututnya jua mengencangkan sabuk pengaman bersama penumpang lain di relung kabin. "Ladies and gentle men, welcome to London Heathrow International Airport and  now we has been landing at 05.55 o'clock by the local time. Please use your seat belt and don't activated your hand phone until this plane was stopped with perfectly. Captain Alief Hamid Al-Kareem and his flight crew wants to say thank you for choose Malaysia Airlines as your friend during the joruney. Thank you for your attention, good morning." Tutup pramugari di ujung pengumuman.

Begitu mencecah lantai Bandara Heathrow, keramaian makhluk Kaukasoid secara spontan menyambut kedatanganku juga Gloria. Seorang petugas imigrasi yang mengantongi kulit hitam seperti Orang Afrika hanya menggulung senyum puas usai membubuhkan stempel pada halaman pasporku disusul paspor Gloria. Bagasi tak lupa kami ambil sebelum meneruskan perjalanan menuju rumah tempat Stevie dirawat. Sudah jelas bukan rumah sakit, melainkan sebidang kamar apartemen persis di tengah keramaian Kota London. Alhamdulillah, perjalanan membelah jalanan Kota London ditemani bus double decker merah berlangsung dengan sangat lancar. Sesekali kawanan Burung Merpati beterbangan rendah di langit London.

Usai mengetuk pintu kamar yang aku tuju bersama Gloria, senyum Stevie mengembang sangat lebar terlebih lagi selepas ibunya membuka pintu sangat lebar. Tak ragu aku melangkah mantap masuk kamar agar dapat membelai rambut halus Stevie. "Owwwhhhh... Ich vermisse Sie, Herr Aldi..." (Aku merindukan anda, Herr Aldi...) Stevie memekik girang setelah aku duduk di sampingnya sambil membelai rambut panjang penambah kecantikan parasnya. Aaahhh, Herr Aldi, mengapa engkau sangat gemar merangkai tulisan tentang kecantikan para gadis? Apa yang menyebabkan engkau mengundang rasa tersipu malu-malu pada diri setiap gadis di sekitarmu? Demikian bunyi sanggahan pada diriku sendiri lepas Stevie tersenyum malu-malu. Rico, kakak laki-laki Stevie secara iseng bertanya padaku mengenai sosok pilot yang menerbangkan aku dan Gloria dari Kuala Lumpur.

Foto Kapten Alief Hamid Al-Kareem aku tunjukkan pada makhluk seisi kamar. Stevie melonjak dari kasurnya bagai ia lupa pada derita penyakitnya sambil melontarkan celetukan, "Herr, sebelum turun dari pesawat sempat minta nomor telepon Whatsapp atau kontak Line-nya Kapten Alief enggak? Kalo ada, aku mau minta terus suruh dia tengokin aku ke sini. Nanti kalo udah sembuh, aku mau jalan bareng sama Kapten Alief..." Ucapan polosnya mengundang gelak tawaku disusul Gloria juga Rico dan Ibunda Stevie. Sungguh sangat ajaib, begitu aku datang Stevie dapat melupakan penyakitnya sejenak sambil terus berguyon lucu. Tubuh kurus berbalut kaos biru muda dengan celana legging abu-abu selutut berguncang ria mengingat ketampanan usia muda Kapten Alief, 27 tahun.

Beres berguyon ria dengan Stevie, pintu teras belakang aku sibak dan buku agenda hitam segera aku buka dengan tujuan menorehkan rangkaian kata-kata di dalamnya:

Perjalanan jarak tiga kota yang telah aku tempuh selama pekat malam datang mengamalkan titah semesta tuk hadir sebagai tudung langit gelap akan lingkar Bumi telah mengarahkanku pada makna akan serangkai perjalanan melintas tiga kota tempat para raja dan ratu mentasbihkan titah bersalut takhta mereka, berjalan melewati punggung Bumi dan payung awan serta mengenali ragam sosok manusia. Tak hanya para manusia, hujan pun turut menjadi saksi akan kisahku bersama para gadis yang selalu hadir tepat di samping jiwa-ragaku. Merekalah kawan-kawan sejati dalam merengkuh kesunyian pagi, mendekap keindahan muka Bumi hingga bersama-sama merangkul mimpi walau tak semua dari mereka dapat hadir menemaniku untuk menunaikan kesemuanya. 

Nun jauh di luar ambang kesadaranku, serangkai cerita ternyata dapat hadir sebagai obat akan setangkup derita pada diri seseorang. Hal itu kurasakan benar adanya saat ini. Semula, Stevie harus merintih sambil menahan derita sakitnya behari-hari di negeri orang tetapi begitu payung langit tersingkap demi membuka celah lebar-lebar agar aku bisa menyambangi Daratan Inggris bersama Gloria, kutampak dari kelopak mata bila derita telah menguap sejenak dari palung jiwanya. Terbukti saat ia melepaskan gurauan fajar pemecah sunyi yang lahir saat Matahari memandikan rumput dengan sinar hangatnya. Sekarang hanya syukur yang perlu kupanjatkan pada Allah SWT di tengah waktu aku menanti kehadiran si gadis bunga. Kuharap ia dapat hadir secepat angin berlari membelah langit pagi meniup sekuntum bunga terindah seluas ladang kehidupan terbentang. 

Pena aku katupkan sebelum kembali terbenam pada saku baju dan segera aku kembali masuk. Dengan berbaik hati di bawah kerendahan paling tenang, Ibunda Stevie telah menyuguhkan santap pagi untuk seluruh manusia dalam ruangan. Perasaanku hanya bisa mengembang sempurna saat menikmati santapan lezat tepat di sebelah Stevie. Lalu, Gloria mencomot telepon seluler dan segera membacakan isinya padaku. "Buat Herr Aldi sama Gloria, Alhamdulillah kalo perjalanan ke London lancar banget. Hari ini semua peserta pameran komik dikasih acara bebas, terserah pada mau kemana. Insha Allah hari ini aku datang ke tempat Stevie." Datang ke London, menjenguk Stevie ditemani si gadis bunga pula. Mau minta apa lagi?

Atau inikah sebuah kebetulan yang akan selalu lahir dalam derita setiap anak manusia? Bercampur-tangankah Allah SWT dalam melukisakan seluruh kisah sepanjang hidupku? Ingin kutanyakan lagi pada bentangan jarak tiga kota, tetapi pagi aku sudah sampai di ujung jarak mereka...

Tertulis, kisah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan.

Bandung, 15 Oktober 2016
Pukul 07.14 WIB
-Herr Aldi Van Yogya-               

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi