Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2016

Pertama-kedua-ketiga

Gambar
  Sumber gambar:  paper4pc.com Provinsi Gelderland, Belanda di batas langit siang hari.  Kisah ini kuakui memang sudah amat sangat klasik lantaran aku selalu menulis tentang serangkai perjalanan melibas aspal jalanan negeri Belanda dalam satu mobil bersama keenam sahabat-sahabatku tercinta. Waktu yang aku pilih pasti selalu naungan tudung langit senja bersama sinar matahari yang terus terpancar melukiskan keindahan parasnya yang telah tersirat jelas. Cerita tadi kembali terjadi hari ini ketika bulan telah menemukan hari-hari penghujungnya, namun sekarang aku memutuskan pergi dengan mengendarai satu armada truk trailer berpenumpang enam orang sahabat-sahabatku tercinta. Deburan angin aku beri izin agar meniup rambutku bersepoi-sepoi di atas kemudi truk trailer. Di tengah perjalanan dari Kota Düsseldorf, Jerman menuju Rotterdam ini, aku meluangkan waktu barang tiga sampai empat detik demi melihat garis wajah sahabat-sahabatku di samping kanan juga belakang tulang punggungk

Pucuk dicinta ulam pun tiba

Gambar
  Sumber gambar: www.lifehack.org.  Angan kembali aku putar begitu siang memudar karena akan mengundang kegelapan malam pada ruang langit Kota Bandung seusai menuntaskan kewajiban mengajari murid-muridku mendalami lebih jauh makna kata-kata milik salah satu bahasa negara Eropa. Arloji bertali cokelat tua di pergelangan tangan mengabarkan waktu yang telah menunjukkan pukul 18.15 WIB seusai ibadah Shalat Maghrib berjamaah di masjid telah selesai ditunaikan. Alhamdulillah, aku dapat menunaikan shalat berjamaah di awal waktu dan kini waktunya bagiku untuk pulang. Barang-barang tak lupa aku kemasi hanya sesaat sebelum meninggalkan pelataran masjid besar.  Tetapi perhatian sorot mataku terpusat pada sekelabat bayangan di ujung tangga halaman masjid. Mulanya ia duduk membelakangiku, tetapi lama-kelamaan bayangan itu berputar 180 derajat ke arah tubuhku sampai aku dapat melihat sebagian wajah si bayangan. Rasanya aku mengenal bayangan itu dan benar saja, ketika aku sampai tepat di s

Bagai senja tak sampai di tepi garis Selat Sunda

Gambar
                                          J alan raya Den Haag-Amsterdam, ketika sore telah terlukis jelas.  Terulang lagi untuk yang kesekian kalinya, si guru muda asal Indonesia itu mengemudikan mobil VW kuno menggilas aspal jalanan tanah Belanda dari Kota Den Haag di tepi utara menuju Amsterdam agak ke selatan sedikit. Angin sore bertiup-tiup kencang menembus pekatnya kaca jendela ketika lelah mulai mengerubungi diri si guru muda dan sisi kanan-kiri mobil ia ratapi demi mencari tempat beristirahat yang cocok. Rumput-rumput bergoyang bolehlah terhampar sejauh mata memandang, tetapi si guru muda ternyata sudah jemu menjumpai rumput-rumput bergoyang walau selalu tampak bagai karpet alami dan oleh karenanya, si guru muda harus mencari tempat lain untuk merilekskan raganya sejenak.  Lelah mencari tempat beristirahat, aku memutuskan tuk berhenti di pinggir sebuah telaga buatan berpagar padang bunga yang terhampar tak kalah luas dengan padang rumput. Begitu aku merasa cocok men

Doa pada selempang sajadah panjang

Gambar
 Sumber gambar: www.boston.com Malam telah terjamah hujan Petir menyalak-nyalak ganas Angin bertiup melambai-lambai Tiada ampun dalam henti Pada selempang sajadah panjang Aku duduk seorang diri Sajadah panjang ini terkembang Diawali dari kaki buaian hingga tepi kuburan Kuburan seusai hamba bernafas untuk yang terakhir kalinya Inilah dunia, tempat hamba melangkah Tepat di atas sajadah panjang nan suci ini Bersama lantunan doa-doa suci Dalam langkah pada sajadah panjang ini Hamba mendengar secarik interupsi Rezeki telah dicari ke langit Ilmu turut dicari ke dasar laut Di waktu mengukur jalanan seharian Lalu ketika suara adzan telah menghujam daun telinga Hamba tersungkur selalu Walau masih harus bertanya Sudah tersungkurkah hamba? Rezeki bisa hamba cari sampai berjumlah banyak Ilmu bisa hamba cari ke seberang benua Lalu sudahkah kita tersungkur?  Apa hamba mendengar suara adzan? Apa hamba melihat masjid? Apa hamba sudah b

Terang untuk redup

Gambar
Sumber gambar: hdw.eweb4.com   Hari yang cerah pada filosofinya pun dapat luruh jua karena hujan yang selalu datang tanpa menyempatkan diri berhenti sejenak seolah-olah tak peduli pada kata lelah. Mendung telah menggantung pekat di langit ketika si guru muda tetap meratapi hujan pembasah hari bersama dingin sebagai temannya. Ia arahkan pandangannya pada air yang sedang lincah menari di tanah dan sesekali suara kodok turut menginterupsi pertanda mereka bahagia menyambut hujan. Kulihat lagi ke halaman rumah, bunga putih di taman hari ini telah layu karena tak kuat menahan arus gempuran hujan serta layunya bunga putih nan cantik tersebut mengingatkanku pada si gadis bunga ketika dirinya jatuh sakit. Dirinya laksana bunga layu hari itu. Tetapi ingatan segera aku putar dari terang menuju redup.  Seperti biasanya, buku agenda kesayanganku itu tersingkap lagi untuk yang kesekian kalinya. Isi cerita dalam buku itu telah terjamah lagi oleh sepasang mata indah milik si gadis bunga. I

Dengar panggilan jiwa bersama separuh catatan usang

Gambar
Sumber gambar:  http://allfreshwallpaper.blogspot.co.id/2013/09/lovely-good-night-wallpapers.html   Rintik hujan malam tanpa berhenti secara terus-terusan mengguyur kegelapan bersamaan dengan datangnya sambaran petir yang membawa sinar-sinar mengkilap. Tiada suara satupun makhluk karena semuanya telah terlelap di alam mimpi tatkala seorang guru muda tengah asyik menghangatkan raganya dengan berguru pada sebatang lilin sekaligus lentera penggerak jiwa seraya ruas jemarinya sibuk membolak-balik lembaran buku agenda hitam kesayangannya yang menjadi teman bilamana dirinya menulis atau menepikan cerita pada sahabat-sahabat tak jauh darinya. Akan tetapi, malam ini sang guru muda mesti bercerita pada Gloria, satu-satunya sahabat yang belum terlelap sampai menjelang tengah malam. Kuputar ingatan lagi, Maureen dan si gadis bunga telah terlelap sejak beberapa jam lalu.  Lilin kecil itu masih menari-nari pelan tatkala kesunyian malam semakin terasa kendati hujan masih tetap mengguyur s

Butiran salju di tepi landasan Schiphol

Gambar
  Sumber gambar:  www.wallpaperspider.com Bandara Schiphol, Amsterdam, Belanda di bawah tudung langit fajar.  Layar televisi jadwal penerbangan di pintu gerbang masuk utama negeri Belanda ini tak lepas dari hujaman mata seorang guru muda yang telah berdiri selepas Shalat Subuh tadi. Dari sekian banyak jadwal penerbangan di Bandara Schiphol ini, mata sang guru muda terfokuskan pada secarik nama maskapai nasional Belanda, Koninklike Luchtvaart Maatschapij (KLM) yang akan terbang membawa seorang gadis berambut panjang pergi menjauh dari titik tempat si guru berdiri. Musim dingin tentu mengundang salju datang sangat cepat demi menenggelamkan matahari dalam pelukannya agar terbit usai jarum jam melewati pukul tujuh pagi. Salju masih bersemangat menggelung rumput-rumput hijau di luar sana.  "Dames en heren, voor alle KLM passagier uit Amsterdam naar Houston, nu is de tijd voor de vertrekken. Neem onmiddellijk op het vliegtuig via de F3 deur. Dank u well." (Bapak dan

Kentang dalam balutan telur goreng

Gambar
  Sumber gambar:  yesofcorsa.com   Persimpangan Condong Catur, Yogyakarta, pada sebuah malam. Hujan malam pada realitanya masih belum sudi menghentikan guyurannya semenjak hari sampai pada batas senja tak lebih dari tiga jam lalu kendati ia sempat berhenti sejenak demi menyisakan tanah basah yang diselingi sekadar genangan di atas badan Jalan Condong Catur. Lalu lintas telah beranjak sepi menjelang tengah malam ini pukul 22.57 WIB. Tinggal satu-dua kendaraan yang tetap berlalu-lalang meninggalkan seorang guru muda dalam kesunyian malam Condong Catur. Sudah kesekian kalinya sang guru muda larut akan suasana malam Kota Yogya seusai ia menerima secarik telegram elektronik di tepi Istana Gedung Agung tempo hari. Bathinnya tersentak hebat kala menerima berita mengenai terkaparnya Si gadis bunga pada rasa sakit. Sekarang entah apa yang ia pikirkan.  Aku kini melangkahi sepanjang sisi Persimpangan Condong Catur hanya seorang diri bagai siap tertelan kegelapan malam nan sunyi i

Telegram di Teras Istana

Gambar
  Sumber gambar:  www.reference.com   Halaman Istana Gedung Agung, Yogyakarta, pada sebuah malam. Gemuruh rintik hujan menari lincah tatkala seorang guru muda mengayunkan langkahnya menyusuri trotoar jalanan Kota Yogyakarta seorang diri dalam dekapan malam di Hari Jumat. Badannya sejak tadi terbungkus jas hujan biru yang tetap dihujam rintik hujan bersama petir yang terus menyalak-nyalak ganas tanpa henti. Ia terus berjalan dan berjalan seraya melirik lingkaran arloji di pergelangan tangan kanannya. Masih pukul 20.00 WIB. Jalanan Kota Yogya mulai dari halaman Keraton sampai Persimpangan Stasiun Tugu selalu ramai akan lalu-lalang kendaraan yang berpadu dengan becak dan delman. Tetapi ruang bathin sang guru kini terlihat sangat lowong karena sepi.  Tanpa kusadari, rupanya aku telah menyeberangi perempatan Malioboro-Keraton yang terkenal karena kesejajaran garis lurus antara Gunung Merapi-Tugu Putih-Keraton-Pantai Parangtritis. Tempurung kepala aku tolehkan ke sebelah kanan,