Butiran salju di tepi landasan Schiphol

 
Sumber gambar: www.wallpaperspider.com

Bandara Schiphol, Amsterdam, Belanda di bawah tudung langit fajar. 

Layar televisi jadwal penerbangan di pintu gerbang masuk utama negeri Belanda ini tak lepas dari hujaman mata seorang guru muda yang telah berdiri selepas Shalat Subuh tadi. Dari sekian banyak jadwal penerbangan di Bandara Schiphol ini, mata sang guru muda terfokuskan pada secarik nama maskapai nasional Belanda, Koninklike Luchtvaart Maatschapij (KLM) yang akan terbang membawa seorang gadis berambut panjang pergi menjauh dari titik tempat si guru berdiri. Musim dingin tentu mengundang salju datang sangat cepat demi menenggelamkan matahari dalam pelukannya agar terbit usai jarum jam melewati pukul tujuh pagi. Salju masih bersemangat menggelung rumput-rumput hijau di luar sana. 

"Dames en heren, voor alle KLM passagier uit Amsterdam naar Houston, nu is de tijd voor de vertrekken. Neem onmiddellijk op het vliegtuig via de F3 deur. Dank u well." (Bapak dan ibu yang terhormat, untuk semua penumpang KLM dari Amsterdam ke Houston, sekarang adalah waktunya untuk berangkat. Mohon masuk ke pesawat melalui Pintu F3. Terima kasih.) Serangkaian pengumuman dalam Bahasa Belanda membahana di segala penjuru Bandara Schiphol membuat aku tersentak dari lamunan fajarku sejak tadi. Kutatap layar jadwal keberangkatan itu sekali lagi, kudapati jadwal penerbangan untuk pesawat KLM 661 tujuan Houston telah berubah agar seluruh penumpang segera melakukan boarding. Rombongan-rombongan makhluk kaukasoid aku lihat telah bergegas membelah rongga belalai gajah alias garbarata terminal agar bisa memasuki badan pesawat besar tidak jauh darinya. 

Di antara makhluk-makhluk kaukasoid itu, kelopak mataku mendapati salah seorang gadis berkupluk abu-abu melambai-lambai ke arah diriku. Kupluk abu-abunya tergelak cepat mengikuti gerakan kepala di bawah rambut panjang sebagai mahkota terindah miliknya dan sebelum para makhluk Kaukasoid menjebloskan diri masing-masing pada kehangatan ruang kabin pesawat Boeing 747-400. Ia tak sungkan mendatangi diriku dan menepikan sesuatu, "Maaf banget aku enggak bisa nemenin Herr Aldi sama Gloria and the gang jalan-jalan ke Padang Bunga di Leeuwarden. Urusan tes musik di Houston sekarang lebih penting daripada itu. Tapi tolong doain ya biar aku bisa sukses di Houston terus balik lagi ke Belanda." Baru kali ini ia menelurkan permintaan dengan panjang lebar jauh-jauh di Eropa. "Amin. Enggak apa-apa Maureen, aku cuma ingin kamu sukses di Houston. Muka kamu udah cantik terus pakaian udah ngedukung buat lulus tes musik. Oke deh, sip ya. Sampe ketemu lagi di pintu kedatangan Bandara Schiphol ya." Ujarku kepada Maureen di antara hingar-bingar bandara.

Sekilas aku melihat garis wajah Maureen melukiskan guratan warna merah jambu dengan arti ia tersipu malu mendengar pujianku akan kecantikan parasnya beserta keelokan busananya. Ia tak pernah lupa mengucap terima kasih usai aku memuji dirinya dan sambil malu-malu, Maureen pergi meninggalkan aku di ujung rongga garbarata. Warna merah pada parasnya masih belum menghilang hingga penumpang terakhir sekalipun menyusul penumpang-penumpang lainnya. Lalu lalang manusia dalam rongga terus aku tatap seolah-olah tak sudi melepas Maureen melenggang seorang diri ke Negeri Paman Sam. Apa yang menyebabkan engkau tak sudi melepas Maureen berangkat? Memangnya ada hubungan apa dengan Maureen? Siapakah dirimu bagi Maureen? 

Lamunan fajar ini hanya bertahan sesaat lantaran ruas jemari seorang gadis menepuk bahu kiriku dari samping. Perlu tepukan sebanyak dua kali agar diriku bisa tersadarkan kembali dari lamunan fajar tadi dan benar saja, setelah tepukan kedua aku baru sadar jika dara penepuk bahuku tadi adalah Gloria. Ia berupaya memulihkan ruang anganku seraya mengulum senyum manisnya khusus bagiku. Tak ragu aku menyambut senyuman Gloria laksana meraih setangkup kemenangan saat memulai hari baru. "Ayo kita ke Polderbaan sekarang herr. Ntar keburu pesawatnya Maureen berangkat." Titah Gloria langsung aku turuti hanya dengan sedikit ucap tutur-kata dengan membelah hingar-bingar Bandara Schiphol. 

                                                                          *****  

Ini sudah hampir pukul 09.30 waktu Belanda. Tetapi ruang langit di luar sana tidak sudi berbagi celah pada sinar Matahari karena lebih memilih tuk mengepung Bumi dengan butiran-butiran salju. Demikian pemandangan garis wajah milik ruang langit yang tampak dari balik kaca mobil Kia Pregio. Kali ini aku harus mengemudikan mobil di sebelah kanan jalan sesuai dengan sistem lajur kemudi Belanda serta wiper mobil tak pernah berhenti mengibas-ibaskan kaca depan mobil laksana orang mabuk karena meneguk minuman beralkohol. Kulihat lagi hamparan alam di luar kaca jendela mobil. Semua yang ada kini tak ada usai ditutupi selimut salju putih dalam perjalanan singkatku dari terminal keberangkatan ke area parkir Polderbaan, tempat beragam pasang mata menyaksikan pesawat terbang yang datang dan pergi silih berganti setiap saat. 

"Mau turun herr? Di luar dingin banget lho." Tutur si gadis bunga seiring dengan hendak dibukanya pintu mobil. Aku yang tadi sudah mengulurkan tangan demi menyingkap pintu kini terhenti di tengah jalan. Aku harus bingung mendengar pertanyaan menusuk telak diriku dari si gadis bunga tadi dan turun atau tidak turun hanya akan mendapat hal yang sama. Kedinginan usai menikmati salju. Bimbang aku biarkan merubungi diriku selama beberapa menit sampai kehadirannya berakhir karena dada kiri yang bergetar lumayan kencang. Aku tahu, pasti ini pesan singkat dari Maureen melalui Whatsapp sekaligus pengundang firasat pensaranku terkait hadirnya pesang singkat ini. Ia sudah masuk pesawat sedari tadi akan tetapi ia masih sempat-sempatnya membuka telepon seluler. 

Kubaca isi Whatsapp Maureen kepadaku dengan seksama. 

"Sorry baru sempat SMS lagi. Barusan, ada sekitar tiga menit lalu, pilot pesawat namanya Kapten Evan De Brunnen kasih pengumuman kalo penerbangan ke Houston bakalan ditunda setengah jam ke depan gara-gara cuaca unfriendly sekarang ditambah lalu lintas bandara yang padat banget sebagai dampak dari cuaca unfriendly for the flight. Tapi tetap ada penumpang protes terus Kapten Evan bilang, lebih baik telat asal semuanya siap daripada dipaksain tepat waktu tapi enggak siap. Jadi sekarang masih nunggu di dalam kabin." - Maureen. 

Ucapan hampir serupa aku berikan kepada Ariq, Abang, Akbar, Gloria dan si gadis bunga tepat ketika mereka bertanya mengenai keberangkatan Maureen ke Houston. Cuaca Eropa-Samudera Atlantik-Benua Amerika memang sedang tidak bersahabat bagi penerbangan bersama imbas berupa penundaan atau pembatalan berjamaah. Bibir landasan bandara aku lihat untuk yang pertama kalinya sejak sampai di Polderbaan karena saking asyiknya mengobrol, aku sampai lupa melihat ujung landasan favoritku di Eropa. Kutolehkan tempurung kepala ke jok belakang demi mendapati raut wajah bosan teman-temanku. Tanpa menunggu mereka bertanya, aku segera turun meninggalkan mobil diikuti tarian langkah kawan-kawanku tercinta menyusuri lantai area parkir. 

Namun, secara tiba-tiba langkah telapak kakiku terhenti ketika wajah seorang gadis keturunan Tionghoa menyambar pandangan dalam sekejap. Sepasang mata ini aku kucek-kucek menggunakan tiga batang jari kanan supaya bisa menatap wajah gadis Tionghoa tadi dengan baik. Mata ini turut mengerjap-ngerjap memastikan aku tidak salah melihat gadis Tionghoa nan cantik di depanku: Stevie sang murid kesayanganku. "Herr Aldi!!! Wie geht es Ihnen jetzt??!!!" (Herr Aldi!!! Apa kabar sekarang??!!!) Stevie menyambar jiwa ragaku dengan ruang hati nan girang usai sekian lama tak bersua dan ini kesempatan baruku memunculkan Stevie dalam cerita-cerita indah setelah kemarin dirinya tidak hadir. "Alhamdulillah, es geht mir gut. Und was ist mit dir?" (Alhamdulillah, kabar baik. Terus kamu gimana?) Cukup lama aku berbincang-bincang dengan Stevie di atas salju Polderbaan. Gloria beserta seluruh kawan-kawan lain hampir saja terlupa akan kehadiran Stevie. 

                                                                        *****
Sekonyong-konyong Stevie membelokan topik yang tengah di-buahbibir-kan. Ia bertanya terkait apa yang sedang aku lakukan di Bandara Schiphol kala hujan salju tengah mengepung Bumi di pagi hari. Kukatakan dengan berterus terang, aku sengaja menyambangi Bandara Schiphol di waktu fajar menyingsing demi mengantar Maureen pergi mengembara ke gurun pasir Texas tempat Paman Sam berkelana menggunakan kuda atau banteng. Dia akan bermukim di Kota Houston sampai ia lulus tes musik sesuai dengan apa yang dirinya harapkan dan selepas selesai bercerita, aku termenung sejenak memikirkan bayang-bayang wajah Maureen yang entah saat ini sedang senang, khawatir atau takut. Namun yang jelas, Maureen hanya akan berada di Houston untuk dua minggu. 

Hanya satu menit kemudian. 

Gloria menjadi lebih heboh dari sebelumnya. Ariq, Abang, Akbar dan si gadis bunga turut heboh tatkala sebuah pesawat dengan bentangan sayap lebar mengambil ancang-ancang tinggal landas seusai mengalami penundaan selama setengah jam. Dalam sekejap diriku bangkit dari lamunan dan ikut larut dalam kehebohan kawan-kawan. Inilah waktunya. Kini tiba saatnya bagi Maureen untuk segera berangkat ke Amerika dan seraya melambai-lambai ke arah jendela pesawat dalam harapan Maureen membalas lambaian tangan. Pesawat KLM 661 berhenti cukup lama seolah sang pilot mengerti apa isi perasaan kami sekarang tetapi sejurus kemudian, aku menampak pesawat telah berlari cepat menggilas permukaan aspal landasan. Kami melambai-lambai ke arah pesawat tanpa henti kendati pesawat KLM 661 sudah terbang melesat jauh ke langit. 

Baru setelah Maureen benar-benar lenyap dari kelopak mataku, buku agenda kesayangan berwarna cokelat aku jamah di dasar tas cangklongku. Buku agenda itu sudah penuh setengah. Tanggal hari ini aku bubuhkan tepat di sudut kanan atas salah satu lembaran buku serta pulpen hitam mulai aku goreskan perlahan-lahan: 

Jenuh dan kehilangan. Dua kata dalam formasi belasan huruf tadi tepat sangat cocok melukiskan suasana hati berikut perasaanku ketika pergi mengantar seseorang terdekatku di Bandara Schiphol, Amsterdam, Belanda sekarang tatkala hujan salju hadir menggulung matahari yang seharusnya datang menyapa. Jenuh dapat kurasakan ketika semangatku merangkai kata-kata dalam cerita indah hanya mekar laksana Bunga Pancawarna di awal hari tetapi harus pudur bagai sumbu lilin lentera jiwa ditiup angin malam. Pernah terpikirkan untuk berhenti menulis sebelum selesai lalu membuangnya mentah-mentah, bahkan pernah pula jatuh pada titik dimana aku harus benar-benar berhenti sepenuhnya. Perlu kukatakan pula, jenuh pernah mendorong hatiku jatuh ke titik terendah melalui ulangan harian yang datang bertubi-tubi. 

Kehilangan. Entah sudah berapa kali aku menyaksikan sebuah kehilangan melalui mata kepala sendiri. Entah kapan kehilangan itu akan datang tetapi inilah hal paling pasti sepanjang hidup di alam dunia. Hari ini, aku turut menjadi saksi akan sebuah kehilangan sementara yang terjadi ketika Maureen terbang tanpa membawa teman satu orang pun padahal tak ada hubungan khusus antara aku dengan Maureen. Tetapi Maureen cukuplah aku anggap menjadi teman sendiri kendati kehilangan dalam bathin sukar terhapuskan kala Stevie hadir kembali ditemani Si gadis bunga, Gloria, Abang, Akbar serta Ariq. Kutatap langit penurun hujan salju ini satu kali lagi sebab aku yakin saat ini Maureen tengah terbang melintasi Samudera Atlantik sang tetangga sebelah Benua Eropa. Kehadiran berikut kepergian beragam jenis manusia telah melengkapi hidupku dan sekarang saatnya bagiku untuk pergi meninggalkan butiran salju di tepi landasan Schiphol. 

Herr Aldi Van Yogya, di tepi landasan Polderbaan. 

Pulpen biru dongker kembali aku masukkan ujungnya agar dapat disematkan dalam saku jaket cokelatku sedang buku agenda kesayangan aku tangkup rapat-rapat dan tanpa ragu mengajak seluruh kawan dekatku kembali menyusuri jalanan negeri kincir angin. Pulang. Kembali ke rumah di Belanda. 

Tertulis, kisah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan.

Bandung, 15 September 2016
Pukul 20.15 WIB
-Herr Aldi Van Yogya-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi