Telegram di Teras Istana

 
Sumber gambar: www.reference.com 

Halaman Istana Gedung Agung, Yogyakarta, pada sebuah malam.


Gemuruh rintik hujan menari lincah tatkala seorang guru muda mengayunkan langkahnya menyusuri trotoar jalanan Kota Yogyakarta seorang diri dalam dekapan malam di Hari Jumat. Badannya sejak tadi terbungkus jas hujan biru yang tetap dihujam rintik hujan bersama petir yang terus menyalak-nyalak ganas tanpa henti. Ia terus berjalan dan berjalan seraya melirik lingkaran arloji di pergelangan tangan kanannya. Masih pukul 20.00 WIB. Jalanan Kota Yogya mulai dari halaman Keraton sampai Persimpangan Stasiun Tugu selalu ramai akan lalu-lalang kendaraan yang berpadu dengan becak dan delman. Tetapi ruang bathin sang guru kini terlihat sangat lowong karena sepi. 

Tanpa kusadari, rupanya aku telah menyeberangi perempatan Malioboro-Keraton yang terkenal karena kesejajaran garis lurus antara Gunung Merapi-Tugu Putih-Keraton-Pantai Parangtritis. Tempurung kepala aku tolehkan ke sebelah kanan, tampak Benteng Vredeburg peninggalan Belanda berdiri di tepi perempatan. Benteng ratusan tahun ini sangat sepi ketika gelap malam datang dan aku enggan berlama-lama menatap wajahnya. Maka tempat ini aku tinggalkan dengan terus mengayunkan langkah menciptakan gemericik pada rintikan air hujan yang telah menggenangi trotoar Jalan Malioboro sendiri untuk kesekian kalinya. Hatiku merasa hampa karena kawan-kawanku tak bisa ikut menemani di tengah Kota Yogya. 

Alhasil derap langkahku berhenti tepat di depan sebuah bangunan megah dengan halaman luas di pinggir Jalan Malioboro. Dua batang pohon rimbun turut menaungi halaman Istana Gedung Agung, demikian sebutan bagi bangunan megah berhalaman luas yang aku maksud tadi. Bila menilik rangkaian peristiwa perjalanan sejarah tanah air dengan rinci, Istana Gedung Agung dikisahkan mengantongi tugas sebagai tempat tinggal/singgah para kepala negara yang sedang atau pernah berkuasa di Indonesia mulai dari Ir. Soekarno sampai Ir. Jokowi. Diawali dari insinyur sampai saat ini kembali pada insinyur lagi. Tentulah aku amat sangat bersemangat membahas hal-hal seputar Presiden Republik Indonesia sesuai cita-cita terpendamku. Hingga detik ini aku belum bisa mewujudkannya. 

Lupakan soal presiden, dan kini cobalah bertanya mengenai apa sebab langkahku harus terhenti di depan Istana Gedung Agung. Sorotan mata coba aku bidikkan pada sebidang kios pedagang kaki lima hanya beberapa meter dari pintu masuk istana. Sejak tadi rupanya aku telah menatap kios itu dalam-dalam, namun aku sama sekali tak menyadarinya sampai harus rela kehujanan saat ini. Aku melangkahkan lagi telapak kaki ini sesaat sebelum aku benar-benar berhenti karena kepulan asap kompor penggodok beragam jenis mie pada kios milik Ibu Tjitro salah seorang ibu-ibu paruh baya asal kota pelajar ini. Perlu kukatakan, sejatinya aku bisa menjuluki Yogya Kota Gudeg, tetapi mengingat diriku adalah seorang guru, maka tiada salahnya aku memberi julukan "kota pelajar."   

"Monggo mampir rene mas. Arep pesen opo?" (Silahkan mampir sini mas. Mau pesan apa?) Salah seorang pelayan jongko sederhana ini membuat lamunanku buyar. "Inggih, matur nuwun mbak. Sik, arep moco daftar menune." (Iya, terima kasih mbak. Sebentar, mau baca daftar menunya.) Ketika selembar kertas bertuliskan daftar makanan-minuman mendarat di tanganku, urutannya segera aku baca satu per satu. Mulanya aku bingung hendak memesan apa, namun dalam sekejap bagai mendapat terkaman aku langsung menunjuk semangkok Mie Godog disusul secangkir Teh manis. Ahhh, membayangkannya saja sudah tampak sangat enak apalagi meneguknya. Gumamku pada diri sendiri. 

                                                                            *******

Gadis itu memalingkan wajahnya cukup dalam hitungan detik. Ia tampak tengah mencari-cari sesuatu di antara keramaian Kota Yogya malam ini. Melihat wajah sang gadis yang sepertinya aku kenal, aku menjadi terobsesi membuntuti gerak-geriknya bagai seorang pengintai profesional sambil membawa harapan gadis remaja tadi akan datang menyambangiku. Namun setelah waktu terus berjalan lantaran tak dapat membaca kata "berhenti," aku tersadar gadis pencuri perhatianku tadi bukanlah Stevie. Ia sudah lama tak muncul dalam bait-bait cerita indahku seperti dulu atau kalaupun ia muncul, hanya sekali-sekali dengan rentang waktu yang cukup jauh dari satu cerita ke satu cerita lainnya. 

Sekarang aku merutuki ulahku mengekori gerakan gadis mirip Stevie tadi. Aku pikir paras cantik dirinya dapat melegakan kehampaan bathinku di depan Istana Gedung Agung, namun rupanya ia tak juga hadir. Kemana Stevie pergi? Di mana dirinya berada sekarang? Terserah apa kata berita dari teman-teman sebayanya atau teman-temanku sesama guru, namun asap Mie Godog yang sekarang sudah mengepul cukup menyembul dengan keterangan jawaban terbaik. Teh manis dalam cangkir putih tak lupa aku seruput sedikit demi sedikit, cocok untuk menghangatkan diri di tengah hujan pelenyap hawa panas Yogya sejak tadi siang. 

Amboi, enak nian Mie Godog ini. Bagai orang kesurupan aku menyantap makanan ini hingga tersisa setengah mangkuk sekaligus upayaku membuat pedagang merasa puas. Namun bagaimanapun kelezatan Mie Godog buatan jongko sederhana ini, aku tetap melihat ada sesuatu yang hilang dari hatiku. Hatiku tetap hampa di tengah keramaian kota favoritku sejak duduk di bangku sekolah dasar dulu. Kawan-kawanku tak hadir di Yogya demikian pula dengan Stevie. Seharusnya mereka duduk di sampingku agar dapat saling berbagi cerita mengenai pengalaman hidup masing-masing khususnya Si gadis bunga. Di pelupuk mataku si gadis bunga sudah tampak sangat cantik serta selalu menarik perhatianku setiap saat. Kini si gadis bunga lenyap bagai tenggelam di tengah rintik hujan malam. 

Termenung seraya menyantap Mie Godog, aku terus mencari-cari orang terdekatku walau hanya dalam angan. Keberadaan mereka sukar ditelusuri olehku hingga Mie Godog berhasil aku habiskan dengan tak lupa membayarnya pada pedagang. Sejurus kemudian, aku pergi meninggalkan jongko makanan demi terus berjalan menyusuri sepanjang sisi Jalan Malioboro. Ramai memang. Ramai supaya menjadi lebih kontras dengan suasana hatiku yang merasa hampa tak berkesudahan sampai di pelataran parkir Stasiun Tugu. Gemuruh petir tetap menyalak garang mengundang keriuhan Stasiun Tugu yang tak lain tak bukan adalah gerbang masuk Yogya selain Bandara Adisutjipto. Hilir-mudik rangkaian kereta api dalam datang dan pergi silih berganti seperti telah menekan ulu hatiku agar semakin gundah laksana melepas keberangkatan Stevie bersama teman-temanku padahal mereka tak pergi naik kereta api, tapi entah naik apa. 

Sekonyong-konyong saku bajuku terasa bergetar kencang pertanda ada pesan singkat merasuki telepon seluler ini. Ingin kujawab pesan singkat tadi, namun semakin derasnya hujan mengguyur memaksaku menepikan kata "selamat tinggal" pada Stasiun Tugu. 

                                                                         ******* 

"Assalamu'allaikum Herr Aldi. Punten baru bisa buka HP sekarang. Mau ngasih tau aja, hari ini Si gadis bunga sakit. Asmanya kambuh ditambah demam tapi enggak mual-mual. Makanya sekarang dia istirahat di Condongcatur, kebetulan ada rumah temanku. Ariq-Abang-Akbar-Maureen juga ada di sini & tinggal Herr Aldi aja yang belum datang. Kalo mau datang + sekalian nginep, sok boleh aja nginep. Aku tunggu ya. Vielen dank ja!!!" (Terima kasih ya!!!) - Gloria -

Telegram elektronik di teras Istana Gedung Agung itu menghujam ulu hatiku dalam-dalam. Dari pesan singkat pemberian Gloria, aku baru tahu jika si gadis bunga tengah terkapar sakit kala Kota Yogyakarta tengah menerimanya. Mengapa aku tak mengetahuinya sejak kemarin? Sejak jauh-jauh hari? Lututku tampaknya sudah mulai lemas disebabkan rasa lelah usai berkegiatan penuh hari ini ditambah dengan kabar mengenai penyakit si gadis bunga yang membuatku tersentak hebat persis ketika remaja dulu. Sambil terus memikirkan nasib si gadis bunga dalam telegram di teras istana yang aku maksud adalah trotoar (bukan beranda di depan ruang tamu) aku terus menekur-nekuri bahu jalan tanpa teman seorang pun. Inikah jawaban terbaik untuk kegundahanku di Jongko Mie Godog tadi? Pasti. Sekarang kegundahanku telah terjawab lunas ditambah dengan berita mengenai Stevie yang tengah pergi ke Eropa dengan keluarganya, entah ke negara mana. 

Kubiarkan bathin beserta jiwa dalam diriku larut di tengah keramaian Kota Yogyakarta. Aku lihat hilir-mudik kendaran tetap meraung-raung kencang semakin menggundahkan hati ini. Semoga aku bisa bersua dengan Si gadis bunga, Stevie, Gloria, Ariq, Akbar, Abang dan Maureen usai menerima telegram elektronik di teras bahu jalan Istana tadi. Selamat malam, sampai jumpa di hari yang cerah bagi jiwa sehat dengan mimpi yang indah, kawan-kawanku...

Tertulis, kata-kata indah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan. 

Bandung, 12 September 2016
Pukul 20.49 WIB
-Herr Aldi Van Yogya-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi