Persimpangan Timur Brebes dalam fajar

Sumber gambar: www.qqxxzx.com
 
Pantura Brebes, Jawa Tengah, menjelang fajar menyingsing. 

Perlahan-lahan matahari mulai menampakkan berkas cahayanya dengan malu-malu nun jauh di ufuk timur sana tatkala seorang guru muda memacu mobil minibus kesayangannya sejak masih kecil dulu di atas permukaan aspal Jalan Tol Pejagan-Pemalang sebagai sambungan dari Jalan Tol Kanci-Pejagan. Kaca depan mobil tetap saja berembun pekat kendati Pantura selalu terpanggang akan hawa panas setiap hari tanpa aku tahu sebabnya dengan pasti. Kulihat ruang langit di atas kaca mobil sekali lagi dan kudapati bintang-bintang telah memudar demi menyambut matahari. Mobil minibus ini terus aku pacu menuju segaris percabangan jalan tak sampai lima kilometer di depan. 

"Jangan lupa 1,7 km lagi belok di Brexit." Dalam sekejap mata sayuku berubah nyalang usai suara seorang pemuda menghujam lelahku dari jok belakang. Oh, rupanya Akbar sudah bangun lebih dulu. Aku sambut dirinya dengan senyum berisi suara ramah pagi itu. "Oke bar. BTW semalam bisa tidur nyenyak enggak?" "Bisa di. Malahan di mobil ini aku bisa tidur lebih nyenyak. Makasih ya." Ujar Akbar yang membuatku terkekeh sendiri. Telapak kaki kananku terus memacu pedal gas mobil seolah lupa akan rasa lelah yang telah membelenggu sejak semalam lantaran aku harus mengemudikan mobil dari Bogor sore hari kemarin menuju ke Bandara Soekarno-Hatta demi menjemput Abang dan Ariq yang baru datang dari Inggris. 

Amboi, hebat sekali. Abang dan Ariq baru selesai menempuh perjalanan dari Eropa kini masih harus melanjutkan perjalanan panjangnya lagi ke Jawa Tengah bersamaku. Tidak lelahkah dua pemuda ini?

"Brebes Timur 500 meter." Sebidang papan plang lalu-lintas membangkitkan kesadaranku kembali. Ya Allah, mengapa engkau terus memperpendek jarak perjalanan hamba-Mu ini? Bukankah seharusnya masih 1,7 km lagi? Di bawah kesunyian fajar ini aku terus bertanya-tanya tentang makna papan plang lalu-lintas yang berdiri dengan bantuan tiang penyangga tadi. Ah, tetapi lupakanlah makna papan plang-lalu lintas tadi.  Kini aku sudah hampir lupa akan percabangan yang harus aku beloki agar bisa beristirahat sejenak usai melewatinya. 

Samar-samar aku melihat penghuni jok belakang melalui kaca spion tengah yang tampaknya telah mendengar pembicaraanku mengenai percabangan ufuk timur kota telur asin ini. Tak lain tak bukan mereka adalah tiga dara yang sengaja aku pisahkan tempat duduknya agar kenyamanan-keamanan lebih terasa sebab mayoritas penghuni mobilku kali ini juga sebelumnya adalah para jejaka, termasuk aku sang guru bertitel pujangga namun merangkap profesi sebagai pengemudi mobil sendiri. Hanya gelak tawa yang ingin aku lepaskan bila mendengar ucapan tadi. Gelung selimut mulai mereka lepaskan begitu mendengar suara ayam berkokok ria fajar ini. Biarpun kata "modus" ditembakkan padaku, aku tetap menepikan "Assalamu'allaikum" berlanjut "selamat pagi" pada tiga dara cantik di jok terbelakang tadi.

Paras cantik mereka seindah guratan fajar membuatku tak sungkan menerbitkan senyum seraya memberi pengumuman dengan lagak seorang kapten pilot pesawat mengenai kedatangan di Persimpangan Timur Brebes dalam waktu singkat. "Hihihi, Herr Aldi bisa aja." Tutur Gloria si gadis berambut pendek seleher seraya terkekeh-kekeh sedang Si gadis bunga masih melukiskan wajah sendu nan sayunya pada kaca jendela mobil. Gloria dan Si gadis bunga sudah kulihat wajah paginya, kini giliranku melihat Maureen. Ternyata ia telah melukiskan guratan senyumnya pagi ini serta seperti biasa, kupluk abu-abunya tak pernah lepas dari kepalanya. Rambut panjang gadis ini laksana lengket seperti lem kertas dan perlahan namun pasti, gapura bertuliskan "Brebes Timur" terlihat di mataku. Alhamdulillah, aku sudah sampai di Gerbang Tol Brebes Timur bersama kawan-kawanku tercinta detik ini.

                                                                            *******

Petugas pria itu menjulurkan lengan kanan begitu berlabuh di gardu tol. "Mbayar telu ngewu limongatus wae mas. Matur nuwun yo." (Bayar tiga ribu lima ratus aja mas. Makasih ya). Petugas pria tadi mengucapkan salam perpisahkan sebelum aku berlalu meninggalkan gardu tol Brebes Timur. "Inggih, sami-sami." (Iya, sama-sama). Begitu meninggalkan loket gardu tol, aku menerawang suasana lalu-lintas di jalan masuk gerbang tol Brexit ini. Masih sepi. Kendaraan yang melintas pun baru ada satu-dua atau paling banyak tiga-empat termasuk mobilku dan sampai kurang-lebih setengah kilometer ke depan, aku memberhentikan mobil di pinggir jalan agar dapat singgah ke sebuah warung sederhana di sana. Tanpa menunggu Gloria, Maureen, Si gadis bunga, Ariq, Abang dan Akbar bertanya aku langsung mengajak mereka turun dari mobil serta mesin tak lupa aku padamkan.

Berbutir-butir keringat kecil aku seka seiring dengan seorang ibu-ibu paruh baya si penjaga warung yang tergelak senang karena warungnya telah berhasil mengundang pengunjung pertama. Ia tak segan menyiapkan beberapa buah menu masakannya di depan batang hidungku. "Walah, matur nuwun Gusti Allah. Isuk-isuk wis ono wong tuku." (Walah, terima kasih Gusti Allah. Pagi-pagi sudah ada orang beli." Hanya aku yang bisa memahami apa perkataan Bu Harti sang penjaga warung saat kawan-kawanku hanya bisa mengerutkan dahi mendengarku berbicara Bahasa Jawa. Gloria dan Maureen dengan kompak menutupi separuh wajahnya menggunakan telapak tangan kiri seperti sudah janjian. Si gadis bunga hanya terdiam kendati ia memiliki darah Jawa dari sang ayah.

Sejurus kemudian, ibu penjaga warung yang belakangan ini aku ketahui ia berdagang dengan dibantu Pak Harsono-sang suami menyeduhkan sejumlah gelas berisi kopi panas di meja warung satu meter. Asapnya mengepul-ngepul melintasi garis wajah kami sedang Maureen tampak sibuk mengurut-urut paha kanannya dengan alas berupa bangku panjang ini dan sambil menyeruput kopi panas ini, aku menerawang persimpangan Brebes Timur tepat di bawah dekapan ruang langit fajar. Kini sinar Matahari telah bertambah banyak agar langit tampak lebih terang. Satu-dua kendaraan berlalu-lalang mengingatkanku akan momen mudik lebaran Idul Adha 2016.

Aku memang tak melintasi persimpangan Brebes Timur kala arus mudik & balik lebaran Idul Fitri atau Idul Adha sekalipun. Namun masih segar dalam ingatanku kala jalan yang dijuluki "Brebes Exit" atau "Brexit" ini mendapat sorotan tajam karena kemacetan parah yang terjadi sampai 36 jam. Dalam jangka waktu 36 jam itu pula sudah ada belasan orang yang harus merenggang nyawa lantaran harus terpenggang hawa panas hingga kekurangan oksigen. Ada apa dengan Brexit? Apa yang salah dengan pemerintah? Aku tak tahu apa jawaban terbaik yang mesti aku tepikan kendati bagaimanapun juga, aku tetap mendukung upaya Pemerintah Indonesia di bawah kendali Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Jujur kukatakan, penggalan paragraf di atas sejatinya sudah pernah aku torehkan dalam cerita terdahulu saat aku merasa tengah jatuh ke titik terendah. Namun kubiarkan itu terulang lagi, hanya sesaat sebelum melanjutkan bait-bait cerita.

Idul Adha 2016 pun tiba di depan mata. Gerbang tol Brebes Timur telah diprediksi akan menampung kemacetan panjang sejak jauh-jauh hari dan pemerintah melalui Polri telah menyiapkan naskah tersendiri demi menghindari kemacetan parah dengan membuat rekayasa arus lalu lintas. Bahkan Menteri Perhubungan pula ikut turun ke Tol Brexit demi memantau hiruk-pikuk kendaraan. Lalu apa yang terjadi di gerbang masuk Kota Telur Asin ini? Alhamdulillah, syukur aku panjatkan pada Rabbi Ilahi kala melihat arus lalu-lintas Tol Brexit tak sepadat arus mudik Idul Fitri kemarin. Suasananya relatif lancar sedang kepadatan terpanjang hanya satu kilometer. Kepadatan sangat pendek, pengelola sudah menggratiskan biaya selama dua hari pula. Mau minta apa lagi?

Kuputar otakku pada sosok Presiden Joko Widodo, kepala negara favoritku sejak remaja dulu yang sepanjang masa pemerintahannya sangat gencar menggenjot proyek infrastruktur tanah air. Entah sejak kapan Jalan tol Pejagan-Pemalang ini dibangun, namun yang jelas seluruh proyek baik itu yang telah berjalan sejak pemerintahan terdahulu atau yang sempat mangkrak tak akan pernah luput dari perhatian Presiden Jokowi. Lantas apa yang terjadi kala Brexit mengalami kemacetan panjang? Pastilah beliau diserang dengan amunisi berupa kecaman, hujatan dan kritikan keras. Aku yang sudah jelas Pro-Jokowi terpaksa jatuh kepada titik terendah mendengar itu. Bukan kuingin mengkambinghitamkan korban kemacetan, tetapi aku ingin para haters sedikit lebih sabar lantaran ini masih dalam proses menuju kemajuan Indonesia.

Tulisan di atas terbukti benar. Justru karena kekuatan jiwa sabar dalam dirinya-lah Presiden Jokowi tampak lebih gencar memompa pembangunan infrastruktur tanah air. Mantan walikota Solo ini tak pernah mengenal sakit hati. Ia selalu sabar dan karena kesabarannya-lah beliau selalu menang. Hah, SABAR? Kini aku tercenung mendengar kata yang terdiri dari lima huruf itu. Sudahkah aku bersabar? Bila sudah, apakah aku sudah sesabar Presiden Jokowi? Dimana jiwa sabarku berada? Kemana jiwa sabarku pergi?

                                                                              *******

Cerita yang menggantung tersebut rupanya telah menjerumuskanku dalam lamunan fajar bersama secangkir kopi yang hampir aku lupa dan saking lamanya aku tercenung dalam lamunan, Gloria sampai harus mengguncang-guncang bahuku. Akbar dan Abang hanya bisa tertawa melihat tingkah Gloria ini. "Iya ih Herr Aldi, ntar si gadis bunga cemburu." Goda Akbar seraya mengunyah roti bakar dan lewat guncangan ke-13, aku baru tersadar kembali bagai orang siuman setelah pingsan. Aku lihat sekelilingku, Gloria memecah sunyi menggunakan gelak tawanya bersama Maureen dan si gadis bunga. Meja warung kopi pun kini bergetar-getar hebat ketika tangan Maureen menepuk-nepuk permukaannya dengan kencang.

"Biasa, barusan menikmati kopi pagi terus jadi lupa sama suasana sekitar." Aku mencoba membela diri, namun tetap saja kawan-kawanku tertawa terlebih lagi ketika diriku berbicara Bahasa Jawa. Kudengar suara di sebelahku, Gloria adalah makhluk yang gelak tawanya paling kencang di antara makhluk-makhluk lain. Maureen bersama Si gadis bunga cukup terkekeh-kekeh bersama guratan fajar untuk Persimpangan Brebes Timur. Namun perlu kusampaikan, kisah ini masih belum selesai lantaran perjalanan jauh masih akan kulanjutkan sampai ke Dataran Tinggi Dieng dan Yogyakarta.

Persimpangan Brebes Timur pun kini telah mendedikasikan dirinya sebagai guru akan kesabaran beserta makna-makna indah dalam perjalanan hidup...

Tertulis, kisah indah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan.

Jakarta, 11 September 2016
Pukul 06.12 WIB
-Herr Aldi Van Yogya-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi