Bagai senja tak sampai di tepi garis Selat Sunda

                                         

Jalan raya Den Haag-Amsterdam, ketika sore telah terlukis jelas. 

Terulang lagi untuk yang kesekian kalinya, si guru muda asal Indonesia itu mengemudikan mobil VW kuno menggilas aspal jalanan tanah Belanda dari Kota Den Haag di tepi utara menuju Amsterdam agak ke selatan sedikit. Angin sore bertiup-tiup kencang menembus pekatnya kaca jendela ketika lelah mulai mengerubungi diri si guru muda dan sisi kanan-kiri mobil ia ratapi demi mencari tempat beristirahat yang cocok. Rumput-rumput bergoyang bolehlah terhampar sejauh mata memandang, tetapi si guru muda ternyata sudah jemu menjumpai rumput-rumput bergoyang walau selalu tampak bagai karpet alami dan oleh karenanya, si guru muda harus mencari tempat lain untuk merilekskan raganya sejenak. 

Lelah mencari tempat beristirahat, aku memutuskan tuk berhenti di pinggir sebuah telaga buatan berpagar padang bunga yang terhampar tak kalah luas dengan padang rumput. Begitu aku merasa cocok mendatangi telaga dalam sehampar padang bunga, perlahan-lahan mobil VW kuno si teman bisu dalam cerita aku tepikan di pinggir seusai memadamkan mesin berisiknya seiring dengan orang-orang di belakangku yang mulai beranjak turun dengan berduyun-duyun dari mobil seakan hendak mengurungku di dalam mobil. Tak mau ketinggalan, aku segera berlari kecil menyusul kawan-kawanku menghadap bayangan langit pada permukaan air telaga. Dalam kali kedua aku datang selepas mendapat giliran terakhir. 

Kulihat ke sebelah kanan ragaku, Maureen tengah asyik menyelonjorkan kedua kakinya diikuti Gloria dan si gadis bunga. Kedua bilah pahanya tak lupa diurut pertanda mereka terserang pegal-pegal akibat menduduki jok mobil dalam waktu lama. Tunggu dulu, tangan mereka sudah jelas boleh mengurut paha kanan-kiri tetapi sorot mata indah tiga dara ini justru mengarah pada bayangan langit dalam air telaga serta aku tahu, mereka pasti terpesona akan keindahan langit senja yang telah terlukis kuas Sang Ilahi sampai lupa menanyakan cerita apa yang akan kusampaikan hari ini bahkan Maureen sekalipun telah lupa menjamah isi buku agenda bermuatan cerita indah. Aku memang sudah menunggu Maureen menjamah isi buku agenda, tetapi ia tetap tak melakukannya jua. 

Alhasil bagai tersambar petir siang bolong, dalam sekejap Ariq muncul bagai bayangan dengan jarak tak sampai 5 cm di depan batang hidungku. Begitu melihat Ariq telah menjamah muatan buku agenda dengan mendahului Maureen, aku memasang raut tidak percaya pada pemuda berambut agak keriting ini lalu aku menyegerakan diri bertanya cerita mana yang ia jamah. "Yang waktu berangkat ke Anyer itu Herr Aldi. Ada acara keluarga ya?" Sekarang malah Ariq sendiri yang bertanya pada jiwaku. "Betul banget, awal bulan Agustus 2016 pas dua minggu pertama di kelas 12 aku ada acara keluarga di Anyer. Sebenarnya sih arisan keluarga besar bapak, tapi sebelum ke Anyer mampir dulu ke rumah saudara di Cilegon." Tuturku membocorkan sedikit isi cerita sedang kawan-kawanku yang lain cukup puas menganggukan tempurung kepala masing-masing kendati tak ikut Ariq bertanya. 

Enggan menyuruh mereka memendam tanya lebih lama, cerita tentang perjalanan ke Anyer aku awali dalam perasaan sebilah jiwa tenang pada sebuah penghujung hari. 

                                                                        *****

Pagi di awal Bulan Agustus 2016. Waktu telah menggeser Hari Jumat ke Hari Sabtu pertama di bulan kedelapan ini hanya 11 hari sebelum tanah air memperingati hari jadinya yang ke-71 atau lebih tepatnya di Hari Sabtu tanggal 6 Agustus 2016. Pada kisaran waktu sekitar pukul 04.00 WIB aku telah terjaga dari lelapnya tidur semalam karena harus segera bersiap menempuh perjalanan menuju Pantai Anyer, Cilegon, Banten bersama keluarga. Segala persiapkan telah aku rampungkan dan tinggal mandi beserta ibadah Shalat Subuh yang masih harus tunaikan sebelum akhirnya berangkat dari rumah pukul 04.30 WIB. Alhamdulillah, situasi lalu-lintas Bandung pagi hari itu sangat lancar sehingga aku dapat mencapai ruas badan jalan tol Cipularang tak sampai dua jam.

Usai matahari naik belum terlalu tinggi alias tiba waktu dhuha dalam kamus bahasa religius, aku menyempatkan diri singgah di rest area Km 13 Tol Jakarta-Tangerang-Merak arah Pelabuhan Merak dalam waktu singkat sebelum menepi di Gerbang Tol Cilegon Timur pukul 08.30 WIB. Begitu mengucap selamat tinggal pada Gerbang Tol Cilegon Timur, tujuanku selanjutnya tak lain tak bukan adalah Rumah Mbak Rara di Komplek Taman Krakatau tak jauh dari GT Cilegon Timur. Dengan mengerahkan sisa ingatan mengenai arah jalur tempuh ketika datang berkunjung tiga setengah tahun silam, ayahku mencoba menyusuri jalanan Komplek Taman Krakatau dari depan ke belakang sampai menjumpai rombongan kerabat-kerabat lain yang juga baru datang dengan menggunakan bus.

Turun dari mobil, aku langsung menyalami kerabat-kerabat lain yang tengah melangkahi jalan menuju rumah Mbak Rara dan ketika sampai, rumah minimalis itu sudah disesaki sebagian dari mereka. Mulai saat itulah rumah menjadi riuh-rendah oleh obrolan bersama gelak tawa yang pecah di setiap sudut termasuk dapur belakang dengan hiruk-pikuknya sendiri. Kendati udara panas sampai merangsang butir-butir keringat, aku justru sangat sering bolak-balik keluar-masuk rumah agar tetap bisa menikmati suasana kebersamaan dengan sesama sanak famili di Cilegon. Merasa dua jam sudah cukup untuk berkumpul di rumah, perjalanan ini diteruskan sampai ke Pantai Anyer.

Tetapi sebelum sampai di Anyer, aku menyisihkan sedikit waktu mampir ke Hotel Horison Cilegon demi menuntaskan proses check-in bersama Teteh Ayu sekeluarga agar dapat beristirahat malam harinya. Perlu kukatakan pula, sejak tiba di Cilegon hanya dalam jarak perbedaan waktu singkat perhatianku tampak sukar dilepaskan dari wajah Bara, putra kedua Teteh Ayu & Mas Haikal yang baru saja lahir Bulan April lalu. Persis seperti bayi lazimnya, Bara mengantongi kepala berambut tipis bersama tubuh tambun. Aku sangat gemar mendekati Bara sampai Teteh Ayu mesti mengatakan "Aldi suka anak kecil deh." Kemudian ibu menyahut "Paling bentar lagi, habis kuliah udah nikah." Jujur aku tak ingat sepatah katapun jawaban untuk hal ini.

Selepas check-in beres, aku melanjutkan perjalanan ke Anyer mendahului Teteh Ayu. Dulu ketika kali pertama bersua dengan Pantai Anyer, aku berangkat dengan melintasi segaris jalan kampung sebagai jalan alternatif menuju Anyer. Namun, sekarang aku menempuh jalan utama dari Persimpangan Cilegon Timur hingga Pantai Karang Suraga selama kurang lebih satu jam karena aku sempat tersasar bin kebablasan saat mencari pantai yang dimaksud Mbak Rara. Alhamdulillah, usai berkontak-kontakan melalui komunikasi suara pada ujungnya aku bisa menemukan Pantai Karang Suraga dan mendapati kerabat-kerabatku tengah menikmati santap siang. Tanpa perlu menunggu, seusai beres Shalat Dzuhur dijamak Ashar aku turut menikmati santap siang pada selembar tikar di atas pasir.

Hingga sore hari kami berpuas-puasan menikmati semilir angin milik tepian garis Selat Sunda. Kulihat ke arah bibir pantai, sejumlah anak-anak sedang asyik menikmati deburan ombak pantai sambil tak lupa meremas berbutir-butir pasir termasuk Kintan, adik perempuanku. Lalu bagaimana dengan aku? Cukuplah menyapa semilir angin pantai serta membiarkan deburan ombak ikhlas menerjang telapak kaki. Aku menikmati itu semua hingga tiba suatu detik dimana perhatian kerabat-kerabatku teralihkan pada permainan Banana Boat. Kintan turut tertarik pada ajang itu ketika aku membuntuti langkahnya bersama ayah di belakang. Tetapi ketika sampai di depan petugas penjaga permainan, sebagian kerabat memilih tidak menumpangi Banana Boat melainkan speed boat. Kintan akhirnya memilih menggunakan perahu motor sama denganku walau sebelumnya memilih enggan.

Alhasil aku harus rela diputar-putar sekaligus diombang-ambing perahu motor di atas permukaan air kendati tak sampai tengah laut lepas. Selama terombang-ambing ini bibir seperti sangat sukar dibungkam lantaran guncangan selalu membuat kami ingin berteriak tanpa kenal henti. Lalu usai berputar-putar perahu kembali menepi di bibir pantai serta begitu turun dari perahu, aku sudah menampak Teteh Ayu bersama keluarganya tiba di tepi garis Selat Sunda. Tetapi lain cerita dengan ibuku sendiri yang saat aku ceritakan pengalaman menumpangi perahu motor, beliau justru mengungkit masalah keselamatan terkait pelampung. Aku katakan ini titah dari petugas penjaga permainan perahu motor saat sebagian kerabat-kerabat lain asyik menumpangi Banana Boat. 

Kebersamaan ini menemukan ujungnya pukul 16.00 WIB lepas melewati waktu ashar. Rombongan penunggang bus kembali lagi ke Bandung pada hari yang sama sedang aku bergegas menuju hotel Horison sambil membuntuti mobil Teteh Ayu melintasi guratan senja yang sudah terlukis semakin jelas namun tak pernah sampai ke pelupuk mataku. Benar saja, matahari baru membenamkan dirinya di ufuk barat tatkala aku sudah menjauh dari Pantai Anyer. Guratan senja kini telah berganti dengan gemerlap bintang malam ditemani senyuman bulan sabit bagai sebilah pisang. Kamar tempat beristirahat aku tempati demi memandangi ruang langit, namun sudah memasang warna hitam legam.

Esok harinya, Minggu 7 Agustus 2016, aku segera bergegas menyantap pagi bersama ayah, ibu dan Kintan di restoran hotel. Sajian yang terhidang tentulah sangat menarik hingga membuatku ingin mencicipinya dan selepas santap pagi, aku bersiap-siap menjebloskan diri sendiri pada kolam renang di belakang hotel. Di kolam ini aku berenang sampai menjelang siang sebelum kembali menempuh perjalanan pulang ke Bandung dan tiba pada sore harinya. Inilah secarik senja yang seperti tak sampai di tepi garis Selat Sunda, tetapi memang tak tersampaikan di bibir Pantai Anyer...

                                                                    *****

Tiga dara cantik di sampingku justru menampak ketertarikan pada tepi garis Selat Sunda walau mereka tak sempat mencerabut seluruh kata-kata pada halaman buku agendaku. Si gadis bunga menyempatkan diri bicara, "Aku malah belum pernah ke sana Herr Aldi. Tiap jalan-jalan atau sekalinya pergi malah langsung loncat ke negara lain padahal Anyer bagus banget enggak kalah sama Eropa." Mendengar ucapan si gadis bunga, aku merasa tersindir habis karena selalu ingin melancong ke negara lain padahal tanah air pula cocok dilancongi kesana dan kemari. Namun kuakui, rasa cintaku pada tanah air semakin membumbung tinggi laksana roket Apollo 11 melesat ke permukaan bulan.


Tetapi menampak aku berbincang asyik dengan si gadis bunga, Abang justru melayangkan kata "modus" yang membuatku terdiam sejenak. Pasti ini dampak negatif dari perasaan jatuh cinta pada si gadis bunga. Sekalinya menunaikan kebaikan pasti akan selalu dibilang modus seterusnya dan oleh karena itu, aku turut mengajak Akbar, Gloria dan Maureen mengobrol santai diselingi interupsi berupa guyonan dan canda-tawa pada guratan senja milik Negeri Belanda yang membuat kami hampir tak ingat akan arah navigasi jarum jam. Usai bicara tak tentu arah, aku justru memuji kecantikan Gloria dan Maureen sampai mereka melukiskan warna merah merona di parasnya sebagai arti mereka tersipu malu-malu. "Ooowwwh, dank u well Herr Aldi." (Ooowwwh, terima kasih banyak Herr Aldi.) Ah, Herr Aldi, engkau bisa saja mengundang rasa tersipu malu-malu pada diri seorang gadis, sanjungku pada diriku sendiri.

Beres bercerita, perjalanan segera aku teruskan ke Amsterdam bersama kawan-kawanku dalam sejumput kenangan indah selepas lelah menguap dari jiwa-raga ini. Mesin mobil aku starter memecah kesunyian alam negeri kincir angin demi mencapai jalanan Kota Amsterdam. Kulihat ke samping juga bagian belakang jok mobil, kawan-kawanku tampak tengah asyik menikmati semilir angin sore kendati mobil telah berjalan jauh menggilas permukaan aspal jalanan. Dalam perjalanan ini aku mengucap terima kasih pada rumput-rumput bergoyang juga kawan-kawanku untuk kesediaan mereka menemaniku bercerita di hamparan alam negeri Belanda. Perjalanan ini terus berlanjut hingga senja semakin terlukis jelas dalam serangkai cerita.



Terima kasih telah membaca, sahabat-sahabat...

Tertulis, kisah indah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan.

Bandung, 25 September 2016
Pukul 06.06 WIB
- Herr Aldi Van Yogya -

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi